Atas Petunjuk Bapak Presiden, Harga Cabai Makin Pedas
SUNGGUH, di saat-saat begini, saya merindukan Harmoko. Tiga puluh tahun lalu, yang sepanjang bisa saya ingat menjadi saat-saat di mana saya mulai bisa menikmati acara-acara di televisi sebagai tontotan, nyaris saban akhir pekan saya mendapati pemandangan yang aneh.
Betapa tidak. Bukan drama, bukan musik, bukan film serial, bukan pula berita-berita dari seluruh penjuru dunia. Melainkan sekadar seorang laki-laki setengah tua, berwajah menjengkelkan dan tidak pula terlalu tampan, mengenakan baju safari dan berpeci, yang duduk bersilang tangan di meja dengan gestur tubuh statis.
Tapi begitulah. Saat laki-laki itu bicara, ibu saya menyimaknya dengan tingkat keseriusan yang sampai sekarang tidak bisa saya lupakan. Dan, aih, hampir saya lupa, ibu saya juga mencatatnya di atas selembar kertas kecil, yang esoknya akan ia bawa serta saat berbelanja ke pasar.
Laki-laki itu bernama Harmoko. Jabatannya Menteri Penerangan. Ia wartawan, pemilik koran, bekas Ketua PWI. Bahwa kemudian keberadaannya di kabinet tidak membuat pemerintah menghentikan kebiasaan membreidel koran, malah makin sering, saya kira itu persoalan lain.
Harmoko yang saya rindukan adalah Harmoko yang duduk statis di depan kamera televisi untuk membacakan pengumuman resmi pemerintah terkait harga-harga bahan kebutuhan pokok.
Tidak ada yang terlewatkan. Mulai dari beras sampai minyak goreng. Dari kol gepeng, tomat gondol, cabai keriting, dan lain sebagainya. Dan atas petunjuk Bapak Presiden, harga-harga itu, tidak berbeda di semua pasar (tradisional) di seluruh penjuru Indonesia. Siapapun yang ketahuan menjual di luar ketentuan itu, siap-siaplah dibawa ke markas koramil.
Dan para pedagang yang (coba-coba berbuat) curang itu, akan sangat beruntung, dan patut bersyukur, apabila bisa keluar dalam kondisi yang sama persis ketika itu masuk. Sebab perbuatannya setara kedudukannya dengan upaya perongrongan terhadap wibawa pemerintah dan menghambat pembangunan. Anda tahu, saat itu, pembangunan merupakan kata yang sakral dan sakti mandraguna.
Orde baru banyak melakukan penyeragaman. Beberapa sangat tak bisa diterima. Bukan semata karena hak-hak berpendapat, berekspresi, berkreasi, dan menghina akal sehat, namun lebih jauh juga bertujuan untuk melanggengkan jalan bagi Soeharto dan kroni-kroninya untuk berkuasa dan menjadi semakin kaya. Tapi beberapa, dengan cara pandang dan batas toleransi tertentu, justru disukai. Salah satunya pengumuman harga bahan kebutuhan pokok tadi.
Memang, jika dipandang secara menyeluruh, harga-harga bahan itu tidak sama persis dari Sabang sampai Merauke. Ada perbedaan. Akan tetapi perbedaan yang terjadi tak sampai signifikan. Perbedaan hanya menyangkut ongkos tambahan barang seperak dua perak untuk biaya produksi atau transportasi.
Berbanding terbalik dengan sekarang. Tidak perlu repot-repot memperbandingkan antara harga di pasar di Sabang dengan di Marauke, sebab bahkan harga antara satu pasar dengan pasar lain yang terletak di satu daerah, entah itu kecamatan, kabupaten, kota, atau provinsi, berbeda-beda dengan margin yang kadangkala mengguris hati.
Terlebih-lebih jika kita bandingkan pula dengan harga di supermarket. Harga tomat, wortel, dan kentang, misalnya. Di pasar-pasar tradisional, harga ketiganya anjlok. Bawa duit Rp 10 ribu, bisa bawa pulang satu kantong plastik penuh. Harga beli pedagang dari penyalur merosot. Lalu berapa pula harga yang dibeli penyalur dari petani? Hampir-hampir tak ada nilainya.
Tapi di saat yang sama, di supermarket-supermarket, baik tomat, wortel, maupun bawang, dijual dengan harga "normal". Apakah yang menyebabkan perbedaan ini? Apakah karena ditempatkan di atas rak dan dijual di ruangan yang sejuk?
Mungkin tidak. Mungkin ada sebab lain, yang oleh orang-orang yang lebih kompeten bicara soal ekonomi, disebut sebagai the invisible hand. Tangan-tangan yang tak tampak.
Saya memang merindukan Pak Harmoko. Saya merindukan saat-saat ibu saya duduk di depan televisi kami yang hitam-putih dan berkaki, menanti Harmoko membacakan pengumuman harga bahan pokok yang kemudian ia catat di atas secarik kertas, lalu esoknya pergi ke pasar dengan membawa uang yang pas untuk membeli apa yang ia ingin suguhkan untuk kami. Ayah saya pegawai negeri, dan di masa itu, hidup dengan status sebagai pegawai negeri adalah hidup yang prihatin, dan kami berhasil melaluinya.
Sekarang tak ada lagi kepastian. Orang-orang pergi ke pasar hanya untuk mendapatkan keterkejutan.
Twitter: @aguskhaidir
Editor : tagor
Sumber : Tribun medan.com
Sumber : Tribun medan.com
Tidak ada komentar