Header Ads

Mengatasi Disparitas Rumah Sakit, Segera Bentuk Pengawas Rumah Sakit

LINTAS PUBLIK-SIANTAR, Dalam rangka melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Sakit, Pemerintah Daerah perlu melibatkan organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyarakatan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing untuk membentuk Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS).

Kebijakan ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 44/2009 tentang Rumah Sakit serta Peraturan Pemerintah Nomor 49/2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 17/ 2014 tentang Keanggotaan, Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia.

Kepala Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Pematangsiantar Rasinta Ria Ginting,M.Si, Kadis Kesehatan menemui  Penjabat Walikota Drs.Jumsadi Damanik,SH,M.Hum didampingi Plt.Kabag Humas Jalatua Hasugian,
Kepala Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Pematangsiantar Rasinta Ria Ginting,M.Si, Kadis Kesehatan menemui  Penjabat Walikota Drs.Jumsadi Damanik,SH,M.Hum didampingi Plt.Kabag Humas Jalatua Hasugian,

Demikian mengemuka dalam pertemuan antara Kepala Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Pematangsiantar Rasinta Ria Ginting,M.Si, Kadis Kesehatan dengan Penjabat Walikota Drs.Jumsadi Damanik,SH,M.Hum didampingi Plt.Kabag Humas Jalatua Hasugian, Senin sore (11/1/2016) di Rumah Dinas Walikota Jalan MH Sitorus.

Keanggotaan BPRS di tingkat Kabupaten/Kota bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada di tingkat provinsi, maksimal 5 orang yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat. Melalui BPRS inilah nantinya masyarakat yang merasa dirugikan pihak rumah sakit memiliki wadah untuk mengadu. BPRS juga dapat melakukan klarifikasi mengenai pengaduan masyarakat dalam upaya penyelesaian sengketa, termasuk mengatur bagaimana pengaturan sistem kerja para dokter yang selama ini banyak dikeluhkan pasien. Sebab seorang dokter boleh berpraktek di beberapa tempat.

Dalam pertemuan itu, terungkap bahwa selama ini seolah-olah ada disparitas atau kesenjangan yang terjadi akibat sistem rujukan berjenjang yang diterapkan pemerintah provinsi. Akibatnya, banyak pasien yang enggan berobat ke rumah sakit tipe B yang menjadi rujukan regional, yakni Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Djasamen Saragih padahal fasilitas di sana sangat memadai.

“Uniknya, pasien emergency pun memilih rumah sakit lain, karena memang yang namanya gawat darurat tak harus mengikuti sistem rujukan berjenjang,”kata Kadis Kesehatan.

Justru itulah, menurut Pj Walikota, perlunya segera dibentuk BPRS sehingga disparitas atau kesenjangan antara sesama rumah sakit tipe C maupun dengan tipe B, yang selama ini kerap jadi persoalan.

“Harus ada sebuah lembaga independen semacam wasit yang bisa menengahi dan memberikan solusi sehingga tidak ada kesan rumah sakit saling serobot akibat adanya pihak-pihak atau dokter yang bermain di belakangnya,”ujarnya.

Diharapkan, dengan terbentuknya BPRS yang independen nantinya, berbagai persoalan atau sengketa medis antara apasien dengan pihak rumah sakit bisa diberikan solusinya. 


Penulis  : franki
Editor    : tagor

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.