Konflik Sumbawa seperti Puncak Gunung Es
LINTAS PUBLIK- DENPASAR, Gubernur Bali I Made Mangku
Pastika berharap para pelaku kekerasan di Sumbawa, Nusa Tenggara
Barat (NTB), bisa ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Negara juga
harus bisa memastikan untuk menjamin seluruh hak asasi setiap
warganya. Hal itu diungkapkan Made di Denpasar, Bali, Jumat (25/1).
“Harus ada langkah nyata dan
terus-menerus untuk menegakkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka
Tunggal Ika sebagai nilai-nilai luhur bangsa,” katanya.
Ia menegaskan, konflik di Sumbawa
merupakan puncak gunung es dari beragam masalah yang sebenarnya
terjadi di tataran masyarakat, baik sosial, agama, ekonomi, ideologi,
maupun politik.
Oleh karena itu, aparat keamanan harus menuntaskan
masalah yang telah terjadi dan mencegah potensi masalah yang akan
terjadi. Made telah berkomunikasi dengan Gubernur NTB Muhammad Zainul
Majdi, untuk mencari solusi bersama atas masalah yang ada.
Ketua DPRD Bali Oka Ratmadi mengaku
sangat prihatin dengan kerusuhan yang terjadi di Sumbawa tersebut.
Namun, ia menegaskan penyelesaian masalah tidak cukup dengan
mengeluarkan pernyataan, tetapi harus dengan tindakan nyata dari
pemerintah. “Percuma ada banyak aturan kalau hati kita tidak
bersatu,” katanya.
Sejumlah elemen masyarakat yang
tergabung dalam Forum Solidaritas Setia Nusantara (FSSN), kemarin,
menggelar aksi damai di gedung DPRD Bali sebagai bentuk keprihatian
yang mendalam terhadap aksi kerusuhan di Sumbawa Besar.
Mereka
menuntut pemerintah pusat dan daerah, serta aparat keamanan untuk
bersikap tegas dan adil terhadap pelaku kerusuhan di Sumbawa Besar
tersebut.
“Para pendahulu kita membangun bangsa ini dengan
dasar kontrak sosial antaretnis yang ingin bersatu menjadi NKRI
dengan prasyarat bahwa NKRI dapat menjamin tegaknya hak asasi warga
negara, serta tegaknya supremasi hukum. Hal tersebut sangat bertolak
belakang dengan apa yang terjadi sekarang ini manakala sudah sering
sekali terjadi konflik-konflik yang berwujud kekerasan dalam
kehidupan berbangsa,” kata Koordinator Aksi, I Made Suryawan.
FSSN juga menyayangkan berbagai bentuk
aksi kekerasan terhadap warga etnis minoritas di seluruh Indonesia
oleh pelaku-pelaku kekerasan yang telah melanggar norma-norma agama
dan hukum, serta melanggar sila ketiga Pancasila.
Sementara itu, di Sulawesi Selatan
(Sulsel), Bupati Kabupaten Wajo Burhanuddin Unru dituduh menganiaya
warganya di depan polisi, menjelang hari pencoblosan pilkada Gubernur
dan Wakil Gubernur Sulsel, Selasa (22/1). Warganya dipaksa mengaku
sebagai teroris yang diutus oleh salah satu pasangan calon gubernur
Sulsel.
Akhiruddin, salah
seorang korban penganiayaan, Jumat, mengaku dia bersama lima rekannya
dianiaya menjelang pencoblosan. Saat itu Burhanuddin bersama
rombongannya yang mengenakan seragam FKPPI datang dan menggeledah
kediaman M Azis di Kampung Doping, Wajo, sekitar pukul 03.30 Wita.
“Saya yang pertama ditinju oleh bupati Wajo. Dia menarik dan
menendang saya, dan ditinju sampai mata saya bengkak. Kadis
Pendidikan Wajo Jasman Juanda memegang saya, lalu bupati Wajo tinju
saya lagi. Kemudian kami diikat lalu diseret keluar rumah. Ada ji
polisi, tapi mereka hanya menonton. Tidak mau menolong kami,” kata
Azis yang ikut dianiaya saat itu.
Ada empat orang yang
menjadi korban penganiayaan Burhanuddin, yakni Akhiruddin, Azis,
Dakirwan, dan Nurfahmi (istri Akhiruddin).
“Burhanuddin menyeret
kami di tengah banyak orang. Kami diikat, diseret, lalu diarak-arak
di jalanan. Saat itu bupati Wajo berteriak-teriak bahwa kami adalah
teroris yang diutus Ilham-Aziz dan mengatakan jangan pilih IA,”
kata Akhiruddin sembari memperlihatkan memar bekas ikatan di
tangannya. SHNews/T
Tidak ada komentar