Pejabat Publik Harus Bersih dari Kejahatan Perkawinan
JAKARTA, Jaringnews.com - Komnas Perempuan menilai
perlu adanya aturan hukum yang jelas mengatur kriteria rekrutmen pejabat
publik yang bebas dari kejahatan dan pelangaran perkawinan. Hal ini
menyusul maraknya pejabat publik menjadi pelaku kejahatan dan
pelanggaran perkawinan.
"Masih banyak aturan mengenai perkawinan yang harus di-review. Aturan saat ini masih tumpang tindih dan rancu, begitu juga dengan aparat hukumnya sendiri yang kurang mengerti menangani persoalan ketika terjadi kejahatan perkawinan maupun pelanggaran perkawinan yang dilakukan oleh pejabat publik," ujar Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (6/2).
Pasal 279 KUHP mengatakan bahwa pejabat publik melakukan pelanggaran perkawinan maupun kejahatan perkawinan, yaitu pelaksanaan perkawinan dengan tidak memenuhi unsur-unsur ataupun prosesur perkawinan yang sah yang diatur dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka pejabat tersebut bisa dicabut haknya untuk menduduki segala jabatan bahkan untuk hak memilih dan dipilih. Namun, aturan itu tidak cukup berarti untuk menghindari terjadinya pelanggaran perkawinan dan kejahatan perkawinan itu sendiri, yang selalu saja menyisakan korban bagi si perempuan dan penelantaran anak.
"Itu perlunya untuk menghindari, ditekankan saat perekrutan pejabat publik harus terbebas dari tindakan kejahatan dan pelanggaran perkawinan tersebut," terangnya.
Adapun kejahatan perkawinan dan pelanggaran perkawinan yang dimaksud diantaranya adalah, tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pernikahan siri ataupun pernikahan yang tidak dicatatkan dalam catatan sipil, poligami yang tidak memenuhi unsur perundang-undangan serta pernikahan di bawah umur.
Dari data yang ditemukan Komnas Perempuan, tercatat bahwa pada akhir tahun 2012 saja, terdapat sekitar tiga pejabat publik yang melakukan nikah siri. Mereka diantaranya Walikota Palembang, Wakil Walikota Magelang dan Bupati Garut. Dari tiga pejabat publik tersebut, baru Bupati Garut saja yang diproses secara hukum.JN/T
"Masih banyak aturan mengenai perkawinan yang harus di-review. Aturan saat ini masih tumpang tindih dan rancu, begitu juga dengan aparat hukumnya sendiri yang kurang mengerti menangani persoalan ketika terjadi kejahatan perkawinan maupun pelanggaran perkawinan yang dilakukan oleh pejabat publik," ujar Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (6/2).
Pasal 279 KUHP mengatakan bahwa pejabat publik melakukan pelanggaran perkawinan maupun kejahatan perkawinan, yaitu pelaksanaan perkawinan dengan tidak memenuhi unsur-unsur ataupun prosesur perkawinan yang sah yang diatur dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka pejabat tersebut bisa dicabut haknya untuk menduduki segala jabatan bahkan untuk hak memilih dan dipilih. Namun, aturan itu tidak cukup berarti untuk menghindari terjadinya pelanggaran perkawinan dan kejahatan perkawinan itu sendiri, yang selalu saja menyisakan korban bagi si perempuan dan penelantaran anak.
"Itu perlunya untuk menghindari, ditekankan saat perekrutan pejabat publik harus terbebas dari tindakan kejahatan dan pelanggaran perkawinan tersebut," terangnya.
Adapun kejahatan perkawinan dan pelanggaran perkawinan yang dimaksud diantaranya adalah, tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pernikahan siri ataupun pernikahan yang tidak dicatatkan dalam catatan sipil, poligami yang tidak memenuhi unsur perundang-undangan serta pernikahan di bawah umur.
Dari data yang ditemukan Komnas Perempuan, tercatat bahwa pada akhir tahun 2012 saja, terdapat sekitar tiga pejabat publik yang melakukan nikah siri. Mereka diantaranya Walikota Palembang, Wakil Walikota Magelang dan Bupati Garut. Dari tiga pejabat publik tersebut, baru Bupati Garut saja yang diproses secara hukum.JN/T
Tidak ada komentar