Merawat Papua di NKRI
Tanah Papua tak henti bergolak. Akibat aksi kekerasan
bersenjata yang mengakibatkan korban jiwa seolah tiada henti. Pekan lalu, dalam
sehari 12 nyawa melayang, masing-masing delapan prajurit TNI dan empat warga sipil,
akibat diserang kelompok bersenjata.
Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) mengaku bertanggung jawab terhadap insiden tersebut. Tindakan mereka jelas untuk meminta perhatian dunia internasional, bahwa masih ada persoalan mendasar di Papua. Tujuannya agar ada tekanan dari dunia agar digelar referendum. Hal itu berkaitan dengan manifestasi perjuangan mereka yang menghendaki Papua terpisah dari NKRI.
Tewasnya 12 orang dalam aksi bersenjata pekan lalu, menegaskan semangat dan gerakan separatis masih mengakar, terutama di kalangan penduduk asli. Adanya keinginan memisahkan diri dari NKRI, tak lepas dari nasib mereka yang tetap terbelakang, ditambah maraknya dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Selama bertahun-tahun, rakyat Papua merasa diperlakukan tak adil. Kekayaan alamnya dikeruk, namun mereka masih hidup dalam kemiskinan. Ketimpangan hasil-hasil pembangunan, mengakibatkan kondisi masyarakat di dua provinsi, Papua dan Papua Barat, masih banyak yang terbelakang. Sebut saja ketersediaan infrastruktur fisik yang minim, serta pembangunan bidang pendidikan dan bidang kesehatan yang belum memadai.
Hal itulah yang kerap memicu aksi-aksi separatisme, yang selalu dikaitkan dengan historis proses integrasi ke NKRI, yang oleh sebagian kalangan di Papua, belum bisa diterima sepenuh hati. Kampanye negatif terhadap Pemerintah RI terus dilakukan untuk menggalang tekanan internasional.
Secara geopolitik dan geoekonomi, posisi Papua sangat strategis. Kekayaan alamnya yang melimpah mengundang minat banyak negara untuk dapat mengeruk sebanyak-banyaknya hasil Bumi Cenderawasih tersebut. Isu-isu HAM sengaja dipolitisasi secara internasional, untuk menjadi alat penekan bagi Pemerintah Indonesia melepaskan Papua.
Semua itu dilakukan tentu demi keuntungan ekonomi negara bersangkutan. Hal inilah yang harus diwaspadai dan mendapat perhatian serius pemerintah.
Pemerintah wajib menjaga integrasi Papua di pangkuan Ibu Pertiwi. Pengalaman lepasnya Timor Timur 14 tahun lalu tak boleh terulang. Untuk itu, pemerintah harus mampu mengantisipasi tekanan internasional yang memanfaatkan isu-isu pelanggaran HAM dan ketimpangan ekonomi.
Satu-satunya cara adalah memberi perhatian lebih kepada Papua. Dibanding wilayah lain, Papua lebih rawan dan bisa mengancam keutuhan NKRI jika tidak ditangani secara baik. Itulah mengapa Papua diberi kewenangan yang begitu luas untuk menjalankan pembangunan sesuai sumber daya yang dimiliki melalui status otonomi khusus, disertai kebijakan desentralisasi fiskal yang cukup besar guna mendukung akselerasi pembangunan di segala bidang kehidupan.
Kini, di saat eskalasi politik dan keamanan di Papua memanas, pemerintah wajib meminta evaluasi Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) dan Desk Papua yang ada di sejumlah kementerian. Langkah itu untuk mencari solusi yang tepat guna mengakhiri kerawanan politik dan keamanan di Papua, dan terutama untuk merawat agar Papua tetap di pangkuan NKRI.
Pendekatan keamanan harus ditinjau kembali. Kehadiran Polri dan TNI di Papua, harus benar-benar memperhatikan aspek penegakan HAM. Sebab, terbukti HAM menjadi isu yang sangat sensitif, dan dengan mudah dipolitisasi secara internasional. Secara keseluruhan, pola penanganan persoalan klasik di Papua tak bisa lagi mengandalkan pendekatan keamanan. Pendekatan pembangunan dan kesejahteraan harus dipastikan menjadi ujung tombak dan terimplementasi di lapangan.
Solusi yang lebih fundamental, pemerintah harus membuat grand design pembangunan Papua dan Papua Barat. Kita juga harus menyadari, bahwa bukan cuma uang yang dibutuhkan rakyat Papua, tetapi juga harapan agar diperlakukan setara dengan terus mengajak dialog.
Untuk itu dialog dari hati-ke hati dengan segenap elemen masyarakat di Papua, termasuk mereka yang selama ini ingin memisahkan diri, harus diintensifkan. Kehendak untuk mendengar dan berdialog, tentu akan membantu pemerintah merumuskan kebijakan terbaik. Sebab, hanya dengan pendekatan ini, warga asli Papua merasa diberi kesempatan untuk merumuskan apa yang mereka perlukan, tidak merasa dieksploitasi. Dengan demikian saudara-saudara kita di Papua akan merasa menjadi satu bangsa dengan masyarakat Indonesia lainnya. SP/T
Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) mengaku bertanggung jawab terhadap insiden tersebut. Tindakan mereka jelas untuk meminta perhatian dunia internasional, bahwa masih ada persoalan mendasar di Papua. Tujuannya agar ada tekanan dari dunia agar digelar referendum. Hal itu berkaitan dengan manifestasi perjuangan mereka yang menghendaki Papua terpisah dari NKRI.
Tewasnya 12 orang dalam aksi bersenjata pekan lalu, menegaskan semangat dan gerakan separatis masih mengakar, terutama di kalangan penduduk asli. Adanya keinginan memisahkan diri dari NKRI, tak lepas dari nasib mereka yang tetap terbelakang, ditambah maraknya dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Selama bertahun-tahun, rakyat Papua merasa diperlakukan tak adil. Kekayaan alamnya dikeruk, namun mereka masih hidup dalam kemiskinan. Ketimpangan hasil-hasil pembangunan, mengakibatkan kondisi masyarakat di dua provinsi, Papua dan Papua Barat, masih banyak yang terbelakang. Sebut saja ketersediaan infrastruktur fisik yang minim, serta pembangunan bidang pendidikan dan bidang kesehatan yang belum memadai.
Hal itulah yang kerap memicu aksi-aksi separatisme, yang selalu dikaitkan dengan historis proses integrasi ke NKRI, yang oleh sebagian kalangan di Papua, belum bisa diterima sepenuh hati. Kampanye negatif terhadap Pemerintah RI terus dilakukan untuk menggalang tekanan internasional.
Secara geopolitik dan geoekonomi, posisi Papua sangat strategis. Kekayaan alamnya yang melimpah mengundang minat banyak negara untuk dapat mengeruk sebanyak-banyaknya hasil Bumi Cenderawasih tersebut. Isu-isu HAM sengaja dipolitisasi secara internasional, untuk menjadi alat penekan bagi Pemerintah Indonesia melepaskan Papua.
Semua itu dilakukan tentu demi keuntungan ekonomi negara bersangkutan. Hal inilah yang harus diwaspadai dan mendapat perhatian serius pemerintah.
Pemerintah wajib menjaga integrasi Papua di pangkuan Ibu Pertiwi. Pengalaman lepasnya Timor Timur 14 tahun lalu tak boleh terulang. Untuk itu, pemerintah harus mampu mengantisipasi tekanan internasional yang memanfaatkan isu-isu pelanggaran HAM dan ketimpangan ekonomi.
Satu-satunya cara adalah memberi perhatian lebih kepada Papua. Dibanding wilayah lain, Papua lebih rawan dan bisa mengancam keutuhan NKRI jika tidak ditangani secara baik. Itulah mengapa Papua diberi kewenangan yang begitu luas untuk menjalankan pembangunan sesuai sumber daya yang dimiliki melalui status otonomi khusus, disertai kebijakan desentralisasi fiskal yang cukup besar guna mendukung akselerasi pembangunan di segala bidang kehidupan.
Kini, di saat eskalasi politik dan keamanan di Papua memanas, pemerintah wajib meminta evaluasi Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) dan Desk Papua yang ada di sejumlah kementerian. Langkah itu untuk mencari solusi yang tepat guna mengakhiri kerawanan politik dan keamanan di Papua, dan terutama untuk merawat agar Papua tetap di pangkuan NKRI.
Pendekatan keamanan harus ditinjau kembali. Kehadiran Polri dan TNI di Papua, harus benar-benar memperhatikan aspek penegakan HAM. Sebab, terbukti HAM menjadi isu yang sangat sensitif, dan dengan mudah dipolitisasi secara internasional. Secara keseluruhan, pola penanganan persoalan klasik di Papua tak bisa lagi mengandalkan pendekatan keamanan. Pendekatan pembangunan dan kesejahteraan harus dipastikan menjadi ujung tombak dan terimplementasi di lapangan.
Solusi yang lebih fundamental, pemerintah harus membuat grand design pembangunan Papua dan Papua Barat. Kita juga harus menyadari, bahwa bukan cuma uang yang dibutuhkan rakyat Papua, tetapi juga harapan agar diperlakukan setara dengan terus mengajak dialog.
Untuk itu dialog dari hati-ke hati dengan segenap elemen masyarakat di Papua, termasuk mereka yang selama ini ingin memisahkan diri, harus diintensifkan. Kehendak untuk mendengar dan berdialog, tentu akan membantu pemerintah merumuskan kebijakan terbaik. Sebab, hanya dengan pendekatan ini, warga asli Papua merasa diberi kesempatan untuk merumuskan apa yang mereka perlukan, tidak merasa dieksploitasi. Dengan demikian saudara-saudara kita di Papua akan merasa menjadi satu bangsa dengan masyarakat Indonesia lainnya. SP/T
Tidak ada komentar