Header Ads

Menakar Pilkada Serentak

Pembahasan RUU tentang pilkada masih berlangsung alot di DPR. Meski demikian, DPR dan pemerintah telah sepakat agar pelaksanaan pilkada di Indonesia pada masa mendatang bisa berlangsung murah, baik dari sisi penyelenggaraannya maupun biaya sosial sebagai dampak dari pelaksanaan pilkada. Salah satu isu penting yang perlu dibahas serius antara DPR dan pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pilkada murah adalah menyerentakan pilkada. Pilkada yang diselenggarakan serentak di satu provinsi bisa membuat biaya yang dikeluarkan akan menjadi efisien.  

Saat ini, Indonesia memiliki 33 provinsi dan 492 kabupaten/kota yang harus melaksanakan pilkada untuk memilih kepala daerah masing-masing. Jika dihitung kasar dan tanpa Provinsi DI Yogyakarta yang tidak melaksanakan pemilihan gubernur, maka setiap lima tahun ada 525 pelaksanaan pilkada. Artinya, setiap empat hari digelar pilkada di Tanah Air.  

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mencatat, biaya peyelenggaraan satu pilkada kabupaten atau kota bisa mencapai Rp 25 miliar. Sedangkan, biaya penyelenggaraan pilkada provinsi, bisa mencapai Rp 100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan biaya pilkada yang dikeluarkan pemerintah, menurut Fitra, bisa mencapai Rp 17 triliun.  

Itu baru dari sisi biaya. Jumlah pilkada yang banyak itu juga menimbulkan dampak sosial masyarakat di daerah. Menurut catatan Kemdagri, sejak pilkada langsung digelar pada 2005 hingga Agustus 2013, 75 orang meninggal dan 256 lainnya cedera. Belum termasuk kerusakan infrastruktur dan sarana umum akibat amuk massa yang menolak hasil pilkada.

Jika dipetakan, paling tidak ada lima faktor penyebab pilkada di Indonesia masih sarat masalah. Pertama, profesionalitas dan independensi penyelenggara pilkada. Dalam setahun terakhir, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyidangkan 113 perkara pilkada. Dari jumlah itu, 97 perkara telah diputus dengan bermacam konsekuensi hukum, termasuk pemecatan 84 komisioner KPU di daerah.  

Kedua,
sistem peradilan sengketa pilkada. Sengketa pilkada yang dibawa ke MK ternyata banyak menimbulkan ketidakpuasan. Waktu yang diberi UU untuk menyelesaikan sengketa pilkada terlalu sempit, hanya 14 hari. Padahal, pilkada tidak hanya dilaksanakan di Jawa, tapi juga di daerah yang jauh dari Ibu Kota. Perlu waktu yang panjang untuk mengumpulkan bukti-bukti dan membawanya ke Jakarta.  

Ketiga,
fungsi panitia pengawas pemilu (Panwaslu) yang belum maksimal dalam mengawasi pelaksanaan pilkada. Kewenangan Panwaslu masih lemah. Mereka tidak bisa menindaklanjuti laporan-laporan yang masuk dari pihak-pihak yang dirugikan. Keempat, moralitas aparat penegak hukum. Praktik suap yang dilakukan mantan Ketua MK Akil Mochtar menunjukkan moralitas penegak hukum dalam menangani sengketa pilkada masih buruk. Artinya, meski nantinya sengketa pilkada ditangani MA, tanpa ada perbaikan moral aparat tentu peristiwa penangkapan Akil akan terus terjadi.  

Kelima, kondisi kesejahteraan di daerah. Kesejahteraan masyarakat di daerah yang masih di bawah rata-rata tentu membuat mereka mudah dimanfaatkan para politisi yang ikut pilkada hanya untuk merebut kekuasaan dan sekadar memiliki kepentingan ekonomi, bukan untuk menjadi pemimpin yang peduli terhadap kondisi rakyat di daerah. Mereka akan mempengaruhi warga untuk memilih dengan iming-iming uang. Kondisi seperti ini menyuburkan praktik politik uang dan membuat biaya pilkada semakin mahal.   Bayangkan jika lima faktor itu belum bisa diatasi, namun sistem pilkada masih seperti saat ini. Energi bangsa kita habis hanya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi sebagai dampak pelaksanaan pilkada. Rakyat Indonesia pun akan terpecah-pecah hanya karena mendukung salah satu calon kepala daerah.  

Dengan fakta-fakta seperti itu, wajar jika banyak kalangan yang mendesak agar sistem pilkada di Indonesia perlu dikaji ulang. Untuk mengurangi biaya pilkada yang tinggi dan bisa menimbulkan dampak sosial yang besar itu pemerintah dan DPR patut mempertimbangkan pelaksanaan pilkada serentak. Pilkada serentak yang dimaksud adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di satu provinsi. Jadi, dalam satu provinsi hanya digelar sekali pilkada dalam lima tahun, yakni pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.  

Cara seperti itu bisa menghemat penggunaan logistik pilkada. KPU di daerah bisa menggunakan satu kertas suara saja yang memuat seluruh nama dan foto para kandidat kepala daerah. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota juga bisa patungan untuk membiayai pelaksanaan pilkada.   Jika pilkada serentak dilakukan di setiap provinsi, berarti pelaksanaan pilkada di Indonesia hanya 33 kali setiap lima tahun. Jika dihitung kasar, pilkada hanya digelar setiap 2 bulan sekali. Dengan cara seperti itu, biaya yang dikeluarkan akan lebih kecil dan pemerintah daerah bisa mengalokasikan dana pilkada untuk program-program kesejahteraan rakyat. Sumb. Suara Pembaruan


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.