Header Ads

Thio Him Tjiang: Saya seperti Layang-layang Putus

LINTAS PUBLIK-JAKARTA,  Jalan Delima Raya, Tanjung Duren, Jakarta Barat tampak lengang, Sabtu (16/3) siang itu. Panas menyengat. Matahari seolah berada tepat di atas ubun-ubun. Mungkin inilah yang membuat jalan menjadi lengang. Orang lebih suka tinggal di dalam rumah, duduk nonton televisi di dekat kipas angin atau penyejuk udara.
Di Jalan Delima Raya itu pula, di salah satu kamar berukuran 3x4 meter, tinggallah Thio Him Tjiang (84). Ruangan bercat putih dengan kusen biru yang ditempati Him Tjiang tidak memiliki pendingin udara kecuali kipas angin kecil.
Di dalam ruangan terdapat balai kayu yang dilapisi kasur dan seprai berukuran 1,2x2 meter, sebuah bantal, sebuah meja kecil tempat menaruh makanan, dan sebuah kursi kayu. Di luar kamar terdapat kamar mandi dan garasi yang memuat dua mobil.
Ketika kami (Han Liang Gie/Sugih Handarto - pelatih SSB AS IOP, Alai - mantan manajer tim gawang klub UMS, Lucy - anak angkat almarhum Fan Tek Fong/Hadi Mulyadi mantan pemain nasional PSSI, dan saya) datang dan mengucapkan salam, Him Tjiang bangkit dari balainya.
Ia meraih tongkat penyangga berkaki empat dan berjalan tertatih-tatih untuk membuka pintu. Sekitar lima tahun lalu, ia terjatuh ketika bersepeda dan dikejar anjing. Tulang ekornya cedera sehingga tidak dapat berjalan normal dan berdiri tegak.
"Yah, kalian lagi. Kalian tidak pernah bosan menengok saya ya? Waktu saya masih di Serpong, kalian juga yang selalu datang. Sekarang, saya di Tanjung Duren, kalian juga menemui saya. Terima kasih, masih ada yang ingat saya. Saya ini seperti layangan putus, menclok di mana-mana, tergantung angin yang membawa saya,” kata lelaki renta itu.
Sudah beberapa bulan terakhir, ia memang tinggal di rumah keponakannya di Tanjung Duren. Rumah di Villa Melati Mas, Serpong itu juga rumah keponakannya. Ia tidak mempunyai rumah sendiri. "Ada yang mau nampung saja, saya sudah bersyukur. Saya tidak perlu keleleran di jalanan, terhindar dari hujan dan panas," kata lelaki yang kini tampak kurus itu.
Him Tjiang enam bersaudara: lima laki-laki, satu perempuan. Mereka adalah Him Gwan, Him Tjiang, Him Eng, Him Toen, Him Hok, dan Betty. Kelima saudaranya sudah wafat, tinggal Him Tjiang yang masih hidup. Ayah Him Tjing, Thio Kyu Sen, juga pemain sepak bola, dia kiper UMS pada tahun 1930-an.
Sayang, Him Tjiang tidak menikah sehingga tidak mempunyai keturunan. Kabarnya, ia patah hati karena tunangannya menikah dengan pria lain ketika ditinggalkannya untuk menjalankan tugas negara, ikut rombongan tur tim PSSI ke negara-negara Eropa Timur pada 1950-an.
Padahal, ia sempat membeli beberapa gaun untuk tunangannya ketika tim PSSI bermain di Moskwa. Ia telah membayar mahal. Gara-gara membela negara, ia kehilangan tunangan yang tidak pernah tergantikan dan tidak menuntut apa pun kepada pemerintah.
Tur PSSI ke Eropa Timur waktu itu—antara lain ke Uni Soviet, Bulgaria, Hungaria, Yugoslavia, dan Polandia - memang bagian dari persiapan tim PSSI menghadapi Olimpiade Melbourne. Dalam tur itu, PSSI kalah telak di Kiev.
 
Tahan Uni Soviet
Him Tjiang, yang di klubnya UMS berposisi sebagai penyerang, di tim nasional dipasang sebagai bek kiri oleh pelatih Tony Pogacnik. Dia menjalankan tugasnya dengan baik.
Ia ikut menahan Uni Soviet (sekarang pecah menjadi Rusia, Ukraina, Moldova, Georgia, Kazakhstan, Uzbekistan, dan sebagainya) 0-0 di Olimpiade, Melbourne, Australia. Hasil seri itu disebabkan pemain Uni Soviet menganggap remeh PSSI yang dalam tur Eropa Timurnya sering kali kalah dengan skor besar. Karena seri, pertandingan dilanjutkan keesokan harinya dan PSSI kalah 0-4.
"Gimana kita enggak kalah? Pemain kita yang masih fit beberapa orang saja. Waktu itu, siapa yang sudah keluar, tidak bisa diganti. Sebenarnya, saya sendiri sudah gempor, tetapi dipaksa main oleh Tony. Kami pun main dengan kekuatan apa adanya. Pemain Uni Soviet sendiri rata-rata masih fit," kata pria kelahiran Jakarta, 28 Agustus 1929 itu.
Beberapa waktu lalu, Liong Houw juga pernah mengatakan motivasi pemain PSSI waktu itu hanya menahan agar gawangnya tidak kebobolan dengan berbagai cara. Tidak jarang, Liong Houw menjahili pemain Uni Soviet. Lucunya, pemain Uni Soviet yang dijahili mengadukan kejahilan Liong Houw kepada wasit. Tetapi, yang mereka adukan adalah Him Tjiang, bukan Liong Houw. “Padahal, yang jahil itu saya,” kata Liong Houw.
Him Tjiang memang salah satu dari tiga eks pemain PSSI Olimpiade Melbourne yang masih hidup. Dua mantan pemain lain itu adalah Tan Liong Houw (LH Tanoto) dan Maulwi Saelan, yang secara kasatmata lebih makmur dibanding Him Tjiang.
Untung, kami bersama Han Liang Gie (79), adik kelas Him Tjiang waktu di UMS pada 1950-an. Jika tidak, tentu agak sulit berbicara mengenai sepak bola zaman dulu dengan pria yang beda jauh generasinya. Ketika Him Tjiang dan Liang Gie bercerita tentang sepak bola masa lalu, kami menjadi pendengar yang baik. Buntut-buntutnya, Him Tjiang menanyakan kondisi PSSI.
"Gimana kabarnya PSSI sekarang?" tanya Him Tjiang.
"Wah, kacau, Om, ribut melulu. Biasa, deh, rebutan kekuasaan, melibatkan FIFA dan modal besar," jawab salah satu dari kami.
"Kekuasaan, kok, diperebutkan. Yang harus diperebutkan itu bola di lapangan. Kalau bisa rebut bola, pasti menang. Sepak bola itu gampang kalau mau dibikin gampang, tapi juga menjadi sulit kalau mau dibikin sulit," kata Him Tjiang, diamini Liang Gie yang masih aktif melatih sampai sekarang, kendati usianya telah berkepala tujuh.SH/T

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.