Ketika Siantar (Tak) Lagi Sejuk
Oleh Jon Roi Tua Purba
“Dirgahayu Kota Pematangsiantar Ke-144. #SiantarKotaSejuk,” tulis saya pada 24 April 2015 lalu di akun facebook. Walau tak begitu banyak yang menyukai status yang saya tulisakan ini, namun ada salah satu komentar yang menarik setidaknya menurut penulis.
“Siantar sudah tak sejuk lagi bro.” Ini adalah komentar yang kemudian membuat penulis menuliskan artikel ini. Komentar ini datang dari teman yang tinggal dan besar di Siantar. Tentu ungkapan ini tidak muncul begitu saja. Setidaknya dari penilainyanya, atau barangkali pemantauan, atau apapun itu yang membuatnya menuliskan komentar itu.
Berangkat dari paparan diatas tentu saja akan banyak yang setuju dengan komentar itu. Kini Siantar memang tak lagi sejuk. Bangunan Rumah Toko (Ruko) dan perumahan sudah sangat menjamur di kota ini. Hal ini setidaknya sudah menguatkan komentar rekan penulis.
Kota Siantar seakan kehilangan pesonanya, yang sebelumnya memang di kenal dengan kota sejuk. Penulis teringat ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) di tahun 2001, sejuk itu masih terasa. Mencoba membandingkan di tahun 2015 ini memang suhu di kota Siantar terbilang semakin panas. Ya, bisa jadi ini adalah perubahan yang layak dicermati.
Siapa yang tak rindu dengan kesejukan kota Siantar. Namun, hal ini hanya akan menjadi mimpi ketika program pemerintah berlawanan dengan kebijakan yang pro lingkungan. Pembangunan ruko dan perumahan menjadi lebih penting ketimbang melihat masa depan kota ini. Setidaknya ini terbukti dengan menjamurnya ruko dan perumahan di wilayah kota Siantar.
Memang harus diakui Siantar terbilang banyak memoles dirinya dengan bangunan-bangunan yang megah. Pusat-pusat perbelanjaan modern pun semakin bertambah. Namun, apakah hanya ini yang menjadi indikator kemajuan suatu kota? Tentu tidak.
Siantar tak lagi sejuk karena semuanya itu. Perubahan iklim menjadi ekstrim, hal ini sangat terpengaruh dari pola pembangunan kota yang terletak di tengah Kabupaten Simalungun ini. Seperti yang penulis sudah sampaikan diatas, beberapa orang sudah mengakui bahwa iklim Siantar sekarang ini menjadi lebih panas. Ini bukan kabar gembira, bukan?!
Siantar sejuk! Inilah yang menjadi harapan warga Siantar. Sejuk yang nyata bukan hanya sebagai selogan. Perbaikan harus segera dilakukan, tidak membiarkan situasi ini semakin parah.
Lihat saja pengelolaan Pasar Horas yang seakan tak terurus. Becek, bau tak sedap, dan semrawut menjadi pemandangan yang biasa. Belum lagi ketika kita ke Terminal Parluasan, kubangan air yang sampai kedalam 50cm menjadi pemandangan yang lumrah. Tak kalah semrawutnya Pasar Parluasan, pasar tradisional ini seperti tak terurus dan tak teratur pula.
Hal diatas contoh-contoh konkrit yang bisa dilihat warga Siantar. Kacaunya tata kota adalah menjadi masalah yang harus diselesaikan. Rencana tata ruang kota ini harus dikaji ulang. Apakah Rencana sesuai dengan implementasi dari kebijakan pemerintah kota.
Pemerintah harus di dorong terus untuk mengembalikan dan menunjukan kepedulianya terhadap kota Siantar untuk warganya. Siantar harus berbenah dan bisa tetap menjadi kebanggaan warganya bahwa Siantar adalah kota sejuk sesungguhnya, bukan sejuk-sejukan.
Pembangunan ruko yang mengahasilkan keuntungan sesaat dari perijinan yang diberikan pemerintah kota, tentu tak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan. Yang menikmati? Ya para elitenya. Untuk itu perlu kajian yang mendalam sebelum memberikan ijin mendirikan bangunan.
Tata kota yang terncana dengan baik memikirkan jangka panjang harus di dorong secara terus-menerus. Gerakan masyarakat juga di butuhkan untuk terus menggerakan semangat kepedulian yang tinggi untuk Siantar yang sejuk.
Siantar harus kembali menjadi kota sejuk seperti yang pernah kita rasakan beberapa decade kebelakang. Gerakan Siantar yang sejuk harus terus digelorakan, sehingga kesejukan di hati warga Siantar juga hadir. Untuk mewujudkan ini tentu perlu sinergi antara program pemerintah dengan kebijakan yang pro lingkungan (baca:Kebijakan pro lingkungan). Misalnya memperhatikan ketersediaan ruang terbuka hijau.
Tentu saja hal ini juga perlu dukungan warga Siantar. Kerjasama pemerintah kota dengan warga akan lebih baik. Masyarakat juga harus menjadi pelaku kebijakan pro lingkungan, misalnya dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat. Hal ini terus dilakukan sembari pemerintah memperbaiki dirinya secara khusus dalam kebijakan tata kotanya.
Mari kita dukung Siantar Kota Sejuk! Seperti ungkapan dalam komentar teman yang di awal artikel ini adalah bentuk kritik yang akan membawa perubahan positif bagi Siantar. Tentu jika ditanggapi positif pula oleh para elite dan masyarakat. Siantar kota sejuk bukan hanya tinggal selogan semata. Mari kita wujudkan!
Penulis Mahasiswa Magister Administrasi Publik Fisipol UGM, tinggal di Yogyakarta.
@JonRoi
Tidak ada komentar