Header Ads

Antara Saut, Polisi, dan Kriminalisasi Sastra

APAKAH peran polisi dalam sastra Indonesia? Pertanyaan yang sangat orbais ini, semestinya, jelas jawabannya. Tidak ada! Polisi pengayom masyarakat. Pihak yang diandalkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Tapi belakangan, polisi telah melebarkan sayapnya. Polisi kini mengurusi sastra pula. Iya, benar, bukan mengurusi dalam pengertian ada jenderal polisi yang peduli terhadap sastra, ikut menulis sastra, lantas membantu perkembangan sastra Indonesia. Tidak, tidak demikian. Polisi tetap pada khittahnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban.
Saut Situmorang./net

Pertanyaannya tentu, apa yang mesti diamankan dan ditertibkan dalam sastra? Atau lebih tepatnya, barangkali, apakah ada yang perlu diamankan dan ditertibkan dalam sastra? Sesungguhnya ada. Yakni pembajakan buku yang membikin kehidupan para sastrawan kian "morat-marit".

Ini kejahatan besar! Bayangkan, sastrawan sudah setengah mati menulis, setengah mati mengumpulkan uang untuk menerbitkan tulisannya dalam bentuk buku, lantas setelah laku ditelikung sedemikian rupa oleh pihak-pihak yang sama sekali tak berkaitpaut, bahkan tidak terlibat sama sekali dengan proses kreatif penciptaannya.

Apakah polisi mengurusi persoalan ini? Ternyata tidak. Pembajakan buku (sebagaimana halnya cakram padat musik dan film) terus berlangsung di depan hidung polisi, dan mereka membiarkannya.
Lalu di bagian mana polisi berperan? Dalam perkara tangkap-menangkap juga. Dalam hal ini, runutannya persis dengan runutan perkara pelanggaran hukum pada umumnya: pengaduan, penetapan status, pemeriksaan, lalu penyidangan dan pemenjaraan.

Saut Situmorang, penyair yang berkedudukan di Jogja, diadukan oleh Fatin Hamama, atas tudingan melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Polisi kemudian menetapkan Saut, dan juga Iwan Syukri Munaf (diadukan dengan delik yang sama), sebagai tersangka. Keduanya kemudian dikirimi surat pemanggilan pemeriksaan, sebagai saksi (atas tersangka lain -Saut saksi bagi Iwan, dan Iwan saksi bagi Saut). Dua kali surat dikirimkan dan dua kali pula, baik Saut maupun Iwan tidak datang.

Apakah polisi mengurusi persoalan ini? Ternyata tidak. Pembajakan buku (sebagaimana halnya cakram padat musik dan film) terus berlangsung di depan hidung polisi, dan mereka membiarkannya.
Lalu di bagian mana polisi berperan? Dalam perkara tangkap-menangkap juga. Dalam hal ini, runutannya persis dengan runutan perkara pelanggaran hukum pada umumnya: pengaduan, penetapan status, pemeriksaan, lalu penyidangan dan pemenjaraan.

Saut Situmorang, penyair yang berkedudukan di Jogja, diadukan oleh Fatin Hamama, atas tudingan melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik. Polisi kemudian menetapkan Saut, dan juga Iwan Syukri Munaf (diadukan dengan delik yang sama), sebagai tersangka. Keduanya kemudian dikirimi surat pemanggilan pemeriksaan, sebagai saksi (atas tersangka lain -Saut saksi bagi Iwan, dan Iwan saksi bagi Saut). Dua kali surat dikirimkan dan dua kali pula, baik Saut maupun Iwan tidak datang.

Kamis, 26 Maret 2015, pagi menjelang siang, tiga orang polisi dari Polres Jakarta Timur, datang ke Jogja untuk menjemput paksa Saut Situmorang.

Dengan kata lain, polisi menerapkan kacapandang yang sama. Betul bahwa tiap orang memiliki kedudukan sama dan setara dalam hukum. Tapi seyogianya, polisi dapat menukik lebih jauh, dan lebih dalam, kepada inti persoalan. Fatin melaporkan Saut dan Iwan setelah protes mereka, yang disampaikan lewat sosial media (Facebook dan Twitter), beranjak jadi sangat panas. Saut, lewat karakternya yang memang keras dan tidak pernah berbasa-basi, menuliskan (sekali lagi menuliskan, bukan mengucapkan) kata yang menurut Fatin tidak senonoh, dan telah menghina harkat dan martabatnya sebagai seorang perempuan.

Inti persoalan adalah penerbitan buku berjudul "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia". Saut memprotes buku tersebut. Bukan semata karena ada nama Denny JA di sana, melainkan juga lantaran "kekonyolan" menetapkan angka 33. Apa yang menjadi dasar pemikiran dari para penyeleksi, hingga memilih 33 nama dari sekian banyak sastrawan Indonesia. Kenapa tidak 50? Kenapa tidak 100?

Angka 33 ini memang jadi masalah. Sejumlah nama yang jelas-jelas sangat pantas masuk, tak terdapat dalam daftar. Seno Gumira Ajidarma, misalnya. Ratusan cerpen, ratusan novel, puluhan puisi, belasan novel. Beragam penghargaan dari dalam dan luar negeri, dan bukunya, "Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara", jadi perbincangan sampai sekarang. Lalu siapa pula penulis generasi milenium yang tak terpengaruh pada Seno?

Tidak ada pula Presiden Penyair Malioboro. Guru dari para penyair, Umbu Landu Paranggi. Tidak ada Hamsad Rangkuti, pecerpen spesialis pelukis kaum kecil. Tidak seorang pun sastrawan di negeri ini yang mampu melukiskan kemiskinan dan penderitaan sehebat Hamsad. Dan yang tak kalah mengejutkan, tidak ada nama Sitor Situmorang, sastrawan yang tak perlu lagi dipapar-paparkan siapa dirinya.

Maka begitulah, pada akhirnya, Saut sampai pada kesimpulan, bahwa ke 32 nama dalam daftar itu boleh siapa saja, sepanjang satu tempat tetap untuk Denny JA, penulis satu buku puisi yang oleh salah seorang anggota tim penyeleksi, ditabalkan sebagai pembaharu dalam sastra Indonesia. Saut menertawakan puisi-puisi itu. Tanpa tedeng aling-aling menyebutnya sebagai sampah belaka.

Kamis sore, Saut menurut. Ia ikut dengan ketiga polisi itu ke Jakarta. Ia didampingi Katrin Bandel, istrinya, juga sejumlah rekan penyair dan sastrawan Jogja. serta pengacaranya, Iwan Pangka. Dan di sosial media, melesat tanda pagar (#) SaveSaut. Sekali lagi, polisi jadi "musuh bersama".

Pertanyaannya, bisakah polisi menukik ke inti persoalan? Sayangnya tidak. Hukum kita, yang diwariskan oleh pemerintah kolonial, tak mengenal dalil seperti itu. Jika mengenal, tentunya, tidak ada orang-orang tua renta yang harus mendekam berpekan-pekan dalam bui, cuma gara- gara mengambil dan menyimpan dan menjual sesuatu yang berharga di bawah 10 ribu perak.Trbn/t

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.