Hari Santri, Ratusan Santri di Klaten Gelar Upacara Bendera
LINTAS PUBLIK - KLATEN- Berada dipelosok dan jauh dari keramaian kota, warga dan para santri di Desa Troso di Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah tak mau ketinggalan ikut merayakan penetapan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015.
Peringatan Hari Santri di Pondok Pesantren Al Muttaqien dirayakan dengan upacara bendera dan pembacaan ikrar santri serta penampilan atraksi seni bela diri. “Dengan ditetapkannya Hari Santri, kami merasa mendapat perhatian yang setara dari pemerintah, sama dengan perhatian yang diberikan pada para pelajar di sekolah umum,” kata Fatkhiyana Zulfa, 15 tahun, salah satu santri di Pondok Pesantren Al Muttaqien.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Yayasan Al Muttaqien Pancasila Sakti, Choiri Saifudin Zuhri. “(Almarhum) Mbah Liem tidak pernah membeda-bedakan santri dan abangan,” kata Saifudin. Mbah Liem, kata dia, sengaja membangun pondok pesantren tepat di tengah kaum abangan. “Tujuan beliau menjadi penengah dari kalangan santri yang hanya memikirkan akhirat di sisi kanan dan kalangan abangan yang hanya mengedepankan logika di sisi kiri,” kata Saifudin.
Sebelum upacara, ratusan santri berpakaian serba putih berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit beralas beton di permukiman yang dikepung sawah. Di barisan terdepan, enam santri perempuan membentangkan spanduk besar bertuliskan Kirab Hari Santri Nasional. Diiringi permainan drum band dan rebana, ratusan santri di belakangnya melantunkan lagu-lagu berbahasa Arab yang mengagungkan nama Tuhan dan Nabi Muhammad dengan penuh semangat.
Meski Hari Santri yang ditetapkan Presiden Joko Widodo masih menjadi kontroversi, sebagian warga Desa Troso seolah tidak peduli. Sembari menggandeng atau menggendong anak-anaknya, sejumlah warga turut bergabung dalam kirab sederhana yang berujung pangkal di Pondok Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti.
Peringatan Hari Santri di Pondok Pesantren Al Muttaqien dirayakan dengan upacara bendera dan pembacaan ikrar santri serta penampilan atraksi seni bela diri. “Dengan ditetapkannya Hari Santri, kami merasa mendapat perhatian yang setara dari pemerintah, sama dengan perhatian yang diberikan pada para pelajar di sekolah umum,” kata Fatkhiyana Zulfa, 15 tahun, salah satu santri di Pondok Pesantren Al Muttaqien.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Yayasan Al Muttaqien Pancasila Sakti, Choiri Saifudin Zuhri. “(Almarhum) Mbah Liem tidak pernah membeda-bedakan santri dan abangan,” kata Saifudin. Mbah Liem, kata dia, sengaja membangun pondok pesantren tepat di tengah kaum abangan. “Tujuan beliau menjadi penengah dari kalangan santri yang hanya memikirkan akhirat di sisi kanan dan kalangan abangan yang hanya mengedepankan logika di sisi kiri,” kata Saifudin.
Sebelum upacara, ratusan santri berpakaian serba putih berjalan kaki menyusuri gang-gang sempit beralas beton di permukiman yang dikepung sawah. Di barisan terdepan, enam santri perempuan membentangkan spanduk besar bertuliskan Kirab Hari Santri Nasional. Diiringi permainan drum band dan rebana, ratusan santri di belakangnya melantunkan lagu-lagu berbahasa Arab yang mengagungkan nama Tuhan dan Nabi Muhammad dengan penuh semangat.
Meski Hari Santri yang ditetapkan Presiden Joko Widodo masih menjadi kontroversi, sebagian warga Desa Troso seolah tidak peduli. Sembari menggandeng atau menggendong anak-anaknya, sejumlah warga turut bergabung dalam kirab sederhana yang berujung pangkal di Pondok Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti.
Setelah 21 tahun berlalu, Saifudin mengatakan, pondok peninggalan Mbah Liem kini tidak hanya dipadati para santri dari dua wilayah yang semula berseberangan paham tersebut. “Saat ini santri kami dari Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) dan Madrasah Aliyah (setingkat SMA) mencapai 450 orang dari 11 provinsi di Indonesia,” kata Saifudin.
Editor : tagor
Sumber : tempo
Editor : tagor
Sumber : tempo
Tidak ada komentar