Paskah dan Derita Kaum Tersalib
Keadilan merupakan persoalan sepanjang
zaman karena dimensinya tidak mudah dipahami secara nalar. Adil bukan
sekadar sama rata dan sama kedudukan. Sikap adil sulit dipahami
karena menyangkut dimensi batin manusia.
Jika menyangkut batin manusia, yang
paling memungkinkan kita memahami keadilan adalah mengukurnya sejauh
mana manusia mencintai kehidupan bersama. Cinta akan kehidupan
bersama memberi dimensi batin ke luar dari perasaan ke-aku-an.
Egoisme bukan ukuran keadilan karena
sikap ini sering hanya berkaitan dengan tetek bengek seputar harga
diri dan keuntungan bendawi. Demi harga diri itulah manusia tak
jarang mengejar sesuatu yang hampa. Kehampaan, tanpa kita sadari,
telah menjadi ciri khas manusia modern. Manusia yang dibentuk dari
piranti-piranti serba instan, kembali menghasilkan manusia sebagai
instrumen belaka.
Ini zaman politik pencitraan. Seseorang
dipoles menjadi bintang dan perilakunya diatur dengan cermat untuk
menunjukkan dia baik, dia bijak, dia santun, dia berwibawa, atau dia
pro rakyat.
Penampilan mudah sekali dimanipulasi
karena permainan teknologi yang membuat nalar kita sulit memberikan
penilaian. Padahal semuanya musang berbulu domba.
Ini zaman yang katanya membawa
perubahan, namun nyatanya belum juga membawa kebahagiaan bagi mereka
yang miskin, papa dan terkapar. Zaman yang tidak pernah bergerak
memperbarui diri dan memberi hati kepada mereka yang selama selalu
kalah dalam pertarungan politik global.
Derita Kaum Tersalib
“Dari jurang yang paling dalam kami
mengeluh pada-Mu, Ya Allah. Mengapa Engkau meninggalkan kami dalam
ketidakberdayaan ini?” Begitu doa rakyat miskin di negeri yang
subur ini.
Jeritan ketidakberdayaan kaum tertindas
menghiasi berbagai ranah publik. Sekali lagi mereka dikecewakan oleh
hantu bernama “elite politik”. Demi kepentingan kekuasaan, nasib
rakyat miskin dibuat tak berdaya. Mereka selalu dikalahkan sistem
yang penuh dengan kelicikan dan akal busuk.
Politik akal busuk memperdaya
masyarakat marjinal yang hidup tergantung pada kebaikan orang lain.
Perubahan tak pernah menyentuh mereka karena kaum miskin dianggap
sebagai orang yang tak punya daya kuasa untuk menjadi dirinya
sendiri. Kaum miskin tetap tersalib oleh sistem hidup yang tak
mengenal belas kasih.
Dia tersalib karena kaum miskin hanya dijadikan
tumbal dalam proses pembangunan. Tenaganya dieksploitasi, hatinya
dipenuhi bermacam-macam janji perubahan oleh penguasa, tapi sampai
sekarang belum ada realisasinya.
Hidup mereka menjadi berat karena harga
kebutuhan sehari-hari naik luar biasa–jangan berpikir pendapatan
mereka juga akan bertambah. Hidup mereka semakin susah karena para
pemangku zaman yang tidak mau berpihak kepada mereka.
Kehidupan mereka hanya digantungkan
kepada “Bapak Nasib”. Kalau Pak Nasib lagi baik, mereka bisa
makan, kalau Pak Nasib lagi jahat ya, mereka buntung. Kerja keras tak
kenal waktu dan lelah hanya untuk berebut kemujuran yang ditawarkan
si Nasib tersebut.
Kaum miskin diakalbulusi kebijakan yang
orientasinya hanya menguntungkan orang kaya dan pejabat. Mereka
ditipu bahwa sebuah kebijakan seolah-olah logis, tetapi di lain pihak
mematikan daya hidupnya. Kapitalisme yang ada sekarang ini, di negeri
ini, ketika berbaur dengan kekuatan pengambil kebijakan, tidak pernah
berpihak kepada mereka.
Para pemilik modal berkuasa karena
mereka mampu membeli segalanya. Birokrat di negeri ini hanya menjadi
perpanjangan tangan pengusaha hitam yang orientasinya semata-mata
demi mencari untung. Elite politik sendiri sering mengaku tak kuasa
menahan derasnya desakan kekuatan modal, yang ujung-ujungnya menjelma
menjadi kuasa politik tersendiri. Persekutuan politik dan modal
inilah yang membuat tata kehidupan menjadi kehilangan keseimbangan.
Keadaban publik hancur karena poros
masyarakat sebagai pemilik kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya
tidak lagi berdaulat. Kehidupan ini tergantung dari kekuatan modal
yang menjelma dalam berbagai kekuatan. Lewat media perilaku dibentuk
dengan mengedepankan hal-hal yang menyenangkan panca inderawi belaka.
Paskah Sejati
Situasi tersalib itulah membuat yang
mata hati kehilangan kejernihan dalam melihat masalah mendasar yang
ada saat ini. Elite politik telah buta dan tuli mendengar tangisan
rakyatnya. Mereka pura-pura memiliki empati tetapi sejatinya hanya
bualan belaka. Derita kaum miskin tidak lagi menjadi pilihan mereka
untuk benar-benar mau berbagi dengan kesusahan mereka.
Ketersaliban inilah yang membuat cara
berpikir, berperilaku, dan merasa menjadi reaktif dalam menghadapi
masalah. Lalu kehidupan kita hanya didasari hal-hal yang menipu mata
hati. Hilangnya mata hati itulah yang menyilaukan kehadiran Tuhan di
sekitar kita.
Tuhan menjadi jauh dengan kita karena mereka menyalib
kaum miskin. Tuhan menjadi jauh dengan kita karena kita tidak punya
hati terhadap kaum miskin yang jumlahnya setiap saat bertambah.
Kita menjauh dari Tuhan karena tangan
kita menindas kaum miskin. Mata kita menyingkirkan kehadiran mereka.
Bukankah Dia yang tersalib adalah Dia yang menderita karena dosa kita
yang menyalibkan mereka yang tak berdaya? Dia tersalib karena dosa
kita membiarkan kaum miskin kelaparan, kehausan, dan kehilangan
tempat tinggal.
Dia tersalib karena dosa kita yang membiarkan tanah
mereka digusur dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah. Dia
tersalib karena kita diam dengan persekutuan kaum pemodal dan elite
politik. Dia yang tersalib ada bersama mereka yang berjuang untuk
tegaknya keadilan di bumi ini.
Paskah sejati adalah kemauan untuk
merenungkan dan kembali membela kaum tergusur. Itulah Paskah sejati
yang ada dalam diri mereka yang haus keadilan. Haus kebenaran dan
haus cinta kepada mereka yang miskin dan papa. Itulah Paskah yang
membebaskan manusia dari kuasa kerakusan akan harta dan jabatan.
Paskah berarti dia harus berani melewati lorong gelap seorang diri.
Kalau moralitas tetap tidak dijadikan
acuan hidup bersama karena kuasa uang dijadikan acuan kehidupan
publik, itu tanda kita tak pernah mengakui adanya Tuhan di sekitar
kita, dalam jiwa kita. Kehidupan publik menjadi hancur karena kuasa
kegelapan menjelma menjadi monster yang siap menerkam dengan kuasa
uang dan kuasa bedil. Kuasa itulah yang membuat nilai-nilai
kemanusiaan menjadi rapuh karena telah memasuki tubir dosa
struktural.
Dosa struktural ini telah membuat
manusia terkecoh. Mereka mencari roti yang hanya mengenyangkan
belaka. Mereka lupa akan Roti Surgawi. Padahal Dia mengatakan,
“Carilah Roti Surga maka yang lain akan datang.”
Paskah seharusnya membuat nilai-nilai
kemanusiaan kita diperbarui dalam kehidupan ini. Mari kita rayakan
Paskah bersama dengan merindukan datangnya Sang Fajar sejati.
*Benny Susetyo/Penulis adalah Rohaniwan (SH/T)
Tidak ada komentar