Header Ads

Rupiah 14 Ribu, Jokowi, dan Bos Facebook yang Merugi

MAKA begitulah, rupiah hari ini terjerembab melewati angka 14 ribu per 1 dolar Amerika. Angka yang sungguh-sungguh memprihatinkan, yang dengan segera melayangkan ingatan pada krisis 1997. Krisis yang pada akhirnya membuat Soeharto tak berdaya dan lengser dari kursi kekuasaan.
Tentu, ingatan ini tak keliru. Angka 14 ribu potensial menyeret negeri terkasih ini ke jurang krisis. Angka 14 ribu juga dapat dijadikan alasan untuk mendepak Joko Widodo dari Istana Negara.
Hanya 'dapat'? Iya, lantaran sesungguhnya, angka 14 ribu ini adalah salah satu dari representasi ketidakberdayaan sebagian besar negara di dunia dalam menghadapi hantaman badai yang berembus dari Amerika Serikat dan China.

Lha, apa hubungan Amerika dan China dengan keterpurukan rupiah? Bukankah ini berarti pemerintah kita memang tak berdaya dan Jokowi tidak becus bekerja?
Jika ingin disimpulkan secara gampangan, memang sulit untuk tidak mengaminkan. Rupiah sudah 14 ribu per 1 dolar,  Jokowi Jasih saja cengengesan. Apa gunanya tim ekonomi di Kabinet Kerja dirombak? Apakah Darmin Nasution tak cukup cakap?
Persoalannya, situasi ini tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Rupiah 14 ribu per 1 dolar Amerika bukan semata jadi persoalan Indonesia. Mari perluas sisi pandang dan lihatlah betapa nyaris seluruh negara mengalami kejatuhan ekonomi.
Kenapa? Guru besar Ilmu Manajemen Ekonomi UI, Rheinald Kasali, dalam "kuliah" yang disampaikannya di Twitter, memaparkan ihwal kenapa rupiah (dan mata-mata uang lain) bisa sedemikian loyo terhadap dolar. Menurutnya, hal ini tak lepas dari kebijakan jangka menengah The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat, di tahun 2009, yakni Quantitative Easing.
Amerika yang saat itu dilanda krisis ekonomi parah memutuskan untuk melakukan kebijakan non-konvensional ini. Mereka menarik obligasi, dan di saat hampir bersamaan, mencetak uang sebanyak 4.5 triliun dolar.

Dolar yang sangat-sangat banyak ini kemudian disebar ke Emerging Market Ekonomi (EME) Countries, yaitu negara-negara dengan tingkat ekonomi (pendapatan per kapita) rendah menuju ke level menengah. Termasuk di dalamnya, Indonesia.
Dengan limpahan dolar yang banyak, nilai tukar rupiah terhadap dolar pada masa itu membaik. Terjaga di angka 9 ribuan. Namun kondisi yang terkesan membaik ini hanya bertahan tiga tahun. Sebab mulai akhir 2012 sampai 2014, secara bertahap, dolar-dolar tersebut ditarik kembali.
Semestinya, rencana jangka menengah ini sudah hampir mencapai tujuannya. Amerika selamat, negara-negara EME juga selamat. Setidak-tidaknya tidak amburadul. Namun kemudian terjadi situasi yang tidak disangka-sangka. Perekonomian China bergolak.
Stocks Market (pasar saham) di Amerika Serikat (Dow Jones), juga di negara-negara pemain utama ekonomi Eropa, sejak beberapa pekan terakhir terus-menerus mengalami ketidakstabilan. Pemain-pemain besar melakukan aksi sell off (lepas saham) sebagai reaksi atas kebijakan devaluasi yang diambil Pemerintah China. Besaran nilai mata uang China, Yuan, sekarang tercatat 6,4 per 1 Dolar Amerika Serikat.
China sendiri terpaksa melakukan devaluasi untuk menyelamatkan diri dari kehancuran yang lebih parah. Pertumbuhan industri manufaktur mereka mencatat angka terendah dalam 77 bulan terakhir.
Amerika merana. Eropa kembang kempis. Guardian menuliskanheadline di halaman ekonomi mereka, European Markets Slide After China's Black Monday.

Kesemrawutan di Dow Jones, FTSE, Dax, Nikkei, bahkan membuat para multimilyuner dunia kehilangan uang mereka. Jumlahnya tak tanggung-tanggung. Mark Zuckerberg, misalnya. DilansirBloomberg, saat Dow Jones ditutup jatuh 500 poin, kemarin, bosFacebook ini kehilangan uang sebesar 1,9 miliar atau kurang lebih Rp 27 triliun. Jumlah yang hampir sama ditanggungkan bosMicrosoft, Bill Gates.

Di Indonesia, perkembangan terakhir ini direspon pasar dengan penarikan dana di sejumlah pos penting. Data dilansir Bursa Efek Indonesia (BEI), selama 13 hari secara beruntun, para pemodal asing menarik dana dari pasar modal. Total mencapai Rp 8,58 triliun. Jauh di bawah angka "kerugian" Zuckerberg, memang. Namun tak pelak, tetap saja mengguris hati.
Terus terang, saya tidak pernah merasa nyaman menuliskan soal angka-angka. Terlebih-lebih jika angka itu menyangkut Indonesia dan berimbas pula pada kelangsungan kepul asap di dapur saya.
Namun kali ini saya memang harus menuliskannya. Bukan untuk menuntaskan rasa tidak nyaman. Melainkan sekadar memberi gambaran, bahaya macam apa yang sebenarnya sedang kita hadapi. Betapa semua kekacauan ini memang tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara mencibir dan mengejek-ejek Jokowi. Sungguh, hal itu sama sekali tak bermanfaat. Lebih baik berikan ide dan masukan. Atau dukungan. Atau setidak-tidaknya tak malah membuat situasi menjadi kian runyam.
Kita mesti menghadapinya bersama-sama. Konflik internal, baik di kabinet, parlemen, maupun di tengah masyarakat, hanya akan menyeret kita pada kondisi yang lebih buruk.
twitter: @aguskhaidir

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.