Header Ads

Penggagas Sekolah Gratis di Kampung Bedeng

LINTAS PUBLIK - Sarip Abdul Rohman (32)--sarjana pendidikan ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)--sejak tahun 1997 tinggal di kampung Bedeng, Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Saat itu dia masih duduk di bangku madrasah tsanawiah.

Sarip yang berasal dari keluarga dengan ekonomi terbatas sebenarnya tidak mampu melanjutkan pendidikan lebih tinggi seusai lulus sekolah dasar (SD). Namun, ia mendapat bantuan biaya pendidikan di tingkat pendidikan madrasah tsanawiah hingga masuk SMAN 13, salah satu sekolah favorit di Jakarta Utara.

Saat hendak melanjutkan ke perguruan tinggi, Sarip dan kawan-kawan patungan untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Sarip pun diterima di UNJ pada 2001 dan menyelesaikan studi pada 2006. Saat ini Sarip sedang menyelesaikan pendidikan magister dengan jurusan manajemen pendidikan.


Tak Bersekolah
Setahun setelah lulus kuliah, Sarip melihat kondisi anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya sangat memprihatinkan. Hampir 90 persen anak di Kampung Bedeng tidak bersekolah karena keluarganya miskin. Bantuan pendidikan yang pernah diterimanya menambah kepedulian, sekaligus menguatkan niatnya untuk menyelenggarakan pendidikan gratis bagi warga Kampung Bedeng, termasuk kampung di sekitarnya, yakni Kampung Sepat, Kampung Sawah, dan Kampung Kali Gendong.

Sarana pendidikan yang ada sebelum sekolah gagasan Sarip berdiri adalah sekolah pemulung yang dikelola Kety Lengkang dari Ikatan Pemulung Indonesia (IPI), mengingat area di sekitar kampung tersebut pernah menjadi lokasi tempat pembuangan sementara (TPS) dan sebagian besar penduduk adalah pemulung. Namun, pada 2007 sekolah bentukan IPI bubar karena manajemen buruk dan kekurangan dana operasional sekolah.

Dorongan tersebut semakin kuat saat banjir besar melanda Jakarta—termasuk Kampung Bedeng—pada 2007 dengan ketinggian air mencapai 1,5 meter. Saat di pengungsian, warga meminta Sarip melanjutkan kegiatan belajar-mengajar karena sekolah pemulung tidak beroperasi lagi. Dengan memanfaatkan jaringan yang ia bentuk saat aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa UNJ, Sarip dan beberapa relawan guru akhirnya membentuk sekolah dasar Islam (SDI) Darut Tauhid. Ustaz Syamsudin yang ikut menggagas rencana tersebut didapuk sebagai ketua yayasan dan Sarip dipercaya menjadi kepala.



Donasi
Sekolah yang digerakkan Sarip beserta tenaga pengajar, staf tata usaha, dan petugas kebersihan yang berjumlah 13 orang tersebut mengandalkan pendanaan dari donasi yang didapatkan dari portal infak, lembaga sosial dan perbankan, perusahaan, serta mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo.

Saat pertama kali beroperasi, hanya ada 60 siswa dan empat tenaga pengajar. Dalam situasi yang serba-terbatas dan prihatin, Sarip dan guru-guru pengajar mengikhlaskan diri dan berikhtiar untuk melayani pendidikan anak-anak pemulung. Para guru hanya menerima honorarium Rp 200.000 sebulan. Namun, karena kecintaan terhadap anak-anak dan pendidikan mereka, Sarip dan tenaga pengajar tetap bertahan dan mendidik anak-anak di Kampung Bedeng secara gratis. Ketika itu, banyak anak yang tak berseragam dan mereka belajar beralas tikar.

Sarip pun mengemukakan beberapa persoalan yang dihadapinya. Sejak 2007 sampai 2009, sekolah tersebut tak mendapat izin dari Kelurahan Rorotan. Baru pada saat Fauzi Bowo berkunjung ke sekolah tersebut untuk meresmikan mobil baca pada 2010, izin sekolah pun turun dengan status “sekolah dasar khusus”.

Persoalan lainnya adalah operasional sangat bergantung pada dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pendidikan (BOP) dari pemerintah, serta donasi dari berbagai lembaga. Khusus BOP, rencana Pemprov DKI Jakarta menghapusnya karena dananya dialihkan ke program Kartu Jakarta Pintar (KJP), akan memberi dampak besar bagi sekolahnya.
Permasalahan lainnya adalah minimnya minat anak-anak untuk bersekolah. Menurut Sarip, dengan kondisi lingkungan tempat tinggal yang masih “abu-abu”, banyak warga tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Para orangtua justru mendorong anak-anaknya memulung untuk memenuhi biaya hidup.

Meski memiliki berbagai keterbatasan, SDI Darut Tauhid juga mengantongi sejumlah prestasi, di antaranya juara pertama silat nasional pada 2013, juara pertama lomba lari maraton, futsal, dan pramuka. Di bidang seni, mereka juga menjuarai lomba kaligrafi tingkat Kecamatan Cilincing pada 2012 dan juara kedua mendongeng tingkat Jabodetabek pada 2009. Sedangkan di bidang ilmu pengetahuan, SDI Darut Tauhid berhasil masuk 10 besar Olimpiade Sains nasional (OSN) pada 2013.

Untuk memajukan sekolahnya, Sarip berharap masyarakat Kampung Bedeng dan sekitarnya lebih peduli pada pendidikan dan menyekolahkan anak-anaknya. Sarip juga mendorong penanaman akhlak anak sejak kecil.

Sedangkan kepada pemerintah, Sarip berharap sekolahnya lebih mendapat perhatian karena termasuk kategori sekolah sosial yang tidak memungut biaya dari peserta didik, sehingga ke depan bisa lebih berprestasi.

“Kampung kami dianggap sebagai kawasan permukiman ilegal, sehingga pemerintah jarang memberi perhatian. Faktanya kami tinggal di Jakarta, sehingga Pemprov DKI dan pemerintah pusat seharusnya juga memberi perhatian. Kami juga berharap Pemprov DKI Jakarta tidak menghapus BOP agar sekolah ini bisa terus beroperasi,” tutupnya.Sumb. SP/t

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.