Setinggi Apapun Pohon Akarnya Tetap di Tempat
LINTAS PUBLIK-TOKOH, Ketika kecil, Yetty Aritonang punya
cita-cita yang sederhana saja, ingin jalan-jalan keliling dunia.
Ternyata cita-cita itu terkabul, tak sekedar menjelajahi hampir semua
negara
di dunia, bahkan ia menikah dan bermukim di Perancis sejak 1987.


Karena berkarir di Perancis pula, ia berhasil mewujudkan cita-cita masa kecilnya untuk keliling negara-negara di Dunia. Bahkan seminggu dalam sebulan, wanita yang menempati sebuah rumah berlantai 4 di kawasan Fontenay Aux Roses – 4 kilometer di selatan kota Paris ini, berkeliling ke negara-negara seperti Dubai, Amerika Latin, Brazilia, Kanada, dan Asia untuk mengaudit kantor cabang.

(Putri Penulis Alm. W.S. Rendra)
di dunia, bahkan ia menikah dan bermukim di Perancis sejak 1987.
Namun meski sudah 26 tahun bermukim di
negara menara Eiffel itu, kelahiran Medan Ayah dari Muara dan Ibu dari
Siborong-borong (Sumatera Utara), 12 Juli 1963 ini, tidak merasa
kehilangan akar sebagai orang Indonesia. Bahkan di negeri supermodel
itu, ia aktif memperkenalkan kebudayaan Indonesia lewat yayasan
France-Indonesia, yang dibentuknya sejak 21 tahun lalu bersama ibu-ibu
Indonesia yang bermukim di sana.
Setiap
tahun yayasan ini menggelar acara budaya dan menyebar undangan gratis
agar bisa menonton tarian Indonesia. “Di sana banyak wanita Indonesia
yang pintar menari Jawa, Bali dan lainlain. Mereka tidak dibayar. Kami
menjual makanan dan hasil kerajinan Indonesia. Hasilnya kami kirim ke
rumah yatim piatu di Indonesia berupa alat-alat sekolah. Nggak banyak
sih, sekitar 10 juta rupiah. Tapi buat ibu-ibu Indonesia yang nggak
punya pekerjaan, mereka merasa berguna,” celoteh Yetty yang juga belajar menari Bali dan Yapong.
Rencananya bulan Juni dan Oktober nanti, yayasan France – Indonesia akan menggelar pameran kain tradisional dari seluruh provinsi di Indonesia. Untuk itu mereka menjual tiket seharga 2 Euro yang nantinya disisihkan untuk rumah yatim di tanah air.
Rencananya bulan Juni dan Oktober nanti, yayasan France – Indonesia akan menggelar pameran kain tradisional dari seluruh provinsi di Indonesia. Untuk itu mereka menjual tiket seharga 2 Euro yang nantinya disisihkan untuk rumah yatim di tanah air.
Bertahun-tahun
hidup di Perancis, membuat istri dari Juge, dan ibu dari Victor Juge
(14) ini, merasa kagum pada pola hidup orang Perancis yang sangat
disiplin. “Yang paling nyata, kebiasaan di sana kalau janji harus tepat
waktu, nggak ada alasan. Kalau kita terlambat 15 menit saja sudah
ditinggal. Dalam memutuskan sesuatu, orang Indonesia terlalu banyak
pertimbangan. Di Perancis, ambil garis titiknya
lalu putuskan. Keputusan apapun harus dikembangkan,” tutur penulis
novel “Bunga-bunga Paris-Jakarta” (Les Fleurs, Paris-Jakarta) ini.
Dalam hal
kependudukan, perkembangan ekonomi Perancis yang berpenduduk sekitar 66
juta jiwa ini sudah pasti lebih pesat. Pria Indonesia yang ingin
menikah, biasanya masih mementingkan virginitas. “Perempuan di sana
rata-rata minimal berumur 30 tahun untuk memutuskan berumah-tangga
karena segi kejiwaannya sudah matang. Dia harus merasa cocok benar untuk
pernikahan yang panjang. Sekarang ini banyak diantara mereka mau
menikah tapi nggak mau punya anak.
Makanya sejak perang dunia ke-2 sampai
sekarang statistik kependudukan di negara Perancis hampir stabil antara
kelahiran dan kematian,” jelas pemilik tinggi 161 cm dan berat badan 55
kg ini panjang lebar.
Perjuangan penyantap segala masakan Indonesia ini untuk sampai ke Perancis lumayan panjang. Sejak usia 8 tahun, anak tunggal pasangan (Alm) TNI-AD Dompak Arthur Aritonang dan (Alm) Portua Bethalina Sihombing ini tinggal bersama tantenya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta. “Sebagai orang Batak, anak perempuan dianggap tidak seberapa penting daripada anak laki-laki Batak,” keluh Yetty.
Setamat D-2 Akunting pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta, Yetty sempat bekerja di kantor Mien R. Uno. Namun sebagai anak tunggal, ia ingin mengubah nasib. Kebetulan salah seorang pamannya yang mendapat tugas di KBRI Paris. Maka di tahun 1987, Yetty ikut bersama keluarga sang paman di Paris. “Di rumah paman, saya mengurus anak-anak beliau, imbalannya saya dibiayai sekolah. Tadinya Yetty ingin meneruskan Akunting, tapi gagal tes. “Jadi saya masuk Sastra Perancis karena yang paling mudah untuk masuk sekolah bahasa,” jelas lulusan D-3 University of Sorbonne (1991) ini.
Perjuangan penyantap segala masakan Indonesia ini untuk sampai ke Perancis lumayan panjang. Sejak usia 8 tahun, anak tunggal pasangan (Alm) TNI-AD Dompak Arthur Aritonang dan (Alm) Portua Bethalina Sihombing ini tinggal bersama tantenya di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta. “Sebagai orang Batak, anak perempuan dianggap tidak seberapa penting daripada anak laki-laki Batak,” keluh Yetty.
Setamat D-2 Akunting pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta, Yetty sempat bekerja di kantor Mien R. Uno. Namun sebagai anak tunggal, ia ingin mengubah nasib. Kebetulan salah seorang pamannya yang mendapat tugas di KBRI Paris. Maka di tahun 1987, Yetty ikut bersama keluarga sang paman di Paris. “Di rumah paman, saya mengurus anak-anak beliau, imbalannya saya dibiayai sekolah. Tadinya Yetty ingin meneruskan Akunting, tapi gagal tes. “Jadi saya masuk Sastra Perancis karena yang paling mudah untuk masuk sekolah bahasa,” jelas lulusan D-3 University of Sorbonne (1991) ini.
Beberapa bulan menjelang tugas pamannya
berakhir, iseng-iseng Yetty melamar pekerjaan dan diterima sebagai
Asisten Direktur pada Copex SA – sebuah perusahaan ekspor impor di
bidang IT. Ia juga sempat bekerja di agen
perjalanan. Berikutnya, di tahun 1994, Yetty bergabung dengan SGS –
SURVEYOR INDONESIA (PTSI), sebagai duane Indonesia yang ada di
Perancis. Dulu
kalau ada barang yang tiba di Indonesia, langsung dikontrol oleh duane
di tempat. “Nah waktu itu Surveyor Indonesia yang ada di Eropa, bagi
negara-negara yang mengekspor ke Indonesia, barang langsung
dikontrol di pabriknya. Kita siapkan label kode duane, harga persisnya
agar tidak ada persaingan harga. Jadi begitu barang masuk ke Indonesia,
tinggal masuk saja nggak lagi disentuh duane Indonesia,” tutur perempuan
yang mengaku workaholic ini. Ketika krisis ekonomi besar-besaran
melanda dunia 1997, Menkeu Indonesia – ketika itu Bapak Mari’e Muhammad
pada tahun 1998 menarik semua kegiatan PTSI yang ada di Eropa. Tentu
saja hal ini membuat penggemar olahraga bowling, renang, dan joging ini
terkena PHK.
Tak betah
berlama-lama menganggur, pemakai parfum Hermes ini iseng melamar dan
diterima sebagai Direktur Keuangan di sebuah perusahaan Perancis
perusahaan genteng berbahan mineral yang tidak menyebabkan kanker. Namun
karena perusahaan dijual (2008), setelah sepuluh tahun berkarir
lagi-lagi bersama 8 teman di direksi keuangan terkena PHK dengan
kompensasi 2 tahun gaji dan hakhak lainnya.
Di Perancis, sebagai pengangguran, ia
harus hadir untuk mengikuti training keahlian dari pemerintah Perancis
agar siap bekerja kembali apabila ada kesempatannya.
Yetty
kebingungan apa yang harus dikerjakan. Sebab ia terbiasa bangun pukul 5
pagi untuk menyiapkan sarapan keluarga. “Begitu jam 7 mereka pergi,
bingung mau ngapain. Lalu saya mulai mengirim CV (Curricullum Vitae) ke
banyak kantor di Perancis. Dan itu memerlukan waktu juga karena
sistemnya harus diketik ulang ke web site masing-masing. Kadang-kadang
saya diserang rasa jenuh, lalu saya mencoba mengingat masa lalu dan
mulai menulis seperti diary,” cerita wanita yang sedang menyiapkan novel
kedua yang akan bercerita seputar pergulatan hidup kembali jika
mendapat pekerjaan. “Juga untuk mengetahui apakah saya betul-betul
mencari kerja atau hanya santai-santai. Karena di Perancis, setelah
tidak bekerja selama dua tahun akan mendapat asuransi dari pemerintah,”
jelas Yetty yang sejak 2 tahun terakhir ini tidak bekerja.
Sebagai
wanita karir yang superaktif, lalu tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan,
di bulan-bulan pertama, sempat membuat Yetty selama hidup di Perancis –
“dan lagi tidak mudah bagi orang Asia apalagi perempuan, menjadi Bos
yang anak buahnya orang Eropa.”
Sejak dua tahun terakhir ini, ketika
Yetty tidak lagi menjadi ‘orang kantoran’, ia lebih memfokuskan diri
sebagai ibu rumah tangga. Ia ingin menebus waktunya yang hilang bersama
anak semata wayangnya Victor yang berusia 14 tahun (kelas 2 SMP).
“Bayangkan, sejak Victor lahir sampai umur 12 tahun, saya selalu
membawanya ke penitipan anak dari jam 7 pagi sampai jam7 malam.
Sekarang saya manfaatkan betul untuk
mengurus anak dan meluangkan waktu empat kali dalam setahun pulang ke
Indonesia,” tutur Yetty yang mengaku uang kompensasi PHK yang
didapatnya, ia belikan rumah dan membuka usaha apotik di Jakarta, dan
tanah yang lumayan luas di Bali. Tentang anaknya yang tumbuh kembang di
komunitas penitipan anak dan karena di Perancis sekolah gratis, “Anak
tidak 100 persen milik kita. Kalau mereka dianiaya orangtuanya, walaupun
masih kecil, anak berhak melapor ke polisi. Polisi berhak mengangkut
anak ke tempat khusus anak-anak yang tidak cocok dengan orangtua.” Dan
orangtua, lanjut Yetty, masih dapat mengunjungi anaknya. Mungkin karena
sistem itu, anak bisa mandiri.
Dan mumpung
belum aktif bekerja lagi, Victor memuaskan diri untuk bermanja-manja
pada ibunya. “Saya juga berusaha membuat masakan kesukaannya. Itulah
untuk menebus waktu yang 12 tahun hilang untuk anak,” ujar wanita yang
setiap pagi minum madu dan vitamin ini. Terutama di musim dingin agar
tak mudah terserang flu.
Nilai-nilai
yang ditanamkan kepada anak terutama sebagai Ibu Indonesia, adalah
sopan santun terhadap orangtua, itulah yang melebihi dari orang
Perancis. Karena banyak anak-anak
Perancis usia 12-14 tahun, banyak yang bermasalah dengan orangtuanya.
“Saya tanamkan betul budaya Indonesia, bagaimana hubungan anak dan
orangtua. Sayang bilang ke Victor bahwa dia harus memberi saya
kepercayaan bahwa saya adalah ibunya,” tutur Yetty yang berbicara bahasa
Indonesia kepada anaknya meski dijawab dalam bahasa Perancis.
Meja makan
menjadi tempat yang seru dan mengasyikkan untuk saling berbagi
pengalaman sehari-sehari dalam keluarga Yetty. Biasanya hari Jumat dan
Minggu malam, Yetty akan menghiasi meja dengan taplak dan bunga yang
cantik. Dikeluarkannya perangkat makan yang istimewa untuk makan malam.
Seperti umumnya masyarakat Perancis,
sambil makan pelan-pelan mereka saling berbagi cerita. “Anak saya cerita
tentang sekolahnya, suami cerita tentang pekerjaan kantor dengan
penuturan yang sesuai dengan daya tangkap anak, dan saya tentang
kegiatan rutin,” celoteh wanita yang biasa tidur pukul 12 malam.
Meski
sekarang belum lagi aktif bekerja, wanita yang fasih bahasa Perancis,
Inggris, dan Spanyol ini, tetap mencintai Perancis sebagai tempatnya
berkarir. Menurutnya, orang Perancis sangat sportif, artinya siapapun
yang berprestasi akan dihargai, tak perlu koneksi seperti di Indonesia.
Karena berkarir di Perancis pula, ia berhasil mewujudkan cita-cita masa kecilnya untuk keliling negara-negara di Dunia. Bahkan seminggu dalam sebulan, wanita yang menempati sebuah rumah berlantai 4 di kawasan Fontenay Aux Roses – 4 kilometer di selatan kota Paris ini, berkeliling ke negara-negara seperti Dubai, Amerika Latin, Brazilia, Kanada, dan Asia untuk mengaudit kantor cabang.
Setiap kali bepergian ke negara-negara
lain, Yetty paling suka membeli cinderamata khas negara itu seperti
senjata khas Paraguay yang mirip senjata suku Aborigin, bumerang. “Hanya
ukirannya yang berbeda. Kalau Aborigin ukirannya tipikal sekali, nah
kalau Paraguay lebih kaku,” cerita wanita yang juga suka membawa aneka
batu-batuan yang masih asli, belum digosok untuk perhiasan.
“Tapi kalau
untuk hidup, saya tetap mencintai Indonesia. Dengan tabungan hasil
kerja di sana, saya akan menikmati masa tua di Indonesia. Seperti akar
pohon, meski pohonnya setinggi apapun, akarnya tidak akan kemana-mana,”
tegas Yetty yang berencana menghabiskan masa tuanya di Bali ini.
Masih ada
cita-cita yang ingin dicapai Yetty. “Kalau Tuhan memberkati, sebelum
nafasku putus aku ingin membangun sekolah di kampungku Siborong-borong.
Sebab kalau saya pulang kekampung, saya sering melihat anak-anak kecil
yang menarik kerbau berjalan di titian sawah sambil melihat anak lain
bersekolah yang mungkin jaraknya 3 kilometer atau lebih. Sedih sekali
aku melihatnya ,” ujarnya. Yang penting, tambahnya, aku sehat. Apa yang aku pikirkan selama Tuhan masih memberiku kesempatan harus kujalankan.
Rini Clara.(Putri Penulis Alm. W.S. Rendra)
Tidak ada komentar