Header Ads

Pendidikan Bukan Pencitraan

Oleh : Ira Melia Purba

Apakah pendidikan kita selama ini dapat digolongkan  telah BERHASIL ?.

Ini suatu pertanyaan yang terkesan sinis, seolah-olah tak menghargai kerja keras  pemerintah dan masyarakat yang telah bersusah payah membangun dan mengembangkan pendidikan sesuai amanat konstitusi. Pertanyaan ini seharusnya tidak muncul seandainya negara kita ini berhasil menyelenggarakan pendidikan berdasarkan amanat konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Tampaknya negara mengalami kesulitan dalam memaknai kata-kata mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

Sehingga arah pendidikan di semua jenjang dan jalur menjadi tidak jelas dan belum dapat menjalankan yang dinamakan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tolak ukur keberhasilan pendidikan tidak serta-merta mencerdaskan kehidupan bangsa, padahal penganggaran pendidikan sangat ditentukan oleh tolak ukur ini. Pendidikan dasar dan menengah menggunakan tolak ukur antara lain angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM) serta ujian Nasional (UN) dan akreditasi sekolah. Sedangkan  pendidikan tinggi menggunakan tolak ukur APK, peningkatan akreditasi, publikasi ilmiah, peringkat internasional, dan jumlah anggaran. 
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, maupun kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah menerbitkan sejumlah standar pendidikan dan sejumlah peraturan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan di Negara ini, mulai dari  tingkat dasar,  menengah, maupun perguruan tinggi selalu di gaungkan dengan gencar supaya masyarakat dapat memahaminya. 

Perkataan mutu menjadi sedemikian penting bagi para pemangku kepentingan pendidikan sehingga seluruh daya dan upaya diarahkan ke mutu pendidikan itu sendiri. Persoalan yang mendasar adalah belum adanya pemahaman yang hakiki mengenai mutu pendidikan. Mutu pendidikan secara pragmatis diwujudkan dalam bentuk akreditasi sekolah, akreditasi perguruan tinggi, padahal defenisi mutu hakiki adalah jauh lebih dalam dan mendasar dibandingkan dengan akreditasi. Mutu pendidikan seringkali dikaitkan dengan hasil (UN) Ujian Nasional sekolah maupun peringkat universitas tingkat nasional dan internasional. 

Dengan pemahaman mutu pendidikan seperti itu, sekolah dan perguruan tinggi berlomba-lomba meraih peringkat lebih tinggi dalam akreditasi dan nilai tertinggi dalam UN. Upaya mencapai itu semuanya tidak mudah dan perlu dukungan finalsial yang besar, bahkan seluruh daya upaya dikerahkan untuk mencapai akreditasi dan peringkat yang tinggi. Yang menjadi pertanyaanya adalah, apakah akreditasi dan peringkat yang tinggi akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan pendidikan bangsa Indonesia ?.


Pengalaman menunjukkan bahwa akreditasi dan peringkat lembaga pendidikan lebih memberikan manfaat bagi lembaga itu sendiri ketimbang bagi masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama pendidikan. Dengan akreditasi dan peringkat yang tinggi, lembaga pendidikan tersebut dengan mudah merekrut calon peserta didik terbaik, merekrut guru dan dosen terbaik, memperoleh insentif pendanaan lebih tinggi, memperoleh pengakuan dari masyarakat dan lain-lain. Dengan demikian, lembaga pendidikan itu punya peluang mempertahankan status, bahkan mungkin dapat meningkatkannya. Apakah dengan tingginya peringkat dan akreditasi, tujuan pendidikan sesuai amanat konstitusi berhasil di capai ?.

PENCITRAAN PENDIDIKAN
Keberhasilan pendidikan atau manfaat pendidikan terwujud jika masyarakat terdidik berdaya mampu menyejahterakan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya. Keberdayaan masyarakat seyogianya jadi tolak ukur keberhasilan pendidikan dimana masyarakat Indonesia menjadi masyarakat mandiri madani sejahtera. Oleh karena itu, perlu pemahaman kembali tolak ukur pendidikan dengan mencermati tingkat keberdayaan masyarakat. Selama ini tolak ukurnya lebih bersifat pencitraan dimana lembaga pendidikan mencari akreditasi dan peringkat tinggi, sedangkan masyarakat umumnya mencari status sosial dengan ijazah.

Tata kelola pendidikan terjebak kedalam mekanisme administrative yang justru menghilang akibat pendidikan. Berbagai peraturan perundangan yang ada mengenai pendidikan di semua jalur dan jenjang telah menjadikan pendidikan kegiatan administratif yang birokratis, penuh pengaturan dalam setiap aspek, tak ada inovasi dan kreatifitas, dan tak ada kepercayaan terhadap guru dan dosen. 

Jika pola ini masih di pertahankan, pendidikan di Indonesia hanya akan memberikan pencitraan dan belum memenuhi amanat konstitusi. Pendidikan telah dikerdilkan maknanya kearah formalitas dimana capaian yang diapresiasi adalah capaian formalitas. Budaya pencitraan dan formalitas sudah demikian melekat di pemerintah dan di masyarakat sehingga indikator yang menunjukkan kemajuan pendidikan adalah semu.




Penulis Mahasiswi Universias HKBP Nommensen Pematangsiantar
Dapat di hubungi melalui E-mail : iramelia.purba@yahoo.com








Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.