Header Ads

Mengubah UU Pilkada

Oleh: Amzulian Rifai
Ada beberapa kejadian tidak biasa menjelang Pilkada 2015. Terjadi calon tunggal dengan kemungkinan penundaan pilkada dan ada pula bakal calon yang gugur pencalonannya karena tidak lulus tes kesehatan. Kejadian-kejadian ini menjadi sebagian alasan perlunya mengubah UU terkait pilkada.
Hukum itu selalu tertinggal dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat (het recht hink achter de feiten aan). Itu juga yang terjadi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk di antaranya UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah (pilkada).
Selama ini, beberapa aturan dalam UU Pilkada mungkin bertujuan untuk membatasi jumlah bakal calon kepala daerah. Caranya antara lain dengan memperketat persyaratan bagi parpol pengusung. Hanya parpol dengan perolehan paling sedikit 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah bersangkutan yang dapat mengajukan calon kepala daerah.
Pembatasan calon itu masih dibentengi melalui jalur calon perseorangan yang ketat. Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri jika memenuhi syarat dukungan antara 6,5 persen dan 3 persen bergantung jumlah penduduk yang harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan/kabupaten/kota dimaksud.
Kondisi ini masih ditambah lagi dengan adanya perilaku bakal calon yang memborong partai politik sebagai partai pendukungnya. Bakal calon yang memiliki dana besar sangat mungkin melakukan tindakan sapu bersih parpol. Belum lagi adanya kandidat yang dinilai terlalu kuat untuk dilawan. Itu semua berpotensi melahirkan calon kepala daerah tunggal.
UU belum mengantisipasi kemungkinan terjadinya tindakan kandidat yang memborong partai yang berpotensi melahirkan calon tunggal. Demikian juga bila ada di antara bakal calon yang gugur tes kesehatan. Persoalan- persoalan ini yang antara lain dapat jadi alasan mengapa perlunya dilakukan revisi terhadap UU tentang Pilkada.
Antisipasi calon tunggal
UU tak mengantisipasi jika dalam suatu pilkada terjadi calon tunggal. Sesuai rekomendasi Badan Pengawas Pemilu, KPU untuk ketiga kalinya memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah, 9-11 Agustus 2015.
Dalam Peraturan KPU No 12/2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah disebutkan minimal dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hingga masa pendaftaran diperpanjang berakhir, masih ada daerah yang menyisakan pasangan calon tunggal untuk pilkada serentak Desember nanti sehingga pilkada di daerah-daerah tersebut terancam ditunda dua tahun ke depan.
Jika mengacu UU No 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU, pencalonan telah diatur secara ketat. Dalam Pasal 40 ditentukan persentase jumlah parpol atau gabungan parpol yang dapat mengajukan calon.

Revisi UU tentang Pilkada ke depan sebaiknya memperingankan syarat bagi parpol yang akan mengajukan calon kepala daerah. Adanya keharusan parpol atau gabungan parpol memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan, bagi sebagian besar parpol, ketentuan ini sangat berat dipenuhi. Akibatnya, kandidat yang memenuhi syarat sangat terbatas dan rentan memunculkan calon kepala daerah tunggal.
Jika mungkin, persyaratan perolehan suara minimal 20 persen itu dihilangkan saja. Idealnya semua partai yang memiliki kursi di parlemen berhak mengusulkan satu calon. Parpol akan tetap selektif dalam mengajukan calonnya karena mereka tak juga ingin ada di pihak yang kalah.
Selain itu, ke depan UU harus pula memperlonggar persyaratan bagi calon perseorangan.Jika mengacu UU No 1/2015, persyaratan calon perseorangan tergolong berat. Bakal calon harus memiliki dukungan awal antara 6,5 persen dan 3 persen bergantung jumlah penduduk. Dukungan itu pun harus dibuktikan dengan melampirkan identitas diri.
Kurang sehat demokrasi kita jika dalam suatu pilkada hanya diikuti kandidat tunggal. Apalagi pemilihan tetap dilakukan melawan kotak atau kolom kosong pada kertas suara. Tetap saja tak baik bagi demokrasi yang hakikatnya ingin memberikan sebanyak-banyaknya alternatif pilihan bagi rakyat.
Apalagi jika kemunculan calon tunggal itu akibat sistem yang semula dibuat memang bertujuan membatasi jumlah kandidat. Jika UU mempermudah parpol mencalonkan kader dan kandidat perseorangan diperlonggar, kecil kemungkinan terjadinya calon tunggal.
Gagal tes kesehatan
UU tentang Pilkada juga mensyaratkan calon harus sosok yang mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter. Ini artinya ada pemeriksaan yang komprehensif oleh tim dokter yang kompeten.
Atas dasar hasil pemeriksaan kesehatan inilah, kemudian KPU menyatakan seorang kandidat lolos atau tidak sebagai calon. Selama ini jarang terjadi seorang bakal calon tak lulus tes kesehatan. Malah sebagian menilai bahwa pemeriksaan kesehatan itu hanya bersifat formalitas.
Di Provinsi Sumatera Selatan ada lima bakal calon kepala daerah dalam Pilkada 2015 yang dinyatakan tidak sehat oleh tim dokter. Atas dasar itu, KPU memutuskan kelima bakal calon itu gugur dan tak dapat ditetapkan sebagai calon. Partai harus mencari calon pengganti dengan berbagai kendala dan dinamikanya. KPU menuai gugatan akibat kekecewaan kandidat yang merasa dirugikan.
Ke depan, UU tentang Pilkada juga harus mengantisipasi agar hasil tes kesehatan tidak memunculkan masalah baru ketika bakal calon dinyatakan tidak lulus. Alternatifnya, tahapan tes kesehatan dilakukan saat seleksi oleh internal partai.Sangat disayangkan apabila proses panjang yang telah dilalui kandidat menjadi sia-sia karena belakangan dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sebelum UU tentang Pilkada direvisi, mungkin saja pemerintah mengambil langkah cepat untuk mengatasi kejadian yang ada, termasuk soal calon tunggal. Tetap terbuka bagi penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) jika terpenuhi unsur mendesaknya. Namun, yang pasti, harus ada solusi komprehensif akibat ketertinggalan aturan dengan perkembangan dan realitas yang ada dalam masyarakat.
Bagaimanapun, UU akan selalu tertinggal dalam masyarakat yang dinamis. Apalagi dinamika pilkada di Indonesia tergolong luar biasa, yang menjelma dalam beragam aktivitas yang sering kali sulit diprediksi. Memang hukum itu tidak dibuat secara tiba-tiba, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Itu pula sebabnya mengapa UU tentang Pilkada perlu diubah.

Amzulian Rifai
Guru Besar Ketatanegaraan dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya


Editor     : tagor
Sumber  : kompas.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.