Header Ads

Mulai dari PSK, WTS, Kumpul Kebo Area Ada di Jepara

LINTAS PUBLIK-JEPARA, Saat turun dari mobil, Wawan beserta anak laki-lakinya, Dava Febrian, bergegas menghampiri Munti. Perempuan lanjut usia yang menjajakan blendung. Makanan yang terbuat dari jagung yang direbus dengan kapur. Biasanya, blendung dimakanan dengan parutan kalapa muda, itu merupakan makanan lawas kesukaan Wawan. Sedangkan Dava nylonong sendiri menghampiri salah seorang pedagang gethuk kinco. “Kalau kesini yang saya cari ya, ini,” terang warga Kalinyamatan yang sore itu datang didamping istrinya.

“Saya makan blendung terakhir waktu SMP,” celetuk Kustam Ekajalu, salah satu pengunjung Pasar Sore Karangrandu (PSK) dari Mayong saat mengetahui Munti, perempuan dihadapannya memberikan sebungkus blendung pada Wawan.

Blendung adalah salah satu makanan lawas yang dijual di PSK. Ya, di PSK banyak dijual makanan-makanan lawas yang sudah jarang dijumpai di pasar-pasar tradisional di Jepara. Seperti gayam, pecel horog-horog, cethot, sate cecek, dan gethuk kinco.

Adalah Mukafi sosok yang menggagas lahirnya PSK di Karangrandu, Pecangaan, Kabupaten Jepara. Mukafi tak lain kepala desa setempat. Sesuai dengan namanya, kesibukan mulai nampak di PSK sejak pukul 14.00 WIB hingga 18.00 WIB.

Selain PSK, Mukafi juga membuat WTS (Warung Tengah Sawah). Yaitu warung tempat berkumpulnya para petani bertukar pengalaman dalam mengolah lahan pertanian. “Jadi obrolan mereka di WTS juga dimuati muatan yang mendukung kemajuan pertanian,” terang kepala desa berusia 30 tahun itu.

Kemudian yang tak kalah nyetrik adalah Kumpul Kebo Area. Dimana istilah kumpul kebo seperti diketahui banyak orang adalah laki-laki perempuan yang tinggal serumah tanpa ikatan pernikahan. Di sini pun sama, hanya saja yang tinggal serumah bukan manusia melainkan puluhan ekor kerbau. “Disitu memang kita jadikan pusat peternakan dan pengembangbiakan kerbau,” jelas Mukafi.

Di tahun 2010 Perintah Kabupaten Jepara bermaksud menjadikan desa tersebut sebagai desa wisata. Namun, dengan tegas Mukafi menolak desa yang dipimpinnya di jadikan desa wisata. Menurutnya, dengan label desa wisata, ditakutkan pola pikir masyarakat menjadi kapitalis. Padahal, penjual di PSK yang menempati los-los tidak dikenakan biaya sewa sepeser pun.

Dalam pola perdagangan di PSK, ada filosofi Jawa yang hingga kini masih dipegang teguh, Tuna Satak Bathi Sanak. Ungkapan tersebut merupakan pola befikir dalam perdagangan yang tak mengejar keuntungan materi semata. Dengan bertambahnya teman atau kenalan di pasar tersebut, itu salah satu bentuk untung berjualan di PSK. “
Jadi saling berbagi jenis makanan yang dijual di PSK itu sudah lumrah, tapi kalau ada label desa wisata pasti semua akan menghitung untung-rugi,” pungkas Mukafi.JarNews/T

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.