Paskah Tanpa Gereja
LINTAS PUBLIK-JAKARTA , Ratusan jemaat nasrani di
sejumlah kota di Indonesia terpaksa merayakan Paskah di tempat
terbuka atau menggunakan rumah salah satu jemaat, setelah
bertahun-tahun izin pendirian rumah ibadah gagal mereka kantongi.
Di Bekasi, tindakan pemerintah daerah
setempat yang memaksa menutup bangunan gereja, bahkan dengan
mendatangkan eksavator untuk menghancurkan dinding yang telanjur
didirikan, membuat jemaat gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
Setu terpaksa menggelar ibadah Jumat Agung di area terbuka.
Kamis (21/3) lalu, Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) Kabupaten Bekasi merobohkan bangunan Gereja HKBP
Setu yang terletak di Desa Tamansari, Kecamatan Setu, Kabupaten
Bekasi, yang masih dalam tahap pembangunan.
Dua minggu sebelum
bangunan dihancurkan dengan eksavator, Pemkab Bekasi atas perintah
Bupati Nenang Hasanah Yasin menyegel bangunan yang masih berupa
tembok batu bata tanpa plester dan atap tersebut.
Alasannya, pihak
gereja belum mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), padahal
mereka telah mengurusnya sejak 2011. Alhasil, perayaan Jumat Agung
yang berlangsung kemarin terpaksa digelar jemaat di ruang terbuka
beratap langit, di lahan kosong dekat bangunan gereja.
Jemaat Gereja HKBP Filadelpia di Desa
Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara, Bekasi juga terpaksa mencari
alternatif tempat ibadah setelah gereja mereka ditutup pemkab dengan
alasan serupa.
“Untuk ibadah Jumat
Agung, jemaat Filadelpia terpaksa melakukan ibadah di gereja HKBP
Durenjaya yang ada di Kota Bekasi. Adapun perayaan Paskah, kami akan
bergabung dengan jemaat dari HKBP Setu Kabupaten Bekasi dan jemaat
Gereja Yasmin Bogor yang akan beribadah di depan Istana Negara
Jakarta, Minggu (31/3) nanti,” ungkap pemimpin gereja HKBP
Filadelpia Pendeta Palti Panjaitan, kepada SH, Kamis (28/3).
Bangunan Gereja HKBP Filadelpia disegel
Bupati Bekasi yang saat itu dijabat H Sa'aduddin pada Selasa, 12
Januari 2010.
Pihak gereja mengajukan gugatan dan pada 30 Maret 2011,
HKBP Filadelpia dimenangkan PTUN Jakarta No 255/B/2010/PT.TUN.JKT
dengan keputusan menguatkan hasil PTUN Bandung. Atas putusan itu,
Bupati Bekasi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung tertanggal 6 Mei
2011. Namun pada 28 Juni 2011, kasasi Bupati Bekasi ditolak Mahkamah
Agung, dan menguatkan putusan PTUN Bandung.
Bupati tidak mengadakan upaya hukum
lagi yang berarti Bupati Bekasi menerima putusan PTUN Bandung, PTUN
Jakarta, dan Mahkamah Agung. Putusan akhirnya sudah berkekuatan tetap
dan harus dieksekusi Bupati Bekasi 90 hari kerja sejak dikeluarkan
putusan dari Mahkamah Agung. Namun, sampai sekarang eksekusi atas
segel yang dilakukan bupati belum dilakukan. Bupati Bekasi
membangkang atas keputusan hukum.
Menurut Palti Panjaitan, perayaan
Paskah di depan Istana Negara akan dirangkaikan dengan aksi telur
Paskah untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ini menjadi suatu
kesepakatan tiga gereja tersebut, berkaitan penutupan gereja yang
dilakukan pemerintah.
“Jika perayaan ibadah dilaksanakan di
lokasi gereja, khususnya di HKBP Filadelpia, sudah pasti akan
ditolak dan diadang massa intoleran sebagaimana yang selama ini
terjadi,” katanya.
Pemimpin Gereja HKBP Setu, Pendeta
Torang, mengatakan sebagian jemaatnya akan tetap beribadah di Setu
dalam perayaan Minggu Paskah nanti.
Sementara itu jemaat Gereja Kristen
Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor,
terpaksa merayakan Jumat Agung di rumah salah seorang jemaat karena
segel yang ditempelkan
Pemkot Bogor di pagar gereja belum juga dilepas. "Kami
memperingati Jumat Agung di rumah salah satu jemaat secara
underground," ungkap juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging.
Sementara untuk perayaan Paskah, jemaat akan bergabung dengan HKBP
Filadelpia di seberang Istana Negara Jakarta.
Dipaparkan Bona, para jemaat GKI tidak
melaksanakan misa di sekitar gereja karena berdasarkan pengalaman
dari Oktober 2011 hingga Januari 2012, eskalasi intimidasi yang
dilakukan kelompok intoleran dari Cianjur terus naik. Bahkan
belakangan makin ganas dan mencoba menyerang jemaat.
"Polisi ada di lapangan, tetapi
hanya melakukan tindakan pengamanan minimal. Tidak pernah ada
tindakan hukum meskipun setiap Minggu kelompok intoleran
mengintimidasi jemaat, bahkan mengejar mobil jemaat atau menyerang
sampai ke rumah yang dipakai jemaat ibadah saat terusir dari sekitar
gereja," papar Bona.
Langgar Konstitusi
Tindakan pemerintah daerah menutup dan
membongkar sejumlah gereja dengan alasan IMB ini disesalkan banyak
pihak.
"Pasal 29, Ayat 2 UUD 1945 mengamanatkan bahwa 'negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu'. Dengan banyaknya kasus aksi-aksi intoleransi, yang bahkan
dilakukan oleh pemerintah, membuktikan bahwa negara tidak mampu
melaksanakan perintah konstitusi tersebut," kata Sekretaris
Eksekutif Komisi Hubungan Antar-agama dan Kepercayaan, Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) Benny Susetyo.
Selain tidak menaati amanat konstitusi,
pemerintah juga telah salah mempersepsikan hukum. Itu karena
pemerintah terlihat malah melindungi pelaku-pelaku intoleransi, hanya
karena para pelaku itu mayoritas. Mereka tidak melindungi korban yang
nyata hanya ingin menjalankan ibadah.
Benny menegaskan, selama pemerintah
masih menggunakan sudut pandang "mayoritas dan minoritas"
maka selama itu konstitusi tidak dapat ditegakkan.
Ia menjelaskan
lagi bahwa dalam Pasal 17 Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 dinyatakan
bahwa pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi
bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan
karena perubahan rencana tata ruang wilayah.
Namun dalam kasus-kasus
pelarangan pembangunan rumah ibadah yang terjadi belakangan ini,
menurutnya, sama sekali tidak terlihat upaya pemerintah daerah untuk
memfasilitasi pembangunan rumah ibadah. "Yang terjadi malah
pemerintah tidak menerbitkan IMB, menyegel, bahkan merobohkan rumah
ibadah tersebut. Di mana upaya memfasilitasi yang tertulis dalam PBM
itu?" ucapnya.
Kondisi itu dapat terjadi, menurut
Benny, karena pemerintah daerah umumnya lebih menuruti desakan dari
kelompok-kelompok intoleran. “Saya rasa, Menteri Dalam Negeri
bahkan Presiden Republik Indonesia harus turun tangan menyelesaikan
masalah ini," ucapnya.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar
Tigor Naipospos, menambahkan, dirobohkannya sebagian bangunan gereja
HKBP Setu adalah sebuah preseden buruk tegaknya kebebasan beragama di
Tanah Air. "Bupati Bekasi beserta jajarannya seharusnya
memberikan bantuan dan menfasilitasi pengurusan perizinan pembangunan
gereja HKBP Setu, bukan malah merobohkannya," kata Bonar.
Menurutnya, kini wibawa pemerintah
dalam melindungi dan melaksanakan kepentingan warga negaranya untuk
beribadah dan menjalankan keyakinan sesuai konstitusional negara,
semakin tidak bisa diharapkan.
Uskup Agung Semarang, Mgr Johannes
Pujasumarta dalam renungan Paskah menyatakan keprihatinannya atas
kekerasan yang dialami para jemaat Kristen di Indonesia. Selama dua
bulan terakhir selama 2013, telah tercatat 15 kasus, melanjutkan
kasus-kasus tahun 2012 yang berjumlah 75.
“Yang lebih
memprihatinkan lagi ialah bahwa pelaku kekerasan itu adalah warga
masyarakat sendiri yang bahkan didukung oleh pihak-pihak tertentu
yang seharusnya menjamin keamanan di negeri ini,” ungkapnya.
Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Jabar, Pendeta Krisna Ludia
Suryadi mengakui rendahnya toleransi di Jawa Barat. Ia menyebut
pendekatan terhadap masyarakat terus diupayakan agar tidak ada lagi
penolakan terhadap keberadaan sebuah gereja. “Pendekatan yang baik
secara intensif lambat laun dapat menumbuhkan simpati dari masyarakat
sekitar,” ungkapnya.
Bagi gereja yang telah ada, hubungan baik dengan
masyarakat sekitar tetap perlu dijalin. Telah banyak bukti
harmonisnya hubungan baik antara gereja dengan masyarakat di
lingkungan sekitarnya. "Memaknai Paskah bukan hanya sebagai
momentum pengorbanan, tetapi juga penghiburan bagi sesama umat,"
demikian kata Pendeta Krisna.SH/T
Tidak ada komentar