KARNI ILYAS: Sosok di Balik Sukses Banyak Media
LINTAS PUBLIK -Jakarta, Ibarat
Raja Midas, sentuhan tangan Karni Ilyas di berbagai media yang
dipimpinnya selalu jadi emas. Ia dikenal sebagai sosok dengan passion
luar biasa yang keras dan berdisiplin tinggi terhadap diri sendiri. ---
''Pemirsa..., kita ketemu lagi di acara diskusi Indonesia Lawyers Club....''
Begitulah selalu terdengar ucapan Karni Ilyas setiap kali membuka acara "Indonesia Lawyers Club (ILC)", talkshow yang dipandunya setiap Selasa malam selepas isya. Dengan suaranya yang khas, rada serak, logat Minang yang masih kental, dan sorot mata berbinar, ia lalu memaparkan garis besar topik diskusi, yang tentu saja menyangkut masalah yang sedang hangat-hangatnya.
Diskusi yang terkadang makan waktu hingga pukul 11 malam itu hampir
tak pernah sepi dari perdebatan pesertanya yang kebanyakan para
pengacara. Malah adakalanya terasa sangat panas, sebab ada saja
narasumbernya yang beradu lantang seperti hendak berkelahi. Sehingga
diskusi berlangsung keras dan cenderung kasar.
Kalau sudah begitu situasinya, Karni dengan tangkas menghentikan pertengkaran dan kembali mengarahkan perbincangan ke jalurnya. Di ujung acara, ia menutup diskusi itu dengan kutipan ucapan para pemikir dunia --dari Socrates, Cicero, hingga Thomas Jefferson-- mengajak seluruh peserta dan pemirsa menyikapi dengan bijak masalah yang dibahas.
Suka atau tidak, acara talkshow yang ditayangkan TV One itu memang berhasil menyedot perhatian dan jadi demikian populer. Tidak hanya kalangan menengah-atas yang menyukainya, "ILC" juga jadi tontonan menarik bagi banyak orang dari kalangan menengah ke bawah. Diskusi "ILC" selalu mendapat rating tinggi dan menjadi program unggulan TV One. Tiga kali berturut-turut pula program ini masuk nominasi Panasonic Gobel Awards untuk kategori talkshow.
Boleh jadi, salah satu faktor penentu keberhasilannya, diskusi berbalut hukum itu tidak membuat orang harus mengernyitkan kening saat mengikutinya. Lewat pertanyaan-pertanyaannya yang tajam dan terarah kepada para narasumber, semua kalangan dapat mudah memahami peta masalah yang dibahas. Pasal-pasal hukum yang kaku pun, melalui pembahasan dengan perspektif yang luas, menjadi cair dan mudah dicerna orang awam sekalipun.
Faktor penentu lain, tentulah keberhasilannya menarik banyak tokoh, petinggi dan mantan petinggi, masuk pentas diskusi itu. Selain tentu dengan kecerdikan dan kemampuan pendekatannya, setiap tokoh yang diajaknya berdiskusi dengan senang hati bersedia bicara blak-blakan menumpahkan semua pandangannya ke tengah khalayak. Walau topik yang diangkat adakalanya ketinggalan, ajang diskusi yang dikembangkan Karni tetap saja menarik karena memberi wawasan baru kepada pemirsanya.
Lewat "ILC" juga Karni mendobrak pakem yang umum berlaku di dunia penyiaran. Penampilannya sebagai pemandu acara "ILC" seperti meruntuhkan ''teori'' konvensional bahwa seorang pembawa acara haruslah bersuara bagus, dengan penampilan dan wajah menarik. ''Waktu masih jadi orang baru di televisi, saya sempat terpengaruh oleh teori seperti ini,'' katanya.
Pengaruh pandangan konvensional seperti itulah yang diakui sempat membuat kandas upayanya memopulerkan talkshow bidang hukum ini sekitar delapan tahun silam. Ketika itu masih bernama "Jakarta Lawyers Club (JLC)". Pesertanya masih sebatas kalangan hukum di Jakarta dan sekitarnya. Masih berbentuk diskusi bulanan, acaranya pun digelar di Ibu Kota. ''Acara 'JLC' cuma beberapa kali tayang, sesudah itu dihentikan karena tidak didukung staf,'' katanya lagi.
Padahal, Karni yakin benar, anggapan konvensional tadi bukanlah jaminan sukses sebuah acara talkshow. Menurut dia, yang membuat acara bincang-bincang jadi menarik adalah legitimasi si pembawa acara, di samping tentu topiknya yang memang jadi perhatian luas. ''Modalnya adalah penguasaan materi, pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai apa yang diangkat, juga cara kita menggali informasi dari narasumber,'' ujar dia.
Dengan keyakinan itulah, ia kemudian mewujudkan kembali gagasannya setelah duduk sebagai Pemimpin Redaksi TV One. Dalam posisi itu pun, Karni berhasil mengulang prestasi sebelumnya ia torehkan di stasiun lain. Dalam waktu relatif singkat sejak 2007, ia memosisikan TV One sebagai media berita yang amat diperhitungkan pesaingnya sesama televisi berita.
Citra televisi yang semula bernama Lativi itu pun berubah total. Tak ada lagi tayangan-tayangan berbau klenik. Setelah berubah nama dan ditangani Karni, boleh dibilang, 75% program acara TV One diisi berita. Hasilnya, berkali-kali breaking news yang merupakan bagian dari program berita TV One memimpin dibandingkan dengan pesaingnya. "Kabar Petang pun beberapa kali masuk nominasi Panasonic Gobel Awards.
Karni sendiri tak segan-segan turun ke lapangan kembali menjadi wartawan. ''Walaupun saya sudah duduk bercampur dengan manajerial, apalagi sudah di posisi pemimpin redaksi televisi yang situasinya berbeda, urat wartawan tidak pernah saya hilangkan,'' katanya.
Hal serupa ia lakukan ketika membangkitkan program berita SCTV, "Liputan 6". Ia berkali-kali membuka kebuntuan yang dialami anak buahnya dan ikut turun meliput berita eksklusif. Kalau pada 2006 Karni meliput sendiri penggerebekan teroris di Wonosobo, Jawa Tengah, untuk "Liputan 6" ia turun saat polisi menangkap Amrozi, otak pelaku bom Bali I, dan memperoleh informasi sangat eksklusif. Walhasil, seperti juga program berita di TV One, "Liputan 6 beberapa kali meraih penghargaan bergengsi Panasonic Award. Program lain yang dirancangnya, "Derap Hukum", berkali-kali pula meraih penghargaan yang sama.
Berbeda dibandingkan dengan saat ia lebih-kurang dua tahun menangani Antv, kemudian TV One sejak 2007, "Liputan 6" jadi tempat Karni belajar banyak tentang dunia pertelevisian. Maklum saja, sebelumnya ia sangat intens di media cetak. ''Saya masuk dunia yang berbeda sama sekali. Saya harus cepat mengubah paradigma, bagaimana menyajikan berita cetak dalam bentuk audiovisual,'' ujar dia dalam sebuah obrolan pada awal tahun 2000, ketika baru beberapa bulan memimpin "Liputan 6".
Ibarat telapak tangan Raja Midas dalam mitologi Yunani, sentuhan tangan Karni di berbagai media yang dipimpinnya selalu jadi emas. Jauh sebelum menorehkan sukses di media televisi, namanya tercatat sebagai pemeran kunci sukses majalah Forum Keadilan. Ia membangkitkan majalah itu dari kevakuman sejak Juli 1990.
Terbit dengan wajah baru pada April 1992, bermodal tenaga 15 awak redaksi, oplah majalah ini baru sekitar 35.000 eksemplar. Target yang dipatok ketika itu ''hanya'' 50.000 eksemplar. Dalam tempo dua tahun, Forum tumbuh seperti bayi ajaib: tirasnya rata-rata di atas 100.000 eksemplar pada April 1994.
Saat Karni memimpin Forum, ada sejumlah terobosan yang dilakukannya. Ia berhasil mengangkat majalah khusus bidang hukum itu menjadi media berita hukum populer. Selain itu, lewat kolom-kolom tetapnya yang diberi tajuk "Catatan Hukum", pembacanya seperti mendapat pencerahan. Segala peristiwa hukum jadi mudah dipahami karena kelincahannya menulis dan menjelaskan tanpa perlu menyinggung rumusan pasal-pasal yang jelimet. ''Acara 'ILC' itu boleh juga dibilang seperti 'Catatan Hukum' saya dulu, cuma dalam bentuk audiovisual,'' katanya.
Terobosan lainnya, Forum pada masa itu menjadi majalah yang secara konsisten menampilkan wajah tokoh pada sampulnya. Dilengkapi pula dengan kutipan ucapan sang tokoh yang sangat mengundang rasa ingin tahu sebagai judul sampul. Karni juga istikamah mengawal setiap berita agar tetap sesuai dengan konsepnya: Forum tidak berniat menjadi advokat, pembela, atau jaksa, apalagi hakim, tapi berupaya bersikap adil, jujur, dan objektif.
Lalu, hampir berbarengan dengan kelahiran Forum wajah baru, Karni bersama delapan rekannya mendirikan JLC. Sejak didirikan pada Juli 1992, klub para sarjana hukum ini rutin menggelar diskusi bulanan, membicarakan masalah-masalah aktual di bidang hukum. Kegiatannya pun tidak lepas dari keberadaan Forum masa itu. Kegiatan diskusi bulanan inilah --dengan pengembangan di sana-sini-- yang jadi cikal bakal 'ILC'.
Namun, sebaliknya juga, kisah Karni ibarat hikayat Gajah Mada. Seperti tercatat dalam sejarah, pamor Majapahit kian luntur sepeninggal sang mahapatih, begitulah pula selalu nasib media yang ditinggalkan Karni. Sebut saja majalah Forum yang ditinggalkannya pada akhir Oktober 1999. Bersamaan dengan hilangnya Karni dari masthead majalah itu, hilang pula rubrik "Catatan Hukum" yang ketika itu sangat digemari pembaca Forum.
Begitu pula diskusi JLC tak lagi ada hubungannya dengan Forum karena organisasi itu boleh dibilang seperti ''anak kandung'' Karni. Yang lebih parah, sepeninggal dia, majalah itu seperti kehilangan marwahnya. Hanya dalam tempo beberapa tahun kemudian, Forum seperti tenggelam termakan zaman karena perpecahan di dalam.
Apakah ini bisa disebut sebagai kegagalannya melahirkan kader pengganti? Ternyata tidak juga. Karni sendiri punya argumen, ia sudah menularkan ilmunya kepada semua wartawan yang pernah jadi bawahannya, termasuk di Forum. Demikan juga, ia sudah meletakkan garis kebijakan dan sistem manajemen redaksi. ''Kalau fighting spirit-nya berubah, manajemen redaksi berubah, dan policy berubah, kalau semuanya yang sudah saya letakkan diubah, masak harus saya yang dikatakan gagal?'' katanya.
Karni pun membeberkan bahwa selama ini dia sudah mendidik banyak wartawan dengan cara yang diakuinya memang keras. Ia juga mengakui, di antara mereka ada yang jadi ''anak emas'' karena memang yang bersangkutan dapat memenuhi harapannya --''tidak tidur'', meminjam istilah dia, alias selalu mendapatkan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan wartawan media lain. ''Hasilnya, Anda tahu sendiri, sekarang mereka sudah jadi. Beberapa malah menjadi pemimpin redaksi. Di Grup Tempo, dua pemimpin redaksinya bekas murid saya,'' katanya, bangga.
Karni mengawali karier wartawan di harian Suara Karya pada 1972 di usia belum genap 20 tahun. Waktu itu, profesi ini dilakoninya sambil nyambi kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik. Ia langsung menduduki desk hukum, bidang yang ingin digarapnya saat melamar. Walhasil, berbekal kemauan yang keras, ia tampil sebagai wartawan andal di bidang hukum dan kriminalitas. Berkali-kali ia membuat laporan eksklusif untuk pembaca Suara Karya.
Gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pun diraihnya setelah ia menjadi wartawan Tempo. Namanya kian moncer setelah pindah ke majalah itu sejak November 1978. Sekian lama kembali menjadi wartawan, lalu naik kelas menjadi penanggung jawab rubrik, dan terakhir menjadi redaktur pelaksana di sana, sebelum akhirnya dipercaya penuh menjadi Pemimpin Redaksi Forum Keadilan.
Berkat pengetahuan dan perbendaharaannya yang luas, ia mendapat pengakuan sebagai satu-satunya pakar hukum di majalah itu. Tak kurang dari Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, menjadikan Karni sebagai tempat bertanya mengenai masalah hukum. ''Dia memiliki passion luar biasa untuk mempelajari bidang tersebut,'' tulis Goenawan dalam biografi Karni Ilyas, Lahir untuk Berita.
Bagi mereka yang mengenalnya, Karni merupakan sosok yang keras dan berdisplin tinggi terhadap dirinya sendiri. Satu ilustrasi paling ekstrem adalah saat ia terjun langsung meliput penggerebekan teroris di Wonosobo. Dalam kondisi tangan kiri patah, ia melaporkan kejadian itu langsung dari lapangan. Padahal, posisinya ketika itu sebagai pemimpin redaksi. ''Kalau saya mau, waktu itu saya bisa saja pulang ke Jakarta. Tapi panggilan profesi membuat saya bertahan dengan tangan masih dibalut,'' ujarnya.
Lelaki kelahiran Balingka, Sumatera Barat, 25 September 1952 ini mengaku, itu semua merupakan buah didikan keras ayahnya, Ilyas Sutan Nagari. ''Saya merasakan, karena kerasnya itulah, saya bisa kayak gini sekarang. Ketika sudah gede, saya bilang terima kasih banget sudah mendidik saya dengan keras. Seandainya dia dulu lunak, pastilah saya tidak bisa jadi begini,'' katanya mengenang.
Karni juga tidak menafikan peran besar istrinya, Yulinas, selama menjalani profesi wartawan. Perempuan yang dinikahinya pada 25 September 1977 itu diakuinya sangat tegar dan mandiri. Dia paham betul bahwa profesi wartawan akan menyita banyak waktu suaminya di lapangan. Karni pun bertutur tentang kehebatan sang istri sebagai pendampingnya.
Suatu ketika, saat istrinya dua hari lagi diperkirakan bakal melahirkan anak kedua mereka, Karni mendapat penugasan ke Singapura. Justru istrinyalah yang menyuruh dia berangkat. Dan, benar saja, anak perempuannya itu lahir saat Karni masih di negeri jiran. ''Dia sendiri naik becak ke bidan, lalu melahirkan. Istri lain mana ada yang begitu? Itu salah satu pengorbanan besar dia,'' ujar Karni.
Akhirulkalam, hasil didikan keras sang ayah dan pengorbanan sang istri tidak sia-sia dan berbuah sangat manis. Hasil pengabdiannya selama 40 tahun sebagai wartawan tak percuma. Cita-cita yang dibangunnya sejak kecil --menjadi wartawan dan ingin terkenal-- tercapai sudah. Malah, pada 27 Maret lalu, Karni mendapat Lifetime Achievement Awards dari Panasonic Gobel. Sebelumnya, pada 2010, ia mendapat anugerah Number One Press Card dari Persatuan Wartawan Indonesia.sum.Gatra/T
Begitulah selalu terdengar ucapan Karni Ilyas setiap kali membuka acara "Indonesia Lawyers Club (ILC)", talkshow yang dipandunya setiap Selasa malam selepas isya. Dengan suaranya yang khas, rada serak, logat Minang yang masih kental, dan sorot mata berbinar, ia lalu memaparkan garis besar topik diskusi, yang tentu saja menyangkut masalah yang sedang hangat-hangatnya.
KARNI ELIAS |
Kalau sudah begitu situasinya, Karni dengan tangkas menghentikan pertengkaran dan kembali mengarahkan perbincangan ke jalurnya. Di ujung acara, ia menutup diskusi itu dengan kutipan ucapan para pemikir dunia --dari Socrates, Cicero, hingga Thomas Jefferson-- mengajak seluruh peserta dan pemirsa menyikapi dengan bijak masalah yang dibahas.
Suka atau tidak, acara talkshow yang ditayangkan TV One itu memang berhasil menyedot perhatian dan jadi demikian populer. Tidak hanya kalangan menengah-atas yang menyukainya, "ILC" juga jadi tontonan menarik bagi banyak orang dari kalangan menengah ke bawah. Diskusi "ILC" selalu mendapat rating tinggi dan menjadi program unggulan TV One. Tiga kali berturut-turut pula program ini masuk nominasi Panasonic Gobel Awards untuk kategori talkshow.
Boleh jadi, salah satu faktor penentu keberhasilannya, diskusi berbalut hukum itu tidak membuat orang harus mengernyitkan kening saat mengikutinya. Lewat pertanyaan-pertanyaannya yang tajam dan terarah kepada para narasumber, semua kalangan dapat mudah memahami peta masalah yang dibahas. Pasal-pasal hukum yang kaku pun, melalui pembahasan dengan perspektif yang luas, menjadi cair dan mudah dicerna orang awam sekalipun.
Faktor penentu lain, tentulah keberhasilannya menarik banyak tokoh, petinggi dan mantan petinggi, masuk pentas diskusi itu. Selain tentu dengan kecerdikan dan kemampuan pendekatannya, setiap tokoh yang diajaknya berdiskusi dengan senang hati bersedia bicara blak-blakan menumpahkan semua pandangannya ke tengah khalayak. Walau topik yang diangkat adakalanya ketinggalan, ajang diskusi yang dikembangkan Karni tetap saja menarik karena memberi wawasan baru kepada pemirsanya.
Lewat "ILC" juga Karni mendobrak pakem yang umum berlaku di dunia penyiaran. Penampilannya sebagai pemandu acara "ILC" seperti meruntuhkan ''teori'' konvensional bahwa seorang pembawa acara haruslah bersuara bagus, dengan penampilan dan wajah menarik. ''Waktu masih jadi orang baru di televisi, saya sempat terpengaruh oleh teori seperti ini,'' katanya.
Pengaruh pandangan konvensional seperti itulah yang diakui sempat membuat kandas upayanya memopulerkan talkshow bidang hukum ini sekitar delapan tahun silam. Ketika itu masih bernama "Jakarta Lawyers Club (JLC)". Pesertanya masih sebatas kalangan hukum di Jakarta dan sekitarnya. Masih berbentuk diskusi bulanan, acaranya pun digelar di Ibu Kota. ''Acara 'JLC' cuma beberapa kali tayang, sesudah itu dihentikan karena tidak didukung staf,'' katanya lagi.
Padahal, Karni yakin benar, anggapan konvensional tadi bukanlah jaminan sukses sebuah acara talkshow. Menurut dia, yang membuat acara bincang-bincang jadi menarik adalah legitimasi si pembawa acara, di samping tentu topiknya yang memang jadi perhatian luas. ''Modalnya adalah penguasaan materi, pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai apa yang diangkat, juga cara kita menggali informasi dari narasumber,'' ujar dia.
Dengan keyakinan itulah, ia kemudian mewujudkan kembali gagasannya setelah duduk sebagai Pemimpin Redaksi TV One. Dalam posisi itu pun, Karni berhasil mengulang prestasi sebelumnya ia torehkan di stasiun lain. Dalam waktu relatif singkat sejak 2007, ia memosisikan TV One sebagai media berita yang amat diperhitungkan pesaingnya sesama televisi berita.
Citra televisi yang semula bernama Lativi itu pun berubah total. Tak ada lagi tayangan-tayangan berbau klenik. Setelah berubah nama dan ditangani Karni, boleh dibilang, 75% program acara TV One diisi berita. Hasilnya, berkali-kali breaking news yang merupakan bagian dari program berita TV One memimpin dibandingkan dengan pesaingnya. "Kabar Petang pun beberapa kali masuk nominasi Panasonic Gobel Awards.
Karni sendiri tak segan-segan turun ke lapangan kembali menjadi wartawan. ''Walaupun saya sudah duduk bercampur dengan manajerial, apalagi sudah di posisi pemimpin redaksi televisi yang situasinya berbeda, urat wartawan tidak pernah saya hilangkan,'' katanya.
Hal serupa ia lakukan ketika membangkitkan program berita SCTV, "Liputan 6". Ia berkali-kali membuka kebuntuan yang dialami anak buahnya dan ikut turun meliput berita eksklusif. Kalau pada 2006 Karni meliput sendiri penggerebekan teroris di Wonosobo, Jawa Tengah, untuk "Liputan 6" ia turun saat polisi menangkap Amrozi, otak pelaku bom Bali I, dan memperoleh informasi sangat eksklusif. Walhasil, seperti juga program berita di TV One, "Liputan 6 beberapa kali meraih penghargaan bergengsi Panasonic Award. Program lain yang dirancangnya, "Derap Hukum", berkali-kali pula meraih penghargaan yang sama.
Berbeda dibandingkan dengan saat ia lebih-kurang dua tahun menangani Antv, kemudian TV One sejak 2007, "Liputan 6" jadi tempat Karni belajar banyak tentang dunia pertelevisian. Maklum saja, sebelumnya ia sangat intens di media cetak. ''Saya masuk dunia yang berbeda sama sekali. Saya harus cepat mengubah paradigma, bagaimana menyajikan berita cetak dalam bentuk audiovisual,'' ujar dia dalam sebuah obrolan pada awal tahun 2000, ketika baru beberapa bulan memimpin "Liputan 6".
Ibarat telapak tangan Raja Midas dalam mitologi Yunani, sentuhan tangan Karni di berbagai media yang dipimpinnya selalu jadi emas. Jauh sebelum menorehkan sukses di media televisi, namanya tercatat sebagai pemeran kunci sukses majalah Forum Keadilan. Ia membangkitkan majalah itu dari kevakuman sejak Juli 1990.
Terbit dengan wajah baru pada April 1992, bermodal tenaga 15 awak redaksi, oplah majalah ini baru sekitar 35.000 eksemplar. Target yang dipatok ketika itu ''hanya'' 50.000 eksemplar. Dalam tempo dua tahun, Forum tumbuh seperti bayi ajaib: tirasnya rata-rata di atas 100.000 eksemplar pada April 1994.
Saat Karni memimpin Forum, ada sejumlah terobosan yang dilakukannya. Ia berhasil mengangkat majalah khusus bidang hukum itu menjadi media berita hukum populer. Selain itu, lewat kolom-kolom tetapnya yang diberi tajuk "Catatan Hukum", pembacanya seperti mendapat pencerahan. Segala peristiwa hukum jadi mudah dipahami karena kelincahannya menulis dan menjelaskan tanpa perlu menyinggung rumusan pasal-pasal yang jelimet. ''Acara 'ILC' itu boleh juga dibilang seperti 'Catatan Hukum' saya dulu, cuma dalam bentuk audiovisual,'' katanya.
Terobosan lainnya, Forum pada masa itu menjadi majalah yang secara konsisten menampilkan wajah tokoh pada sampulnya. Dilengkapi pula dengan kutipan ucapan sang tokoh yang sangat mengundang rasa ingin tahu sebagai judul sampul. Karni juga istikamah mengawal setiap berita agar tetap sesuai dengan konsepnya: Forum tidak berniat menjadi advokat, pembela, atau jaksa, apalagi hakim, tapi berupaya bersikap adil, jujur, dan objektif.
Lalu, hampir berbarengan dengan kelahiran Forum wajah baru, Karni bersama delapan rekannya mendirikan JLC. Sejak didirikan pada Juli 1992, klub para sarjana hukum ini rutin menggelar diskusi bulanan, membicarakan masalah-masalah aktual di bidang hukum. Kegiatannya pun tidak lepas dari keberadaan Forum masa itu. Kegiatan diskusi bulanan inilah --dengan pengembangan di sana-sini-- yang jadi cikal bakal 'ILC'.
Namun, sebaliknya juga, kisah Karni ibarat hikayat Gajah Mada. Seperti tercatat dalam sejarah, pamor Majapahit kian luntur sepeninggal sang mahapatih, begitulah pula selalu nasib media yang ditinggalkan Karni. Sebut saja majalah Forum yang ditinggalkannya pada akhir Oktober 1999. Bersamaan dengan hilangnya Karni dari masthead majalah itu, hilang pula rubrik "Catatan Hukum" yang ketika itu sangat digemari pembaca Forum.
Begitu pula diskusi JLC tak lagi ada hubungannya dengan Forum karena organisasi itu boleh dibilang seperti ''anak kandung'' Karni. Yang lebih parah, sepeninggal dia, majalah itu seperti kehilangan marwahnya. Hanya dalam tempo beberapa tahun kemudian, Forum seperti tenggelam termakan zaman karena perpecahan di dalam.
Apakah ini bisa disebut sebagai kegagalannya melahirkan kader pengganti? Ternyata tidak juga. Karni sendiri punya argumen, ia sudah menularkan ilmunya kepada semua wartawan yang pernah jadi bawahannya, termasuk di Forum. Demikan juga, ia sudah meletakkan garis kebijakan dan sistem manajemen redaksi. ''Kalau fighting spirit-nya berubah, manajemen redaksi berubah, dan policy berubah, kalau semuanya yang sudah saya letakkan diubah, masak harus saya yang dikatakan gagal?'' katanya.
Karni pun membeberkan bahwa selama ini dia sudah mendidik banyak wartawan dengan cara yang diakuinya memang keras. Ia juga mengakui, di antara mereka ada yang jadi ''anak emas'' karena memang yang bersangkutan dapat memenuhi harapannya --''tidak tidur'', meminjam istilah dia, alias selalu mendapatkan sesuatu yang lebih dibandingkan dengan wartawan media lain. ''Hasilnya, Anda tahu sendiri, sekarang mereka sudah jadi. Beberapa malah menjadi pemimpin redaksi. Di Grup Tempo, dua pemimpin redaksinya bekas murid saya,'' katanya, bangga.
Karni mengawali karier wartawan di harian Suara Karya pada 1972 di usia belum genap 20 tahun. Waktu itu, profesi ini dilakoninya sambil nyambi kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik. Ia langsung menduduki desk hukum, bidang yang ingin digarapnya saat melamar. Walhasil, berbekal kemauan yang keras, ia tampil sebagai wartawan andal di bidang hukum dan kriminalitas. Berkali-kali ia membuat laporan eksklusif untuk pembaca Suara Karya.
Gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pun diraihnya setelah ia menjadi wartawan Tempo. Namanya kian moncer setelah pindah ke majalah itu sejak November 1978. Sekian lama kembali menjadi wartawan, lalu naik kelas menjadi penanggung jawab rubrik, dan terakhir menjadi redaktur pelaksana di sana, sebelum akhirnya dipercaya penuh menjadi Pemimpin Redaksi Forum Keadilan.
Berkat pengetahuan dan perbendaharaannya yang luas, ia mendapat pengakuan sebagai satu-satunya pakar hukum di majalah itu. Tak kurang dari Goenawan Mohamad, Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, menjadikan Karni sebagai tempat bertanya mengenai masalah hukum. ''Dia memiliki passion luar biasa untuk mempelajari bidang tersebut,'' tulis Goenawan dalam biografi Karni Ilyas, Lahir untuk Berita.
Bagi mereka yang mengenalnya, Karni merupakan sosok yang keras dan berdisplin tinggi terhadap dirinya sendiri. Satu ilustrasi paling ekstrem adalah saat ia terjun langsung meliput penggerebekan teroris di Wonosobo. Dalam kondisi tangan kiri patah, ia melaporkan kejadian itu langsung dari lapangan. Padahal, posisinya ketika itu sebagai pemimpin redaksi. ''Kalau saya mau, waktu itu saya bisa saja pulang ke Jakarta. Tapi panggilan profesi membuat saya bertahan dengan tangan masih dibalut,'' ujarnya.
Lelaki kelahiran Balingka, Sumatera Barat, 25 September 1952 ini mengaku, itu semua merupakan buah didikan keras ayahnya, Ilyas Sutan Nagari. ''Saya merasakan, karena kerasnya itulah, saya bisa kayak gini sekarang. Ketika sudah gede, saya bilang terima kasih banget sudah mendidik saya dengan keras. Seandainya dia dulu lunak, pastilah saya tidak bisa jadi begini,'' katanya mengenang.
Karni juga tidak menafikan peran besar istrinya, Yulinas, selama menjalani profesi wartawan. Perempuan yang dinikahinya pada 25 September 1977 itu diakuinya sangat tegar dan mandiri. Dia paham betul bahwa profesi wartawan akan menyita banyak waktu suaminya di lapangan. Karni pun bertutur tentang kehebatan sang istri sebagai pendampingnya.
Suatu ketika, saat istrinya dua hari lagi diperkirakan bakal melahirkan anak kedua mereka, Karni mendapat penugasan ke Singapura. Justru istrinyalah yang menyuruh dia berangkat. Dan, benar saja, anak perempuannya itu lahir saat Karni masih di negeri jiran. ''Dia sendiri naik becak ke bidan, lalu melahirkan. Istri lain mana ada yang begitu? Itu salah satu pengorbanan besar dia,'' ujar Karni.
Akhirulkalam, hasil didikan keras sang ayah dan pengorbanan sang istri tidak sia-sia dan berbuah sangat manis. Hasil pengabdiannya selama 40 tahun sebagai wartawan tak percuma. Cita-cita yang dibangunnya sejak kecil --menjadi wartawan dan ingin terkenal-- tercapai sudah. Malah, pada 27 Maret lalu, Karni mendapat Lifetime Achievement Awards dari Panasonic Gobel. Sebelumnya, pada 2010, ia mendapat anugerah Number One Press Card dari Persatuan Wartawan Indonesia.sum.Gatra/T
Tidak ada komentar