E-voting Pemilu 2019
Akan menjadi sebuah terobosan besar bila pemerintahan Jokowi mampu
mempersiapkan dan menyelenggarakan Pemilu 2019 mendatang dengan
menggunakan sistem pemungutan suara secara elektronik atau e-voting.
Bila belum mampu, sekurangnya pesta demokrasi lima tahunan itu sudah
menerapkan e-rekap.
Tujuannya adalah menjadikan pemilu lebih berkualitas karena meminimalkan potensi kecurangan. Lebih dari itu, untuk jangka panjang menghemat sampai 40% biaya.
Keyakinan Mendagri Tjahjo Kumolo bahwa tahun 2019 Indonesia bisa menggunakan e-voting merupakan sinyal positif. Keyakinan itu bukan sekadar angan-angan kosong bila pemerintah serius mempersiapkan diri.
Masalah paling krusial adalah persiapan data pemilih yang tak lain berkaitan erat dengan data kependudukan. Program KTP elektronik atau e-KTP sangat menunjang e-voting. Di dalam e-KTP tertanam chip Near Field Communication yang memudahkan dan memvalidasi data pemilih.
Namun program e-KTP yang dimulai sejak 2010 lalu ternyata tak sesuai target. Bahkan di sana-sini ditemukan penyelewengan. Dari target 188 juta wajib KTP, Kemdagri kini masih "berutang" 40 juta. Selain harus membereskan warga yang belum mendapatkan e-KTP, kini Kemdagri juga harus membersihkan kepemilikan ganda e-KTP.
Persoalan lain, belum ada legalitas penyelenggaraan e-voting dalam pemilihan umum. Secara umum, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemilu boleh menggunakane-voting asalkan memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta kesiapan lima komponen secara kumulatif, yakni kesiapan teknologi, penyelenggara, pembiayaan, legalitas, dan masyarakat. Namun, putusan MK memperbolehkan penerapan e-voting dalam pemilu itu tidak bersifat operasional.
Penyelenggaraan pemilu diatur melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berdasarkan atau mengacu pada UU. Peraturan KPU tidak bisa langsung berdasarkan putusan MK.
Guna mewujudkan e-voting pada 2019 maka diperlukan langkah nyata. Pertama, memberi landasan hukum sehingga pihak-pihak terkait yang mempersiapkan infrastruktur dan teknologi e-voting bisa berjalan. Landasan dimaksud adalah pada UU Pemilu.
Kedua, selesaikan program e-KTP secepatnya. Kemdagri berencana sisa 43 juta e-KTP bakal selesai pada 2018, sehingga para pemilih bisa menggunakan hak suara dengan menggunakane-votingpada Pemilu 2019. Target ini bisa dipercepat mengingat sejumlah daerah menyatakan siap menyelesaikannya pada 2017. Apalagi Kemdagri menerapkan upaya jemput bola, door to door, kepada para wajib KTP namun belum memiliki e-KTP. Apabila 2017 tercapai target 188 juta maka sisa waktu selebihnya dapat dimanfaatkan untuk menyisir kesalahan-kesalahan pendataan kependudukan.
Ketiga, pemerintahan baru di bawah Joko Widodo dan Jusuf Kalla diminta segera membangun sarana dan prasarana secara bertahap. Sampai saat ini belum terlihat adanya pergerakan menyiapkan infrastruktur e-voting. Kemdagri sebatas melontarkan wacana bahwa pada pemilu mendatang Indonesia sudah bisa melaksanakan pemilu menggunakan e-voting.
Seandainya benar pemerintah menyiapkan infrastruktur dan teknologi, maka hati-hatilah dalam melaksanakan proyek besar ini. Akan ada banyak tikus-tikus proyek berkeliaran siap memangsa.
Keempat, e-voting tidak bisa seketika dilakukan. Jika mau serius, pemerintah bisa melakukan uji coba pada pilkada serentak yang terdekat, yakni pada Desember 2015. Uji coba juga menjadi bagian dari sosialisasi kepada khalayak. Hasilnya menjadi bahan uji dan evaluasi.
Kita mengapresiasi BPPT yang telah melakukan berbagai eksperimen di beberapa daerah berkait teknis pelaksanaan. Sejak 2010 hingga 2013 BPPT telah melakukan simulasi e-voting di beberapa pilkada untuk mendapatkan masukan masyarakat melalui kuisioner.
Hasil kuisioner mencatat, sebanyak 99% masyarakat belum pernah mengetahui apa itu e-voting, tetapi setelah mencobanya 97% mengatakan mudah, 98% percaya, dan 99% setuju pilkada menerapkannya. Pemerintah harus bisa memastikan teknologi e-votingbisa dipercaya oleh masyarakat dan stakeholder pemilu. Bahwa melalui teknologi, kecurangan pemilu konvensional bisa dikurangi dan sistem ini tidak memunculkan kecurangan baru.
E-voting seharusnya mendapatkan dukungan dari para elite politik yang menginginkan pemungutan suara bersih. Namun kenyataannya, masih banyak kepentingan politik yang menginginkan pemilu konvensional dipertahankan dengan berbagai alasan meski pada dasarnya tidak rela kesempatannya berbuat curang pada penghitungan suara tertutup.
Sistem e-voting menggunakan teknologi informasi yang di negara besar menjadi solusi dalam membentuk pemilu yang berkualitas. Sayang sekali bila e-KTPyang canggih dan berbiaya mahal selama ini tidak dioptimalkan fungsinya dalam pelaksanaan pemilu, dengan menerapkan e-voting.? Seandainya nanti belum siap pada pemungutan suara, maka pada 2019 sekurangnya kita sudah menerapkan penghitungan suara menggunakan rekapitulasi elektronik. SP/t
Tujuannya adalah menjadikan pemilu lebih berkualitas karena meminimalkan potensi kecurangan. Lebih dari itu, untuk jangka panjang menghemat sampai 40% biaya.
Keyakinan Mendagri Tjahjo Kumolo bahwa tahun 2019 Indonesia bisa menggunakan e-voting merupakan sinyal positif. Keyakinan itu bukan sekadar angan-angan kosong bila pemerintah serius mempersiapkan diri.
Masalah paling krusial adalah persiapan data pemilih yang tak lain berkaitan erat dengan data kependudukan. Program KTP elektronik atau e-KTP sangat menunjang e-voting. Di dalam e-KTP tertanam chip Near Field Communication yang memudahkan dan memvalidasi data pemilih.
Namun program e-KTP yang dimulai sejak 2010 lalu ternyata tak sesuai target. Bahkan di sana-sini ditemukan penyelewengan. Dari target 188 juta wajib KTP, Kemdagri kini masih "berutang" 40 juta. Selain harus membereskan warga yang belum mendapatkan e-KTP, kini Kemdagri juga harus membersihkan kepemilikan ganda e-KTP.
Persoalan lain, belum ada legalitas penyelenggaraan e-voting dalam pemilihan umum. Secara umum, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pemilu boleh menggunakane-voting asalkan memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, serta kesiapan lima komponen secara kumulatif, yakni kesiapan teknologi, penyelenggara, pembiayaan, legalitas, dan masyarakat. Namun, putusan MK memperbolehkan penerapan e-voting dalam pemilu itu tidak bersifat operasional.
Penyelenggaraan pemilu diatur melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berdasarkan atau mengacu pada UU. Peraturan KPU tidak bisa langsung berdasarkan putusan MK.
Guna mewujudkan e-voting pada 2019 maka diperlukan langkah nyata. Pertama, memberi landasan hukum sehingga pihak-pihak terkait yang mempersiapkan infrastruktur dan teknologi e-voting bisa berjalan. Landasan dimaksud adalah pada UU Pemilu.
Kedua, selesaikan program e-KTP secepatnya. Kemdagri berencana sisa 43 juta e-KTP bakal selesai pada 2018, sehingga para pemilih bisa menggunakan hak suara dengan menggunakane-votingpada Pemilu 2019. Target ini bisa dipercepat mengingat sejumlah daerah menyatakan siap menyelesaikannya pada 2017. Apalagi Kemdagri menerapkan upaya jemput bola, door to door, kepada para wajib KTP namun belum memiliki e-KTP. Apabila 2017 tercapai target 188 juta maka sisa waktu selebihnya dapat dimanfaatkan untuk menyisir kesalahan-kesalahan pendataan kependudukan.
Ketiga, pemerintahan baru di bawah Joko Widodo dan Jusuf Kalla diminta segera membangun sarana dan prasarana secara bertahap. Sampai saat ini belum terlihat adanya pergerakan menyiapkan infrastruktur e-voting. Kemdagri sebatas melontarkan wacana bahwa pada pemilu mendatang Indonesia sudah bisa melaksanakan pemilu menggunakan e-voting.
Seandainya benar pemerintah menyiapkan infrastruktur dan teknologi, maka hati-hatilah dalam melaksanakan proyek besar ini. Akan ada banyak tikus-tikus proyek berkeliaran siap memangsa.
Keempat, e-voting tidak bisa seketika dilakukan. Jika mau serius, pemerintah bisa melakukan uji coba pada pilkada serentak yang terdekat, yakni pada Desember 2015. Uji coba juga menjadi bagian dari sosialisasi kepada khalayak. Hasilnya menjadi bahan uji dan evaluasi.
Kita mengapresiasi BPPT yang telah melakukan berbagai eksperimen di beberapa daerah berkait teknis pelaksanaan. Sejak 2010 hingga 2013 BPPT telah melakukan simulasi e-voting di beberapa pilkada untuk mendapatkan masukan masyarakat melalui kuisioner.
Hasil kuisioner mencatat, sebanyak 99% masyarakat belum pernah mengetahui apa itu e-voting, tetapi setelah mencobanya 97% mengatakan mudah, 98% percaya, dan 99% setuju pilkada menerapkannya. Pemerintah harus bisa memastikan teknologi e-votingbisa dipercaya oleh masyarakat dan stakeholder pemilu. Bahwa melalui teknologi, kecurangan pemilu konvensional bisa dikurangi dan sistem ini tidak memunculkan kecurangan baru.
E-voting seharusnya mendapatkan dukungan dari para elite politik yang menginginkan pemungutan suara bersih. Namun kenyataannya, masih banyak kepentingan politik yang menginginkan pemilu konvensional dipertahankan dengan berbagai alasan meski pada dasarnya tidak rela kesempatannya berbuat curang pada penghitungan suara tertutup.
Sistem e-voting menggunakan teknologi informasi yang di negara besar menjadi solusi dalam membentuk pemilu yang berkualitas. Sayang sekali bila e-KTPyang canggih dan berbiaya mahal selama ini tidak dioptimalkan fungsinya dalam pelaksanaan pemilu, dengan menerapkan e-voting.? Seandainya nanti belum siap pada pemungutan suara, maka pada 2019 sekurangnya kita sudah menerapkan penghitungan suara menggunakan rekapitulasi elektronik. SP/t
Tidak ada komentar