Mengikis Korupsi Politik
Korupsi dan kekuasaan bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Setiap yang berkaitan dengan kuasa menjadi lumbung yang berpeluang
disalahgunakan. Potensi korupsi kian tinggi di masa-masa menjelang
Pemilu 2014. Tahun yang acapkali disebut sebagai tahun politik ini akan
menentukan progresivitas ataukah justru titik dalam menjalankan roda
bernegara.
Partai politik dan politisi akan berlomba-lomba mengisi logistik guna pemenangan di pemilu mendatang, termasuk dengan menghalalkan segala cara mengingat mahalnya harga demokrasi yang dijalankan. Pos-pos anggaran dan kebijakan menjadi lumbung uang yang patut kita awasi secara ketat.
Proses demokrasi yang tersandera korupsi tentunya akan menghasilkan generasi kepemimpinan yang koruptif pula. Untuk itu, belenggu korupsi dalam demokrasi harus dicegah dan diberantas agar pemilu yang dilangsungkan tak semata prosedural melainkan substansial dan bermutu.
Korupsi wisma atlet dan megaproyek Hambalang serta korupsi kuota impor daging sapi yang dilakukan oleh oknum partai politik dan disinyalir dilakukan secara sistematis menjadi preseden yang menjustifikasi bahwa tahun politik akan hiruk-pikuk dengan maraknya korupsi politik. Tak ayal, partai politik (beserta parlemen dan pengadilan) masih menjadi juara bertahan tempat nyaman koruptor menurut survei Global Corruption Barometer-Transparency International Indonesia sejak 2005 hingga kini.
Incaran Koruptor
Berkaca dari pengalaman tahun 2012 yang terbaca dari Trend Corruption Report Pusat Kajian Antikorusi (Pukat), celah korupsi masih terbuka lebar setidaknya di beberapa sektor.
APBN masih menjadi dana segar incaran politisi yang merangkap jabatan sebagai calo anggaran. Persekongkolan politisi sangat tergambar dalam kasus-kasus yang terungkap. Hambalang yang melibatkan partai penguasa dan pembahasan anggaran di Badan Anggaran DPR menjadi bukti konkret betapa menggiurkannya sektor ini.
Modus pengerukan anggaran dilakukan melalui pengadaan barang dan jasa seperti yang terjadi di Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga oleh para pemburu rente. Terkhusus kasus korupsi wisma atlet dan megaproyek Hambalang, ini menjadi preseden yang harus dicermati bahwa proyek-proyek Pemerintah menjadi incaran para koruptor untuk mengalirkan uangnya ke kas parpol sehingga terjadilah kebocoran APBN dengan angka yang begitu besar.
Terapi Kejut
Guna mengikis korupsi politik, penegak hukum perlu memberikan terapi kejut sebagai rambu peringatan agar partai politik dan politisi tidak bermain-main dengan uang negara serta menyalahgunakan kewenangannya. Terbongkarnya kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi yang dilakukan oleh anggota DPR yang juga petinggi partai politik adalah sirine untuk memperketat pengawasan.
Kasus Hambalang juga menjadi perhatian mengingat jumlah kerugian negaranya yang fantastis dan dilakukan oleh petinggi partai penguasa. KPK harus tuntas mengusut tanpa terpengaruh spekulasi tertentu dan gonjang-ganjing internal partai politik.
Penegak hukum juga harus lebih berani untuk mendakwa koruptor dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) guna memaksimalkan hukuman dan pengembalian kerugian negara. Pasal ini dapat diterapkan berdampingan dengan delik korupsi mengingat selama ini dalam banyak kasus ditemukan bahwa uang hasil korupsi disamarkan dan ada yang digunakan untuk menghidupi partai politik. Selama ini, penegak hukum acapkali hanya berkutat pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Korupsi politik akan dapat dikikis jika penegak hukum tidak menjadi bagian dalam jaringan koruptor. Penegak hukum harus berkomitmen untuk menghukum berat koruptor agar efek jera (deterrant effect) muncul. Efek jera juga akan menimbulkan efek turun-temurun (trickle-down effect) agar setiap kader partai tidak main-main menyerobot uang negara.
Dan kepada rakyat, sang pemilim sejati demokrasi, saatnya menghukum partai dan politisi korup dengan tidak memilihnya di pemilu mendatang, semata untuk mengembalikan demokrasi pada khitahnya: dari, oleh, dan untuk rakyat.
M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Partai politik dan politisi akan berlomba-lomba mengisi logistik guna pemenangan di pemilu mendatang, termasuk dengan menghalalkan segala cara mengingat mahalnya harga demokrasi yang dijalankan. Pos-pos anggaran dan kebijakan menjadi lumbung uang yang patut kita awasi secara ketat.
Proses demokrasi yang tersandera korupsi tentunya akan menghasilkan generasi kepemimpinan yang koruptif pula. Untuk itu, belenggu korupsi dalam demokrasi harus dicegah dan diberantas agar pemilu yang dilangsungkan tak semata prosedural melainkan substansial dan bermutu.
Korupsi wisma atlet dan megaproyek Hambalang serta korupsi kuota impor daging sapi yang dilakukan oleh oknum partai politik dan disinyalir dilakukan secara sistematis menjadi preseden yang menjustifikasi bahwa tahun politik akan hiruk-pikuk dengan maraknya korupsi politik. Tak ayal, partai politik (beserta parlemen dan pengadilan) masih menjadi juara bertahan tempat nyaman koruptor menurut survei Global Corruption Barometer-Transparency International Indonesia sejak 2005 hingga kini.
Incaran Koruptor
Berkaca dari pengalaman tahun 2012 yang terbaca dari Trend Corruption Report Pusat Kajian Antikorusi (Pukat), celah korupsi masih terbuka lebar setidaknya di beberapa sektor.
APBN masih menjadi dana segar incaran politisi yang merangkap jabatan sebagai calo anggaran. Persekongkolan politisi sangat tergambar dalam kasus-kasus yang terungkap. Hambalang yang melibatkan partai penguasa dan pembahasan anggaran di Badan Anggaran DPR menjadi bukti konkret betapa menggiurkannya sektor ini.
Modus pengerukan anggaran dilakukan melalui pengadaan barang dan jasa seperti yang terjadi di Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Pemuda dan Olahraga oleh para pemburu rente. Terkhusus kasus korupsi wisma atlet dan megaproyek Hambalang, ini menjadi preseden yang harus dicermati bahwa proyek-proyek Pemerintah menjadi incaran para koruptor untuk mengalirkan uangnya ke kas parpol sehingga terjadilah kebocoran APBN dengan angka yang begitu besar.
Terapi Kejut
Guna mengikis korupsi politik, penegak hukum perlu memberikan terapi kejut sebagai rambu peringatan agar partai politik dan politisi tidak bermain-main dengan uang negara serta menyalahgunakan kewenangannya. Terbongkarnya kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi yang dilakukan oleh anggota DPR yang juga petinggi partai politik adalah sirine untuk memperketat pengawasan.
Kasus Hambalang juga menjadi perhatian mengingat jumlah kerugian negaranya yang fantastis dan dilakukan oleh petinggi partai penguasa. KPK harus tuntas mengusut tanpa terpengaruh spekulasi tertentu dan gonjang-ganjing internal partai politik.
Penegak hukum juga harus lebih berani untuk mendakwa koruptor dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) guna memaksimalkan hukuman dan pengembalian kerugian negara. Pasal ini dapat diterapkan berdampingan dengan delik korupsi mengingat selama ini dalam banyak kasus ditemukan bahwa uang hasil korupsi disamarkan dan ada yang digunakan untuk menghidupi partai politik. Selama ini, penegak hukum acapkali hanya berkutat pada Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Korupsi politik akan dapat dikikis jika penegak hukum tidak menjadi bagian dalam jaringan koruptor. Penegak hukum harus berkomitmen untuk menghukum berat koruptor agar efek jera (deterrant effect) muncul. Efek jera juga akan menimbulkan efek turun-temurun (trickle-down effect) agar setiap kader partai tidak main-main menyerobot uang negara.
Dan kepada rakyat, sang pemilim sejati demokrasi, saatnya menghukum partai dan politisi korup dengan tidak memilihnya di pemilu mendatang, semata untuk mengembalikan demokrasi pada khitahnya: dari, oleh, dan untuk rakyat.
M. M. Gibran Sesunan
Asisten Peneliti pada Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
Tidak ada komentar