Vonis Anas Dilipatgandakan, Pengacara Anggap Artidjo Arogan
LINTAS
PUBLIK - JAKARTA, Pengacara
mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Firman Wijaya, menganggap
putusan hakim Artidjo Alkostar melampaui kewenangannya sebagai hakim agung
dengan memperberat hukuman Anas menjadi 14 tahun penjara.
Menurut dia,
putusan Artidjo tidak mengedepankan asas keadilan, tetapi arogansi untuk
menghukum Anas.
"Saya
pikir putusan hakim Artidjo melampaui kewenangannya di bidang judex juris.
Jadi ada arogansi yudisial yang tampak dari putusan itu," ujar Firman di
Gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Artidjo Alkostar, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung |
Judex juris merupakan kewenangan Mahkamah Agung
untuk memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta
dari perkaranya
Firman
mengatakan, Artidjo hanya berwenang untuk menilai apakah penerapan hukuman
sebelumnya di tingkat pertama maupun tingkat banding oleh pengadilan tinggi
sudah benar atau tidak.
"Menurut
saya, sense of keadilan ada masalah karena posisi dia sebagai judex
juris yang menilai hukumnya saja. Bukan sekadar memberi hukuman, namun
sekadar mengoreksi proses putusan sebelumnya," kata Firman.
Firman
menilai, majelis hakim mengambil putusan tersebut dengan subyektif. Ia
mengatakan, hukuman Anas diperberat karena Artidjo terlalu pro dengan KPK.
"Saya
juga lihat secara politis terlalu pro kepada KPK. Jadi unfairness-nya di
situ pertimbangan-pertimbangan yuridis yang diajukan sama sekali tidak
dipertimbangkan," kata Firman.
Mahkamah
Agung memperberat hukuman terhadap Anas Urbaningrum setelah menolak kasasi yang
diajukannya. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam
di rumah tahanan selama 14 tahun.
Selain itu,
Anas juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 5 miliar subsider satu tahun dan
empat bulan kurungan. Anas juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp
57.592.330.580 kepada negara.
Dalam
pertimbangannya, MA menolak keberatan Anas yang menyatakan bahwa tindak pidana
asal dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih
dahulu.
Majelis
Agung mengacu pada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa tindak pidana asal
tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis pun
menilai, pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan
bahwa hak Anas untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut adalah
keliru.
Sebaliknya,
MA justru berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari
fakta, informasi, dan persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.
Editor :
tagor
Sumber :
kompas.com
Tidak ada komentar