Maraknya Mahar Politik
Pilkada secara serentak digelar 9 Desember mendatang di 269 wilayah provinsi, kabupaten, dan kota. Hajatan tersebut tentu membuat perpolitikan nasional menghangat. Partai politik (parpol) berlomba-lomba menyorongkan calon unggulan untuk meraih tampuk kepemimpinan eksekutif di daerah.
Sebelum dapat mendaftarkan calon pasangan kepala daerah, parpol tentu menyeleksi siapa yang dianggap layak untuk diajukan, dan tentu saja berpeluang memenangi pilkada. Pada tahap krusial inilah, kerawanan terjadi. Proses seleksi bakal calon pasangan kepala daerah oleh parpol, lazimnya dilakukan di “ruang tertutup”.
ilustrasi mahar Politik |
Seleksi menjadi domain elite pimpinan parpol, baik di daerah maupun di pusat. Masyarakat sebagai stakeholder utama pilkada, tak berhak campur tangan siapa yang akan diajukan dan bagaimana proses sese- orang bisa lolos diajukan oleh parpol dan gabungan parpol. Padahal, masyarakat yang kelak merasakan dampak dari kepemimpinan mereka yang diusung oleh parpol menjadi pasangan kepala daerah.
Masyarakat hanya memiliki hak untuk menentukan calon kepala daerah dari jalur independen. Namun, mengingat syarat yang terlalu berat. UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-undang (UU Pilkada) mensyaratkan dukungan antara 6,5% hingga 10% dari jumlah penduduk di suatu wilayah untuk dapat diajukan menjadi calon kepala daerah.
Syarat dukungan itu pun harus tersebar di lebih dari 50% dari jumlah kecamatan, kabupaten, atau kota di wilayah itu. Syarat itu membuat calon kepala daerah dari jalur independen sangat sedikit, yakni hanya 129 pasangan. Sedangkan yang diajukan parpol dan gabungan parpol, data sementara KPU hingga berakhirnya pendaftaran pada Selasa (28/7) mencapai 576 pasangan, atau lebih empat kali lipat dibanding calon independen.
Kenyataan itu mencerminkan parpol masih memegang peran penting bagi seseorang yang memiliki ambisi politik untuk dapat maju dalam pilkada. Kondisi inilah yang membuat kerawanan berupa praktik mahar politik tak bisa dihindari. Tak berlebihan jika pilkada serentak tahun ini di 269 wilayah merupakan masa panen raya bagi parpol.
Penegasan sejumlah pimpinan parpol bahwa partainya melarang praktik mahar politik dan menindak tegas oknum partai yang terlibat, boleh dikata sekadar janji politik yang jauh panggang dari api. Pada kenyataannya, praktik kotor tersebut masih terpelihara, karena telanjur membudaya. Hal itu terkonfirmasi dari testimoni beberapa kandidat yang sempat mendaftarkan diri ke parpol untuk ikut seleksi calon kepala daerah, yang terpaksa mundur karena tidak bersedia menyetor dana ke partai yang nilainya bisa miliaran rupiah.Parpol lazimnya beralasan hal tersebut sebagai biaya administrasi yang disetorkan ke kas partai sebagai pemasukan resmi. Namun, dalam kenyataannya oknum parpol kerap meminta lebih kepada kandidat.
Oknum tersebut tak hanya pengurus partai di tingkat pusat yang memiliki otoritas untuk mengesahkan pencalonan, tetapi juga pengurus di daerah dengan dalih merekalah yang kelak akan menggerakkan mesin partai di daerah saat kampanye pilkada. Kondisi tersebut tentu sebuah bencana politik. Sebab, kepala daerah yang kelak terpilih ternyata dihasilkan dari sebuah mekanisme manipulatif berupa politik uang.
Tak mengherankan jika saat menjabat kelak, kepala daerah akan berpikir dan berupaya mengembalikan investasi politik yang telah ditanamkannya sebagai modal awal maju di pilkada. Itulah mengapa saat ini banyak kepala daerah yang berurusan dengan KPK karena menyalahgunakan kewenangannya untuk merampok uang APBD dan APBN.
Praktik mahar politik yang masih tak terhindarkan tersebut telah merontokkan calon yang benar-benar memiliki kapabilitas dan integritas. Sebab, parpol umumnya lebih menekankan faktor akseptabilitas dan elektabilitas, yang dengan mudah dipupuk dengan kekuatan finansial.
Parpol memanfaatkan tingkat kecerdasan dan kedewasaan politik masyarakat pemilih di daerah, yang sebagian besar masih bisa dipengaruhi dengan pendekatan politik uang. Ironisnya, parpol pun tak segan mengeluarkan uang untuk menyingkirkan calon yang memiliki modal utama kapabilitas dan integritas, demi memuluskan jalan bagi calon yang diyakini bisa diajak berkompromi jika kelak terpilih sebagai kepala daerah.
Dari mana asal uang tersebut, tentu dari kandidat yang dikehendaki oleh parpol. Kenyataan-kenyataan inilah yang menjadi tantangan besar bagi demokrasi kita. Di satu sisi, parpol membutuhkan dana untuk membiayai operasional dan berbagai kebutuhan. Setoran dari kandidat kepala daerah menjelang pilkada serentak adalah ibarat tambang emas yang dengan mudah digali.
Menghapus praktik mahar politik tak mudah. Namun ada upaya yang bisa dilakukan untuk menguranginya, seperti biaya kampanye yang diminimalisasi melalui kampanye dan sosialisasi bersama oleh KPU. Selain itu, audit terhadap dana parpol harus benar-benar dilakukan secara objektif dan sanksi tegas bagi parpol yang melanggar. Di sisi lain, kandidat juga harus berani bersuara jika mendapati praktik tersebut. ***
Sumber : beritasatu.com
Tidak ada komentar