Mengurangi Subsidi bagi si Kaya
Pemerintah segera memutuskan kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi. Menteri Perindustrian MS Hidayat, pekan lalu
mengisyaratkan kenaikan akan diumumkan Jumat (7/6).
Dukungan politik telah digalang melalui Sekretariat Gabungan (Setgab) parpol pendukung pemerintah. Sejauh ini, ganjalan politik, terutama dari parlemen, relatif bisa diatasi berkat dukungan Setgab. Pengumuman hanya tinggal menunggu kesepakatan pemerintah dan DPR terhadap RAPBN-P 2013, yang diperkirakan dalam waktu dekat.
Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah tentunya reaksi masyarakat yang menolak rencana kenaikan harga BBM. Saat ini bahkan sudah terjadi unjuk rasa, meskipun dalam skala kecil, menentang rencana tersebut. Pemerintah mesti mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa dalam skala yang lebih besar, saat kenaikan harga BBM mulai diberlakukan.
Hal itu penting untuk diingatkan, karena kenaikan harga BBM dilakukan dalam momentum yang kurang menguntungkan bagi pemerintah. Setahun menjelang pelaksanaan pemilu, membuat tensi politik di Tanah Air memanas. Kenaikan harga BBM dipastikan menjadi amunisi bagi sejumlah kalangan, dengan harapan memetik manfaat politis.
Meskipun berkali-kali pemerintah menekankan bahwa hal itu dilakukan untuk menyehatkan APBN dan membenahi konsep subsidi yang salah sasaran, masyarakat masih tetap menganggap pengurangan subsidi yang berdampak pada kenaikan harga BBM adalah kebijakan yang tidak prorakyat.
Dalam hal ini masyarakat perlu terus diingatkan, bahwa kenaikan harga BBM sejatinya adalah koreksi atas kebijakan subsidi yang salah sasaran, yang sudah berlangsung puluhan tahun. Masyarakat miskin, justru tidak merasakan manfaat optimal dari subsidi harga BBM. Sebaliknya, golongan menengah ke atas yang memiliki mobil, justru penikmat terbesar subdisi.
Dampaknya, setiap tahun konsumsi BBM terus melonjak, seiring dengan bertambahnya jumlah mobil dan sepeda motor. Hal itu berdampak pada membubungnya subsidi yang harus disediakan APBN. Tahun ini, konsumsi BBM diperkirakan mencapai 47 juta kiloliter. Jumlah itu membuat subsidi energi mencapai Rp 233 triliun, di mana BBM jenis premium menyedot alokasi subsidi terbesar, yakni mencapai Rp 112 triliun, atau hampir separuhnya.
Total subsidi energi yang Rp 233 triliun tersebut, setara dengan investasi untuk membangun 80.000 puskesmas, atau 40.000 km jalan, atau 1.300 pelabuhan, atau 24 juta hektare sawah. Dengan gambaran tersebut, sejatinya sudah dapat dipahami, bahwa kebijakan subsidi harga BBM saat ini sejatinya tidak memberi manfaat besar bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan ekonomi bangsa.
Itulah yang mendasari pemerintah berencana menaikkan harga premium, yang saat ini Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter, dan solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter. Dengan skenario tersebut, pemerintah memperkirakan dapat menghemat Rp 30 triliun-Rp 40 triliun.
Dengan demikian, yang harus ditekankan oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan yang ditempuh adalah mengurangi subsidi BBM yang selama ini banyak dinikmati golongan kaya bermobil. Mereka wajib membeli BBM lebih mahal sesuai kemampuan ekonominya.
Sebagai kompensasi bagi rakyat miskin, pemerintah telah merancang program kompensasi senilai Rp 27 triliun. Jumlah itu untuk membiayai empat program, yakni Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Anggaran terbesar dialokasikan untuk program BLSM, yakni mencapai Rp 14 triliun, yang akan disalurkan kepada 15,5 juta Rumah Tangga Miskin Sasaran (RTMS). Untuk Raskin dialokasikan sekitar Rp 4,3 triliun untuk 15,5 juta RTMS, Program PKH sebesar Rp728,9 miliar bagi 2,4 juta RTMS, BSM sebesar Rp 8,15 triliun bagi 17,2 juta siswa. Hal lain yang harus disiapkan pemerintah, adalah kompensasi bagi angkutan umum.
Sebab, dampak langsung yang dirasakan masyarakat miskin adalah tarif angkutan. Sejauh ini, belum terdengar langkah pemerintah untuk mengantisipasi kenaikan tarif angkutan. Oleh karenanya, kita menyarankan pemerintah agar pengalihan dana subsidi BBM juga diarahkan untuk membangun sistem transportasi. Ketersediaan infrastruktur sangat diperlukan untuk menopang kegiatan ekonomi, dan diyakini bisa menjadi katup penyelamat dari dampak negatif kenaikan harga BBM. SP/t
Dukungan politik telah digalang melalui Sekretariat Gabungan (Setgab) parpol pendukung pemerintah. Sejauh ini, ganjalan politik, terutama dari parlemen, relatif bisa diatasi berkat dukungan Setgab. Pengumuman hanya tinggal menunggu kesepakatan pemerintah dan DPR terhadap RAPBN-P 2013, yang diperkirakan dalam waktu dekat.
Tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah tentunya reaksi masyarakat yang menolak rencana kenaikan harga BBM. Saat ini bahkan sudah terjadi unjuk rasa, meskipun dalam skala kecil, menentang rencana tersebut. Pemerintah mesti mengantisipasi kemungkinan unjuk rasa dalam skala yang lebih besar, saat kenaikan harga BBM mulai diberlakukan.
Hal itu penting untuk diingatkan, karena kenaikan harga BBM dilakukan dalam momentum yang kurang menguntungkan bagi pemerintah. Setahun menjelang pelaksanaan pemilu, membuat tensi politik di Tanah Air memanas. Kenaikan harga BBM dipastikan menjadi amunisi bagi sejumlah kalangan, dengan harapan memetik manfaat politis.
Meskipun berkali-kali pemerintah menekankan bahwa hal itu dilakukan untuk menyehatkan APBN dan membenahi konsep subsidi yang salah sasaran, masyarakat masih tetap menganggap pengurangan subsidi yang berdampak pada kenaikan harga BBM adalah kebijakan yang tidak prorakyat.
Dalam hal ini masyarakat perlu terus diingatkan, bahwa kenaikan harga BBM sejatinya adalah koreksi atas kebijakan subsidi yang salah sasaran, yang sudah berlangsung puluhan tahun. Masyarakat miskin, justru tidak merasakan manfaat optimal dari subsidi harga BBM. Sebaliknya, golongan menengah ke atas yang memiliki mobil, justru penikmat terbesar subdisi.
Dampaknya, setiap tahun konsumsi BBM terus melonjak, seiring dengan bertambahnya jumlah mobil dan sepeda motor. Hal itu berdampak pada membubungnya subsidi yang harus disediakan APBN. Tahun ini, konsumsi BBM diperkirakan mencapai 47 juta kiloliter. Jumlah itu membuat subsidi energi mencapai Rp 233 triliun, di mana BBM jenis premium menyedot alokasi subsidi terbesar, yakni mencapai Rp 112 triliun, atau hampir separuhnya.
Total subsidi energi yang Rp 233 triliun tersebut, setara dengan investasi untuk membangun 80.000 puskesmas, atau 40.000 km jalan, atau 1.300 pelabuhan, atau 24 juta hektare sawah. Dengan gambaran tersebut, sejatinya sudah dapat dipahami, bahwa kebijakan subsidi harga BBM saat ini sejatinya tidak memberi manfaat besar bagi kehidupan masyarakat dan pembangunan ekonomi bangsa.
Itulah yang mendasari pemerintah berencana menaikkan harga premium, yang saat ini Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter, dan solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per liter. Dengan skenario tersebut, pemerintah memperkirakan dapat menghemat Rp 30 triliun-Rp 40 triliun.
Dengan demikian, yang harus ditekankan oleh pemerintah adalah bahwa kebijakan yang ditempuh adalah mengurangi subsidi BBM yang selama ini banyak dinikmati golongan kaya bermobil. Mereka wajib membeli BBM lebih mahal sesuai kemampuan ekonominya.
Sebagai kompensasi bagi rakyat miskin, pemerintah telah merancang program kompensasi senilai Rp 27 triliun. Jumlah itu untuk membiayai empat program, yakni Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), dan Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Anggaran terbesar dialokasikan untuk program BLSM, yakni mencapai Rp 14 triliun, yang akan disalurkan kepada 15,5 juta Rumah Tangga Miskin Sasaran (RTMS). Untuk Raskin dialokasikan sekitar Rp 4,3 triliun untuk 15,5 juta RTMS, Program PKH sebesar Rp728,9 miliar bagi 2,4 juta RTMS, BSM sebesar Rp 8,15 triliun bagi 17,2 juta siswa. Hal lain yang harus disiapkan pemerintah, adalah kompensasi bagi angkutan umum.
Sebab, dampak langsung yang dirasakan masyarakat miskin adalah tarif angkutan. Sejauh ini, belum terdengar langkah pemerintah untuk mengantisipasi kenaikan tarif angkutan. Oleh karenanya, kita menyarankan pemerintah agar pengalihan dana subsidi BBM juga diarahkan untuk membangun sistem transportasi. Ketersediaan infrastruktur sangat diperlukan untuk menopang kegiatan ekonomi, dan diyakini bisa menjadi katup penyelamat dari dampak negatif kenaikan harga BBM. SP/t
Tidak ada komentar