Kastorius Sinaga: Memahami Konflik Sosial di Indonesia
Prof Jack L. Snyder dari Columbia University, New York, AS, dalam bukunya yang terkenal berjudul From Voting to Violence, Democratization and Nationalist Conflict (Reed Business Information,
2000), menulis bahwa peralihan dari sistem otoriter ke sistem
demokrasi, yang mengadopsi sistem pemilu langsung dan bebas, seringkali
akan mereproduksi konflik sosial berbasis etnik yang meletup secara
sporadis dan mudah tereskalasi dari satu tempat ke tempat lain.
Buku ini pernah kami diskusikan bersama beberapa aktivis di forum diskusi Indonesian Democracy Monitor (Indemo), tahun 2005 lalu, bersama Prof Snyder sendiri, ketika dia mengunjungi Jakarta kala itu. Meski studi kasus yang dipakai oleh Snyder secara geografis cukup jauh dari Indonesia, yaitu revolusi bersejarah Prancis melawan okupasi Nazi Jerman, kasus pecahnya Uni Soviet dan demokratisasi di Afrika Tengah dan Asia Selatan, namun proposisi teoritik Snyder terasa relevan untuk Indonesia. Snyder mengatakan bahwa konflik sosial berdimensi etnik/SARA akan terus berlangsung di dalam proses demokratisasi hingga sistem hukum yang dipercaya, serta lembaga dan kepemimpinan politik yang dipilih secara demokratis memiliki wibawa, kapasitas dan kredibilitas di dalam menjalankan proses-proses ekonomi dan politik.
Dengan proposisi tersebut, Snyder ingin mengatakan bahwa negara-negara yang mengalami transisi demokrasi akan mengalami masa turbulensi konflik sosial untuk kemudian mencapai keseimbangan stabilitas politik lewat efektifitas sistem-sistem demokrasi yang terbangun. Bila masa turbulensi ini tidak dapat dilalui dengan baik, maka negara transisi demokrasi tersebut akan rawan jatuh ke kategori 'failed state' atau negara gagal. Kasus seperti ini sedang dialami oleh Afrika Tengah, yang gagal membawa demokratisasi tahun 1992 akibat terjebak pada konflik etnik bersenjata.
Tesis negara gagal (failed state) sering juga dikumandangkan untuk Indonesia. Meski motifnya sarat dengan provokasi politis oleh mereka yang berada di 'barisan sakit hati', namun esensi analisis sering terfokus pada fakta maraknya konflik sosial--entah itu bersumber pada perebutan sumberdaya alam, tanah, perkebunan maupun berdimensi SARA--di tengah-tengah rendahnya sinerjitas lembaga penjaga keamanan dan rendahnya kredibilitas penegak hukum, dalam hal ini Polri, yang dipandang tidak tegas untuk menindak aktor dan organisasi yang selalu menyulut konflik.
Konflik Sosial di Era Reformasi Meningkat
Harus diakui, selama kurun lebih 14 tahun berlangsungnya era reformasi, berbagai jenis konflik sosial yang menggunakan kekerasan, bersifat komunal dan menelan korban jiwa dan materi berulang kali terjadi di hampir seluruh pelosok Tanah Air. Konflik di Maluku, kerusuhan di Jakarta, konflik komunal Poso, gerakan Organisasi Papua Merdeka, konflik anarkis di Bima, Mesuji-Lampung, Sampang, Cikeusik-Banten, GKI-Yasmin-Bogor hingga baru-baru ini kerusuhan di Sumbawa dan seterusnya adalah sejumlah konflik sosial yang mencolok dan sebagaian besar memiliki dimensi SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Konflik-konflik sejenis, memang, juga terjadi di masa Orde Baru. Namun baik dari segi frekuensi, eskalasi dan dari segi skala, aneka ragam konflik sosial yang ada saat reformasi sekarang ini cenderung lebih menjamur.
Keprihatinan kita terhadap menjamurnya konflik sosial tersebut bukan saja terletak pada dampak konflik menyangkut korban jiwa, harta dan maupun trauma pasca-konflik yang dialami oleh masyarakat korban. Keprihatinan itu terlebih dan terutama berhubungan juga dengan persoalan makro yang sangat esensial menyangkut keyakinan kita akan masa depan bangsa Indonesia, masa depan nilai-nilai pluralisme dan demokratisasi itu sendiri. Di samping itu, serta stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi hingga pada kepercayaan investor dan luar negeri terhadap bangsa kita.
Bahkan, seiring dengan merebaknya berbagai konflik tersebut, di tengah keterbatasan sarana, personel dan kemampuan institusi Polri selaku pembina, penegak hukum dan penjaga keamanan dalam negeri, ternyata institusi Polri telah turut menjadi sasaran utama kekerasan konflik dan anarkisme masyarakat akhir-akhir ini. Penyerangan kelompok masyarakat terhadap aparat Kepolisian di tahun 2012 meningkat tajam dengan frekuensi, eskalasi dan modus yang sangat memprihatinkan. Sebanyak 85 fasilitas milik Polri (umumnya kantor polisi) dibakar atau dirusak sepanjang kurun tahun 2012 yang baru berlalu. Angka ini jauh meningkat dibanding tahun 2011, sebanyak 65, dan di tahun 2010 dengan kasus 20 fasilitas Polri yang dibakar dan dirusak massa. Disamping itu, sepanjang tahun 2012, sebanyak 15 anggota Polri tewas dibunuh secara mengenaskan saat menjalankan tugas.
Singkatnya, meningkatnya serangan mematikan kepada institusi dan aparat Polri sepanjang tahun 2012 harus dilihat secara serius sebagai sebuah indikator baru tentang urgensinya penanganan keamanan serta mendesaknya penanaganan konflik sosial di masyarakat untuk ditangani secara komprehensif hingga ke akar masalahnya. Dalam konteks ini, kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa meningkatnya penyerangan terhadap institusi Polri, sebagai simbol utama lembaga negara yang memiliki mandat konstitusi untuk menjaga Kamtibmas dan penegakan hukum, merupakan lampu kuning tentang situasi keamanan dan ketertiban di masyarakat kita. Dalam hubungan inilah, kiranya dapat diterima bahwa tahun 2012 merupakan tahun terburuk kondisi keamanan dalam negeri kita, sehingga Presiden SBY mengeluarkan Inpres Keamanan Nasional agar di tahun mendatang terjadi perbaikan yang nyata dan komprehensif.
Perlunya Peningkatan Kapasitas Sistem
Refleksi buruknya sektor keamanan 2012 mendorong kita untuk memaknai konflik sosial yang ada secara lebih mendalam, serius dan komprehensif. Memang pemerintah sudah memiliki payung hukum berupa UU Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Namun, keberhasilan pelaksanaan UU ini tidaklah hanya di tangan pemerintah c.q Kepolisian semata, tetapi lebih jauh adalah tanggung-jawab semua pihak. Memaknai konflik berarti memahami akar penyebab, mengidentifikasi aktor yang berperan di dalamnya, memahami pola eskalasi konflik serta mengenali faktor-faktor struktural yang mendorong munculnya konflik itu sendiri.
Dalam konteks pemaknaan konflik tersebut, terdapat beberapa proposisi penting. Pertama, proses industrialiasasi dan modernisasi ekonomi di berbagai bidang akan menimbulkan perebutan sumber daya ekonomi yang tidak seimbang di antara berbagai kelompok di masyarakat, sehingga dengan sendirinya akan menimbulkan berbagai dampak yang mengakibatkan frustrasi sosial dan marjinalisasi yang berpotensi memicu aneka konflik sosial, termasuk yang berdimensi SARA. Kedua, kesenjangan struktural yang menyejarah (historical structural inequality) melahirkan fragmentasi kelompok di masyarakat yang akan menyuburkan konflik identitas berdimensi SARA. Ketiadaan kebijakan negara yang konsisten dan secara terus-menerus yang berpihak pada rasa keadilan akan melembagakan sikap radikal kelompok bawah terhadap tatanan dan sistem yang ada. Ketiga, semakin rendah kemampuan sistem penegakan hukum untuk mengadaptasi/menyesuaikan diri kepada kepentingan dan nilai-nilai masyarakat, baik secara faktual maupun persepsi, maka semakin tinggi kebutuhan dan motivasi kelompok-kelompok dissident di masyarakat untuk melakukan kekerasan dan pengorganisasian diri sendiri di dalam mendesakkan kepentingan dan memaksakan tujuannya. Dalam konteks ini, konflik sosial oleh dan antar kelompok merupakan cermin bening dari rendahnya kapasitas dan responsivitas sistem-sistem kenegaraan kita di dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan dan aspirasi masyarakat.
Kastorius Sinaga
Penulis adalah sosiolog yang saat ini menjadi Penasihat Ahli Kapolri.
Buku ini pernah kami diskusikan bersama beberapa aktivis di forum diskusi Indonesian Democracy Monitor (Indemo), tahun 2005 lalu, bersama Prof Snyder sendiri, ketika dia mengunjungi Jakarta kala itu. Meski studi kasus yang dipakai oleh Snyder secara geografis cukup jauh dari Indonesia, yaitu revolusi bersejarah Prancis melawan okupasi Nazi Jerman, kasus pecahnya Uni Soviet dan demokratisasi di Afrika Tengah dan Asia Selatan, namun proposisi teoritik Snyder terasa relevan untuk Indonesia. Snyder mengatakan bahwa konflik sosial berdimensi etnik/SARA akan terus berlangsung di dalam proses demokratisasi hingga sistem hukum yang dipercaya, serta lembaga dan kepemimpinan politik yang dipilih secara demokratis memiliki wibawa, kapasitas dan kredibilitas di dalam menjalankan proses-proses ekonomi dan politik.
Dengan proposisi tersebut, Snyder ingin mengatakan bahwa negara-negara yang mengalami transisi demokrasi akan mengalami masa turbulensi konflik sosial untuk kemudian mencapai keseimbangan stabilitas politik lewat efektifitas sistem-sistem demokrasi yang terbangun. Bila masa turbulensi ini tidak dapat dilalui dengan baik, maka negara transisi demokrasi tersebut akan rawan jatuh ke kategori 'failed state' atau negara gagal. Kasus seperti ini sedang dialami oleh Afrika Tengah, yang gagal membawa demokratisasi tahun 1992 akibat terjebak pada konflik etnik bersenjata.
Tesis negara gagal (failed state) sering juga dikumandangkan untuk Indonesia. Meski motifnya sarat dengan provokasi politis oleh mereka yang berada di 'barisan sakit hati', namun esensi analisis sering terfokus pada fakta maraknya konflik sosial--entah itu bersumber pada perebutan sumberdaya alam, tanah, perkebunan maupun berdimensi SARA--di tengah-tengah rendahnya sinerjitas lembaga penjaga keamanan dan rendahnya kredibilitas penegak hukum, dalam hal ini Polri, yang dipandang tidak tegas untuk menindak aktor dan organisasi yang selalu menyulut konflik.
Konflik Sosial di Era Reformasi Meningkat
Harus diakui, selama kurun lebih 14 tahun berlangsungnya era reformasi, berbagai jenis konflik sosial yang menggunakan kekerasan, bersifat komunal dan menelan korban jiwa dan materi berulang kali terjadi di hampir seluruh pelosok Tanah Air. Konflik di Maluku, kerusuhan di Jakarta, konflik komunal Poso, gerakan Organisasi Papua Merdeka, konflik anarkis di Bima, Mesuji-Lampung, Sampang, Cikeusik-Banten, GKI-Yasmin-Bogor hingga baru-baru ini kerusuhan di Sumbawa dan seterusnya adalah sejumlah konflik sosial yang mencolok dan sebagaian besar memiliki dimensi SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Konflik-konflik sejenis, memang, juga terjadi di masa Orde Baru. Namun baik dari segi frekuensi, eskalasi dan dari segi skala, aneka ragam konflik sosial yang ada saat reformasi sekarang ini cenderung lebih menjamur.
Keprihatinan kita terhadap menjamurnya konflik sosial tersebut bukan saja terletak pada dampak konflik menyangkut korban jiwa, harta dan maupun trauma pasca-konflik yang dialami oleh masyarakat korban. Keprihatinan itu terlebih dan terutama berhubungan juga dengan persoalan makro yang sangat esensial menyangkut keyakinan kita akan masa depan bangsa Indonesia, masa depan nilai-nilai pluralisme dan demokratisasi itu sendiri. Di samping itu, serta stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi hingga pada kepercayaan investor dan luar negeri terhadap bangsa kita.
Bahkan, seiring dengan merebaknya berbagai konflik tersebut, di tengah keterbatasan sarana, personel dan kemampuan institusi Polri selaku pembina, penegak hukum dan penjaga keamanan dalam negeri, ternyata institusi Polri telah turut menjadi sasaran utama kekerasan konflik dan anarkisme masyarakat akhir-akhir ini. Penyerangan kelompok masyarakat terhadap aparat Kepolisian di tahun 2012 meningkat tajam dengan frekuensi, eskalasi dan modus yang sangat memprihatinkan. Sebanyak 85 fasilitas milik Polri (umumnya kantor polisi) dibakar atau dirusak sepanjang kurun tahun 2012 yang baru berlalu. Angka ini jauh meningkat dibanding tahun 2011, sebanyak 65, dan di tahun 2010 dengan kasus 20 fasilitas Polri yang dibakar dan dirusak massa. Disamping itu, sepanjang tahun 2012, sebanyak 15 anggota Polri tewas dibunuh secara mengenaskan saat menjalankan tugas.
Singkatnya, meningkatnya serangan mematikan kepada institusi dan aparat Polri sepanjang tahun 2012 harus dilihat secara serius sebagai sebuah indikator baru tentang urgensinya penanganan keamanan serta mendesaknya penanaganan konflik sosial di masyarakat untuk ditangani secara komprehensif hingga ke akar masalahnya. Dalam konteks ini, kita dapat menarik kesimpulan sementara bahwa meningkatnya penyerangan terhadap institusi Polri, sebagai simbol utama lembaga negara yang memiliki mandat konstitusi untuk menjaga Kamtibmas dan penegakan hukum, merupakan lampu kuning tentang situasi keamanan dan ketertiban di masyarakat kita. Dalam hubungan inilah, kiranya dapat diterima bahwa tahun 2012 merupakan tahun terburuk kondisi keamanan dalam negeri kita, sehingga Presiden SBY mengeluarkan Inpres Keamanan Nasional agar di tahun mendatang terjadi perbaikan yang nyata dan komprehensif.
Perlunya Peningkatan Kapasitas Sistem
Refleksi buruknya sektor keamanan 2012 mendorong kita untuk memaknai konflik sosial yang ada secara lebih mendalam, serius dan komprehensif. Memang pemerintah sudah memiliki payung hukum berupa UU Nomor 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Namun, keberhasilan pelaksanaan UU ini tidaklah hanya di tangan pemerintah c.q Kepolisian semata, tetapi lebih jauh adalah tanggung-jawab semua pihak. Memaknai konflik berarti memahami akar penyebab, mengidentifikasi aktor yang berperan di dalamnya, memahami pola eskalasi konflik serta mengenali faktor-faktor struktural yang mendorong munculnya konflik itu sendiri.
Dalam konteks pemaknaan konflik tersebut, terdapat beberapa proposisi penting. Pertama, proses industrialiasasi dan modernisasi ekonomi di berbagai bidang akan menimbulkan perebutan sumber daya ekonomi yang tidak seimbang di antara berbagai kelompok di masyarakat, sehingga dengan sendirinya akan menimbulkan berbagai dampak yang mengakibatkan frustrasi sosial dan marjinalisasi yang berpotensi memicu aneka konflik sosial, termasuk yang berdimensi SARA. Kedua, kesenjangan struktural yang menyejarah (historical structural inequality) melahirkan fragmentasi kelompok di masyarakat yang akan menyuburkan konflik identitas berdimensi SARA. Ketiadaan kebijakan negara yang konsisten dan secara terus-menerus yang berpihak pada rasa keadilan akan melembagakan sikap radikal kelompok bawah terhadap tatanan dan sistem yang ada. Ketiga, semakin rendah kemampuan sistem penegakan hukum untuk mengadaptasi/menyesuaikan diri kepada kepentingan dan nilai-nilai masyarakat, baik secara faktual maupun persepsi, maka semakin tinggi kebutuhan dan motivasi kelompok-kelompok dissident di masyarakat untuk melakukan kekerasan dan pengorganisasian diri sendiri di dalam mendesakkan kepentingan dan memaksakan tujuannya. Dalam konteks ini, konflik sosial oleh dan antar kelompok merupakan cermin bening dari rendahnya kapasitas dan responsivitas sistem-sistem kenegaraan kita di dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan dan aspirasi masyarakat.
Kastorius Sinaga
Penulis adalah sosiolog yang saat ini menjadi Penasihat Ahli Kapolri.
Tidak ada komentar