Header Ads

Hary Tanoe dan 'Kewartawanannya'

Sejumlah sahabat hari Jumat 1 Maret 2013 kemarin menelpon saya. Isinya bercerita, bertanya maupun bercurhat tentang sebuah peristiwa.
Yaitu peristiwa dimana bos MNC, Hary Tanoe bereaksi secara kontra produktif terhadap pertanyaan dari wartawan Media Indonesia ataupun MetroTV. Kejadian itu muncul dalam satu acara dimana Hary Tanoe menjadi nara sumber berita.
Mereka menyebutnya sebagai sebuah 'insiden' sebab peristiwa itu bagaimanapun terkait dengan cideranya salah satu bagian dari tubuh pers Indonesia. Wartawan atau reporter dari media tersebut, tersakiti oleh sikap Hary Tanoe.
Mereka menghubungi saya dengan persepsi, bahwa saya mengenal Hary Tanoe begitu pula bos dari Media Indonesia dan Metro TV, Surya Paloh. Lalu apa tanggapan saya?
Memang benar saya mengenal kedua tokoh tersebut. Saya menjadi Pemimpin Redaksi RCTI, April 2003-Agustus 2005, di stasiun televisi milik Hary Tanoe. Dengan Surya Paloh saya menjadi anak buahnya selama 13 tahun (1986 - 1999). "Insiden" itu tidak saya saksikan. Setelah melakukan pencarian melalui "google", insiden itu ternyata tidak menjadi berita di dunia maya.
Kendati begitu inti yang disampaikan para sahabat wartawan itu adalah kegalauan mereka atas sikap Hary Tanoe. Mereka melihat Hary Tanoe seorang tokoh baru di dunia pers yang tidak berpihak kepada karyawan pers.
Mereka galau sebab Hary Tanoe yang sudah menjadi pemain penting dalam industri pers, tetapi justru bersikap tidak pada tempatnya kepada sebagian komponen pers. Siapa lagi yang akan menjadi advokat para komunitas pers Indonesia, mereka bertanya.
Hary Tanoe yang kini sudah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat di DPP Hanura, telah menjadi salah seorang nara sumber penting. Setelah menjadi politisi, Hary Tanoe sebetulnya sudah harus cerdik bermain politik. Ia tidak boleh sembarangan memperlihatkan ketidak senangannya terhadap seseorang. Ia harus memperbanyak jumlah sahabat.
Para sahabat itu khawatir kalau dalam melayani pers, cara tak terpuji Hary Tanoe lalu ditiru para nara sumber lainnya, bakal terbentuk budaya yang tidak positif di dalam menghadapi para wartawan.
Kalau seorang tokoh mulai membuat garis demarkasi setiap pers di Indonesia, maka pers nasional pun akan mengalami pengelompokan. Kalau sudah begitu, lantas dimana lagi kenetralan setiap media di Indonesia ?
Hary Tanoe baru saja membentuk dan mendeklarasikan ormas Persatuan Indonesia. Dari namanya jelas, Hary Tanoe punya visi untuk mempersatukan bangsa dan rakyat Indonesia. Namun dengan insiden itu, Hary Tanoe justru tidak berprilaku sebagai pemersatu Indonesia.
Dalam peristiwa itu katanya, Hary Tanoe yang ditanya oleh wartawan Media Indonesia atau Metro TV, membuka jawabannya dengan kalimat : "...... ini pertanyaan titipan yah....".
Walaupun tidak dilanjutkan, tapi maksud Hary Tanoe langsung dimengerti oleh para awak media. Yaitu Hary sedang merujuk ke Surya Paloh, bos reporter yang mengajukan pertanyaan kepadanya. Artinya ada dendam tersisa Hary Tanoe pada diri Surya Paloh.
Akibat jawaban atau reaksi Hary Tanoe, para wartawan terbelah perasaan dan persepsi mereka. Ada yang merasa dilecehkan dan ada juga yang merasa tertantang. Ada pula yang mengkhawatirkan kalau perpecahan atau permusuhan antara Hary Tanoe dan Surya Paloh pada akhirnya melebar secara institusional, lantas mau kemana atau bagaimana nasibnya nanti pers Indonesia?
Tapi apapun reaksi para wartawan atau reporter yang hadir dalam acara itu, Hary Tanoe dianggap, sudah punya persepsi yang apriori terhadap wartawan. Boleh jadi Hary Tanoe menganggap setiap wartawan yang bekerja di medianya, juga harus tunduk kepadanya sebagai pemilik. Hary pun melakukan generalisasi seakan-akan setiap wartawan boleh punya kebebasan profesional tetapi pada akhirnya harus tunduk kepada pemilik modal, tak peduli sang pemilik berada dalam posisi salah atau benar.
Kalau Hary Tanoe memiliki pandangan seperti itu, ini berarti walaupun sudah satu dekade menekuni dunia media, waktu sepuluh tahun itu belum membuatnya dewasa sebagai pemilik media.
Hary Tanoe sepatutnya meniru pemilik media lainnya. Tidak usah dengan mereka yang besar namun lahir dari perusahaan media yang kecil. Seperti Jakob Oetama dengan Kompas Group-nya dan Dahlan Iskan dengan Jawa Pos Group-nya.
Cukup dengan Aburizal Bakrie pemilik TVOne. Sejarah dan latar belakangnya menekuni industri medua, juga mirip Hary Tanoe. Yaitu menjadi pengusaha sukses dulu, baru mendirikan media.
Lewat acara Indonesia Lawyers Club, Aburizal alias Ical tidak pernah terkesan menggunakan pengaruhnya untuk mendikte Karni Ilyas. Wartawan senior dan Pemimpin Redaksi TVOne itu bebas memainkan berbagai isu berita seakan yang menjadi penentu di tv swasta itu justru bukan Ical pemiliknya lagi.
Demikian bebasnya Karni Ilyas bermain-main di televisi milik Ical. Namun, yang mendapatkan nama sebagai seorang demokrat sejati adalah Ical. Sebab Ical dinilai menghormati kebebasan pers yang dipraktekkan Karni Ilyas.
Hary Tanoe perlu sadar jika ketokohannya sebagai pemilik dari sejumlah media tidak dia rawat secara benar, cepat atau lambat dia akan hancur. Jika Hary Tanoe ingin menjadi 'bosnya para wartawan' caranya bukan dengan pendekatan kekuatan.
Kehancuran Hary Tanoe berikut konglomerasi medianya bisa disebabkan oleh tingkahnya tapi juga oleh para profesional yang ada di dalam yang tidak rela dijadikan oleh Hary Tanoe hanya sebagai wayang.
Hary Tanoe boleh saja membawahi ratusan bahkan ribuan wartawan. Tetapi hal ini bukan sebuah jaminan bahwa Hary Tanoe akan dianggap sebagai tokoh pers atau wartawan yang kredibel.
Banyaknya wartawan yang menerima gaji bulanan dari Hary Tanoe, tidak berarti semua mereka akan menjadi manusia-manusia penurut. Wartawan yang profesional, bagaimanapun akan selalu mengedepankan HANURA (Hati Nurani Rakyat).
Jadi kalaupun ada wartawan, redaktur bahkan pimpinan media di konglomerasinya yang punya sikap penurut, hal itu tidak bisa dijadikannya sebagai tolok ukur. Sebab wartawan sejati punya kepribadian yang tak ingin didikte dan dikekang.
Hary Tanoe saat ini mungkin sudah merasa - ia benar-benar sudah menjadi darling-nya publik. Sebab semenjak pecah kongsi dengan Surya Paloh, ia dielu-elukan oleh banyak kalangan. Partai Hanura termasuk yang menyambutnya dengan hamparan karpet merah.
Hary Tanoe sedang menikmati eforia.
Satu hal yang mungkin tak boleh abaikan oleh Hary Tanoe bahwa eforia itu sifatnya sementara. Eforia itu mirip saham yang diperdagangkan di Bursa Saham.
Nilainya bisa naik terus menerus karena digoreng oleh para pialang. Tapi pada saatnya saham itu terpaksa turun bahkan bisa anjlok ke titik yang terendah dan dapat menyebabkan perusahaannya bangkrut. Ambil contoh pasar modal Wall Street, New York. Siapa yang bisa menyangka emiten raksasa dunia dan usia bisnis mereka ada yang sudah lebih seratus tahun, toh bisa hancur.
Boleh jadi setelah Hary Tanoe meninggalkan Nasdem dan diterima Hanura, keadaan itu disamakannya dengan sebuah kemenangan besar dalam politik. Yang perlu dicermati, setiap kemenangan dalam politik akan selalu diganggu oleh lawan-lawan politik. Kemenangan besar selalu rawan akan kehancuran. Partai Demokrat, Golkar dan Partai Nasional Indonesia sudah mengalaminya.
Sejarah politik Orde Baru dengan kejatuhan Pak Harto (almarhum) merupakan pelajaran terbaru yang sangat berharga bagi kita semua. Ketika Pak Harto sudah menjadi darling-nya semua politisi. Tapi di situlah justru menjadi titik awal menuju kehancurannya.
Tidak ada pesta yang tidak ada akhir.
Nah begitulah kurang lebih dengan kejayaan dan kebesaran Hary Tanoe.IC/T

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.