Header Ads

Tolak Inpres UMP, Buruh Ancam Mogok Nasional

LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Pekerja, mengundang reaksi keras dari kalangan pekerja dan buruh di Indonesia.
Serikat pekerja/buruh menolak isi Inpres Nomor 9 Tahun 2013, karena dianggap tidak adil untuk pekerja. Pekerja mengancam akan menggugat Inpres tersebut dan kembali melakukan demo besar-besaran, jika pemerintah tidak melakukan revisi Inpres tersebut.
Penolakan itu disampaikan Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Rabu (2/10). Inpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja ditandatangani Presiden pada 27 September 2013.
Inpres menginstruksikan kepada Menko Perekonomian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perekonomian, Kapolri, para gubernur dan wali kota untuk membuat kebijakan sesuai tugas, fungsi, dan wewenangnya serta terkoordinasi dan terintegrasi menyelaraskan kebijakan upah minimum dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kebijakan upah ini untuk mewujudkan keberlangsungan usaha dan perkembangan industri nasional serta peningkatan kesejahteraan pekerja.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timbul Siregar, menegaskan Inpres yang menitikberatkan keberlangsungan usaha dan perkembangan industri nasional tersebut, sebagai bentuk ketidakadilan pemerintah pada buruh.
Menurutnya, proses penentuan upah minimum sudah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Permenakertrans Nomor 13/2012 yang memberikan kewenangan kepada Dewan Pengupahan, untuk menyurvei berdasarkan kondisi riil harga-harga berdasarkan 60 item kebutuhan hidup di lapangan.
“Kalau hanya dititikberatkan pada produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, hal ini tidak sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan Permenakertrans 13/2012,” kata Timbul, Rabu (2/10).
Ditegaskannya, upah minimum adalah jaring pengaman bagi buruh, tidak bisa dikaitkan dengan produktivitas. Sesuai Permenakertrans Nomor 1 Tahun 1999, upah minimum hanya ditujukan kepada pekerja nol tahun (baru bekerja) dan lajang.
Selain itu adanya pembedaan penerapan upah minimum antara industri padat karya dan industri lainnya merupakan pelanggaran trehadap UUD 45. Semua warga dikatakan berhak atas upah layak. Inpres disebutnya bernuansa represif, instruksi kepada kapolri merupakan sinyal represif pemerintah terhadap buruh.
“Buruh akan melawan Inpres ini dengan demo dan mogok nasional. SBY harus mencabut Inpres ini dan patuh terhadap UUD 45, UU Ketenagakerjaan dan Permenakertrans Nomor 13/2012,” Timbul mengatakan.
Presiden KSPI, Said Iqbal, dalam siaran pers mengatakan yang paling berbahaya dari Inpres tersebut adalah dilibatkannya polisi Indonesia dalam permasalahan hubungan industrial (permasalahan kenaikkan upah).
“Oleh karena itu, KSPI bersama elemen gerakan buruh lainnya akan mengambil langkah-langkah gugatan warga negara ke pengadilan negeri, karena presiden dan menteri-menterinya telah melakukan perbuatan melanggar hukum,” Said menegaskan.
KSPI juga akan melapor ke PBB dan ILO terhadap tindakan Pemerintah Indonesia yang melibatkan polisi, dalam persoalan kenaikan upah minimum. Hal ini dinilai bertentangan dengan konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98. KSPI juga merencanakan aksi mogok nasional tanggal 28-30 Oktober yang melibatkan 3 juta buruh.
Kepentingan Pencari Kerja
Di lain pihak, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Anton Supit, mengatakan penandatanganan Inpres sudah benar dilakukan. Meskipun dirinya belum mengetahui secara persis Inpres tersebut, Anton percaya esensi Inpres tersebut adalah untuk menciptakan dan mempertahankan kesempatan kerja.
“Dalam dua tahun terakhir ekonomi kita sedang lesu. Volume ekspor juga sedang berkurang dan pengangguran tambah banyak. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan sudah kontraproduktif,” ujar Anton saat dihubungi SH, Kamis (3/10) pagi.
Menurut Anton, jika berbicara tentang upah minimum, selalu dianggap hanya masalah antara buruh dengan pengusaha. Dalam kenyataannya, ada satu lagi pihak yang berkepentingan, yaitu para pencari kerja.
“Ingat, ada sekitar 7 juta orang yang menganggur total dan sekitar 34 juta orang yang setengah bekerja atau setengah menganggur, dalam artian kerja paruh waktu. Kepentingan mereka inilah yang harus diperjuangkan pemerintah karena mereka butuh bekerja juga,” ia melanjutkan.
Anton juga mengatakan, sesuai undang-undang semua kebijakan baik dari pusat maupun daerah harus dilakukan untuk menjaga perluasan lapangan kerja. Oleh karena itu, Anton berpendapat jiwa dari Inpres adalah untuk menjaga perluasan lapangan kerja.
Selain itu, menurut Anton, pemerintah saat ini berpihak kepada penciptaan lapangan kerja untuk masyarakat yang belum bekerja. Tidak adil bila melupakan mereka. “Jadi, menurut saya, orang yang sudah bekerja sebaiknya sabar dulu dan memikirkan yang belum bekerja itu. Mereka yang belum bekerja harus dilindungi juga karena jumlahnya sangat banyak,” ia menegaskan.
Inpres yang ditandatangani Presiden SBY memuat instruksi kepada Menko Perekonomian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perindustrian, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Para gubernur dan bupati atau wali kota juga diinstruksikan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menetapkan jumlah upah minimum.
Terkait pembicaraan upah minimum, Anton mengatakan selama ini ada pembicaraan yang salah. Menurutnya, upah minimum berlaku untuk beberapa criteria, antara lain pekerja masih lajang dan bekerja selama satu tahun.
“Kalau pertama kali bekerja, start-nya UMP, setelah dua tahun, barulah berbicara ke manajemennya kalau tidak cocok dengan upahnya, karena itu memang sudah hak para buruh,” ia menambahkan.
Dalam pembicaraan upah minimum, Anton berpendapat harus seimbang antara kepentingan buruh dan pengusaha. Meskipun demikian, pemerintah juga harus bisa memperbaiki kondisi ekonomi dan mendatangkan lebih banyak investor, sehingga kesejahteraan dapat meningkat.
“Kalau terlalu tinggi (upah minimum-red) akan menutup peluang bagi para pencari kerja untuk bekerja. Ini tidak adil bagi yang 7 juta dan 34 juta orang itu,” ia menandaskan.sh/T

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.