Header Ads

Fokus pada Korupsi Besar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menuntaskan pengusutan tiga kasus korupsi besar, kasus Bank Century, proyek Hambalang dan pengadaan simulator surat izin mengemudi (SIM). Dari kasus Bank Century yang kini sudah berganti nama menjadi Bank Mutiara, negara ditaksir menderita kerugian Rp 6,7 triliun. Lalu dalam kasus proyek pembangunan pusat olahraga di Hambalang, Kabupaten Bogor, uang negara yang dikorupsi mencapai Rp 1,2 triliun. Untuk kasus pengadaan simulator SIM di Korps Lalu Lintas Mabes Polri, diperkirakan uang negara yang dijarah oleh para pelakunya sekitar Rp 900 miliar.  

Desakan kepada KPK untuk menyelesaikan pengusutan ketiga kasus itu bukan semata nilai uang negara yang dikorupsi terbilang besar, namun kasus Bank Century, Hambalang dan simulator sudah menyedot begitu banyak perhatian masyarakat luas. Bahkan untuk kasus Century, DPR sampai harus membentuk tim pengawas yang terus menagih janji KPK menyelesaikan penanganan kasus tersebut.  

Besarnya perhatian publik terhadap ketiga kasus itu tidak lagi semata pada triliunan rupiah uang negara yang diyakini sudah raib. Tetapi lebih dari itu, kasus Century, Hambalang dan simulator SIM menjadi bukti nyata yang memperlihatkan betapa besarnya daya rusak tindak pidana korupsi terhadap para penyelenggara negara. Bisa menjadi sesuatu yang tak terbantahkan lagi bila korupsi juga mampu menjerat penegak hukum, sekalipun. Mereka yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menegakkan hukum, seperti polisi, jaksa maupun hakim, bukan lagi pribadi-pribadi tangguh yang kebal terhadap virus korupsi.  

Ironinya, dalam kasus simulator SIM terkuak modus mengenai peran polisi berpangkat bintang dua yang memanfaatkan kewenangannya agar dana untuk proyek di instansinya bisa dibagi-bagi, bagai para perampok membagi-bagi hasil jarahannya. Penegak hukum tersebut bukan memburu dan membekuk para penjarah uang negara, tapi justru ikut dalam komplotan itu. Sungguh mengerikan bila mencermati tindak pidana korupsi, termasuk penyalahgunaan kewenangan para penegak hukum.  

Menjelang satu tahun Abraham Samad bersama empat koleganya memimpin KPK, desakan kembali disuarakan oleh mereka yang masih menaruh harapan besar kepada lembaga penegak hukum itu untuk menuntaskan pengusutan kasus Century, Hambalang dan simulator. Sesungguhnya desakan itu sudah direspon oleh KPK dengan penetapan para tersangka dalam ketiga kasus tersebut. Malahan, untuk kasus Century yang sudah lebih dua tahun diproses secara hukum, KPK sudah menetapkan dua bekas petinggi Bank Indonesia sebagai tersangka.  

Kendati begitu, publik  termasuk para wakil rakyat di Senayan sesungguhnya lebih menginginkan ada langkah yang lebih jauh lagi dari KPK, tidak hanya pada orang-orang yang sudah dijadikan tersangka dalam ketiga kasus itu. Untuk kasus Century, misalnya, kedua orang tersangka dari bank sentral itu diyakini bukanlah pengambil keputusan tertinggi. Tidak bisa diterima dengan akal sehat apabila keputusan menggelontorkan uang negara triliunan rupiah untuk sebuah bank kecil tanpa ada keterlibatan orang nomor satu di lembaga moneter maupun fiskal.  

Begitu juga dengan kasus proyek olahraga  Hambalang, para pelaku sesungguhnya hanyalah pejabat yang menjadi pelaksana di lapangan. Lalu, apakah memang tidak ada sama sekali keterlibatan sang menteri sehingga proyek itu sarat dengan berbagai kejanggalan? Dari rangkaian pengusutan kasus itu juga tampak keterlibatan ketua umum partai politik yang kini sedang berkuasa. Mencermati kasus-kasus yang menjadi barometer pemberantasan korupsi itu, amat wajar mencuat keraguan terhadap kesungguhan dan keberanian pimpinan KPK untuk mengusut kasus itu tanpa melihat siapa saja yang diduga terlibat dalam ketiga kasus itu.  

Kini, mereka yang masih peduli dan menaruh asa pada pemberantasan korupsi menantikan langkah lanjutan dari KPK untuk membongkar kasus Century, Hambalang dan simulator SIM tanpa memilah-milah siapa yang bakal dijadikan tersangka. Abraham Samad bersama keempat koleganya yang duduk di kursi pimpinan beserta seluruh personel KPK patut membuktikan bahwa mereka merupakan pribadi-pribadi yang memang layak bertugas di lembaga hebat itu. Salah satu ukuran kelayakan itu adalah konsistensi mengusut kasus-kasus korupsi besar. Keterbatasan personel penyidik tidak perlu dijadikan alasan untuk mengulur waktu menuntaskan pengusutan ketiga kasus itu.  

Seperti janji Abraham Samad ketika menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR yang memastikan bakal membongkar kasus-kasus korupsi besar. Big fish atau ikan besar, begitu istilah yang disebut oleh Abraham kala itu. Kini, menjelang satu tahun memimpin KPK, maka sudah waktunya dia membuktikan janjinya tanpa perlu banyak melontarkan pernyataan yang nantinya malah kontraproduktif. Jangan sampai terjadi ketika dipimpin oleh Abraham Samad justru membuat gerak KPK lamban dan rentan atas intervensi oleh lembaga lain.SP/Edt/T

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.