Sang Induk Dibunuh, Bayi Orangutan Menangis
LINTAS PUBLIK - PALANGKARAYA, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah dan Yayasan Borneo Orangutan Survival Foundation menyita satu orangutan dari tangan warga Desa Bereng Rambang, Kecamatan Kahayan Tengah, Kabupaten Pulau Pisau. Orangutan berkelamin betina ini diperkirakan rumur 4 hingga 5 bulan.
“Orangutan itu diletakkan begitu saja di kardus bekas makanan saat diserahkan,” kata Monterado Friedman, perwakilan Komunikasi BOSF Nyaru Menteng di Palangkaraya, Sabtu (4/6/2016).
Tim gabungan BKSDA dan BOSF mendatangi desa Bereng Rambang di awal Juni 2016. Tujuan mereka mengambil orangutan yang dititipkan warga di rumah sang kepala desa.
Warga Bereng Rambang kepada Friedman menuturkan, pertengahan Mei 2016 lalu, mereka menemukan orangutan itu sendirian di bekas hutan gambut yang terbakar hebat pada 2015, tepat di belakang desa mereka. Bayi orangutan yang tak lebih besar dari betis orang dewasa itu kemudian dibawa ke rumah kepala desa dan dititipkan di sana.
Warga dan kepala desa tak tahu harus melakukan apa pada bayi orangutan itu. Dua minggu kemudian, sang kades melaporkannya ke BOSF. Saat didatangi, bayi orangutan itu dalam kondisi lemah. Tim menamai si bayi orangutan itu Mema dan langsung membawanya ke Nyaru Menteng.
Pemeriksaan awal di Nyaru Menteng, dokter hewan menemukan sejumlah luka yang sudah kering di beberapa bagian tubuhnya. Pada beberapa luka yang sudah kering itu didapati benda padat yang bersarang di dalamnya, seperti di lengan kanan, selangkang kiri dan pinggul.
“Diperkirakan logam, bukan kayu. Dari pengalaman, biasanya peluru senapan angin. Kalau di bawah kulit dan sudah kering, biasanya sudah tidak terasa,” kata Friedman.
“Kami akan memulai memeriksa dengan X-ray minggu depan,” katanya.
Bereng Rambang adalah satu dari 14 desa di Kecamatan Kahayan Tengah. Penduduk di sana kurang dari 600 orang berdasar data BPS 2014. Kondisi terkini, Bereng Rambang dikepung hutan yang pernah terbakar, kebun plasma, dan dua kebun perusahaan sawit.
Kayahan Tengah merupakan satu dari delapan kecamatan di Pulau Pisau. Kecamatan ini, kata Friedman, menjadi wilayah dengan jumlah pengaduan terbanyak terkait konflik manusia dengan orangutan pasca-kebakaran hutan 2015. Lebih dari 20 pengaduan masuk ke BOSF dalam tiga bulan belakangan ini, termasuk di antaranya orangutan memakan sawit muda.
“Hari ini saja ada empat keluhan yang masuk dan kami berencana akan cek lokasi,” kata Friedman.
Seiring dengan banyak pengaduan, BKSDA dan BOSF menyelamatkan 10 orangutan sejak 1 Februari 2016. Lima orangutan dewasa di antaranya dipindahkan ke hutan yang lebih aman dari manusia.
Pertemuan maupun konflik manusia dan orangutan bisa jadi terus meningkat di daerah Kahayan Tengah di hari depan.
Friedman mengungkapkan, BOSF bersama sejumlah peneliti pernah meneliti kepadatan populasi orangutan di Kahayan Tengah pada tahun 2009. Hasilnya, tingkat kepadatan populasi satwa ini adalah 5 sarang orangutan dalam radius 1 kilometer.
Kini, kondisinya telah berubah. Sarang dan hutan itu berubah jadi lautan arang karena terbakar, perkebunan sawit dan plasma masyarakat.
Induk dibunuh
Tim BKSDA dan BOSF meragukan cerita warga bahwa Mema, si bayi orangutan, ditemukan sendirian berada di tepi bekas hutan terbakar. Temuan Mema justru memunculkan dugaan bahwa sang induk telah mati terbunuh. Dugaan itu muncul berdasarkan kondisi Mema.
Friedman mengatakan, induk orangutan tidak akan melepaskan bayinya dalam kondisi apapun. Sang anak juga serupa. Ia akan berpegangan erat ataupun mencengkeram erat rambut sang induk.
“Karenanya kami perkirakan induknya terbunuh,” kata Friedman.
Perubahan kawasan sekeliling Bereng Rambang yang dulunya hutan belantara menjadi kebun sawit perusahaan dan plasma masyarakat, menguatkan dugaan ini. Besar kemungkinan, orangutan masuk ke kebun sawit dan menjadi sasaran empuk kemarahan warga.
Friedman menunjuk pada bekas luka yang diderita Mema. Luka bekas tembakan diyakini sebagai upaya sengaja.
Selain itu, Mema juga terus menangis saat berada di ruang perawatan BOSF. Dari banyak pengalaman yang telah dilalui BOSF, itu tanda bayi orangutan sudah direnggut paksa dari induknya yang sudah mati.
“Menangis itu adalah trauma bagi bayi orangutan,” kata Friedman.
“Karenanya kami berharap kejadian terbakarnya hutan tahun lalu tidak terulang lagi, sehingga orangutan dapat hidup aman di habitat aslinya,” kata Friedman.
Editor : tagor
Sumber : kompas
“Orangutan itu diletakkan begitu saja di kardus bekas makanan saat diserahkan,” kata Monterado Friedman, perwakilan Komunikasi BOSF Nyaru Menteng di Palangkaraya, Sabtu (4/6/2016).
Dokumentasi BOSF. Mema, bayi orangutan ini, diserahkan warga Desa Bereng Rambang di Kabupaten Pulau Pisau. Warga menempatkan Mema dalam kardus sebelum diserahkan. |
Warga Bereng Rambang kepada Friedman menuturkan, pertengahan Mei 2016 lalu, mereka menemukan orangutan itu sendirian di bekas hutan gambut yang terbakar hebat pada 2015, tepat di belakang desa mereka. Bayi orangutan yang tak lebih besar dari betis orang dewasa itu kemudian dibawa ke rumah kepala desa dan dititipkan di sana.
Warga dan kepala desa tak tahu harus melakukan apa pada bayi orangutan itu. Dua minggu kemudian, sang kades melaporkannya ke BOSF. Saat didatangi, bayi orangutan itu dalam kondisi lemah. Tim menamai si bayi orangutan itu Mema dan langsung membawanya ke Nyaru Menteng.
Pemeriksaan awal di Nyaru Menteng, dokter hewan menemukan sejumlah luka yang sudah kering di beberapa bagian tubuhnya. Pada beberapa luka yang sudah kering itu didapati benda padat yang bersarang di dalamnya, seperti di lengan kanan, selangkang kiri dan pinggul.
“Diperkirakan logam, bukan kayu. Dari pengalaman, biasanya peluru senapan angin. Kalau di bawah kulit dan sudah kering, biasanya sudah tidak terasa,” kata Friedman.
“Kami akan memulai memeriksa dengan X-ray minggu depan,” katanya.
Bereng Rambang adalah satu dari 14 desa di Kecamatan Kahayan Tengah. Penduduk di sana kurang dari 600 orang berdasar data BPS 2014. Kondisi terkini, Bereng Rambang dikepung hutan yang pernah terbakar, kebun plasma, dan dua kebun perusahaan sawit.
Kayahan Tengah merupakan satu dari delapan kecamatan di Pulau Pisau. Kecamatan ini, kata Friedman, menjadi wilayah dengan jumlah pengaduan terbanyak terkait konflik manusia dengan orangutan pasca-kebakaran hutan 2015. Lebih dari 20 pengaduan masuk ke BOSF dalam tiga bulan belakangan ini, termasuk di antaranya orangutan memakan sawit muda.
“Hari ini saja ada empat keluhan yang masuk dan kami berencana akan cek lokasi,” kata Friedman.
Seiring dengan banyak pengaduan, BKSDA dan BOSF menyelamatkan 10 orangutan sejak 1 Februari 2016. Lima orangutan dewasa di antaranya dipindahkan ke hutan yang lebih aman dari manusia.
Pertemuan maupun konflik manusia dan orangutan bisa jadi terus meningkat di daerah Kahayan Tengah di hari depan.
Friedman mengungkapkan, BOSF bersama sejumlah peneliti pernah meneliti kepadatan populasi orangutan di Kahayan Tengah pada tahun 2009. Hasilnya, tingkat kepadatan populasi satwa ini adalah 5 sarang orangutan dalam radius 1 kilometer.
Kini, kondisinya telah berubah. Sarang dan hutan itu berubah jadi lautan arang karena terbakar, perkebunan sawit dan plasma masyarakat.
Induk dibunuh
Tim BKSDA dan BOSF meragukan cerita warga bahwa Mema, si bayi orangutan, ditemukan sendirian berada di tepi bekas hutan terbakar. Temuan Mema justru memunculkan dugaan bahwa sang induk telah mati terbunuh. Dugaan itu muncul berdasarkan kondisi Mema.
Friedman mengatakan, induk orangutan tidak akan melepaskan bayinya dalam kondisi apapun. Sang anak juga serupa. Ia akan berpegangan erat ataupun mencengkeram erat rambut sang induk.
“Karenanya kami perkirakan induknya terbunuh,” kata Friedman.
Perubahan kawasan sekeliling Bereng Rambang yang dulunya hutan belantara menjadi kebun sawit perusahaan dan plasma masyarakat, menguatkan dugaan ini. Besar kemungkinan, orangutan masuk ke kebun sawit dan menjadi sasaran empuk kemarahan warga.
Friedman menunjuk pada bekas luka yang diderita Mema. Luka bekas tembakan diyakini sebagai upaya sengaja.
Selain itu, Mema juga terus menangis saat berada di ruang perawatan BOSF. Dari banyak pengalaman yang telah dilalui BOSF, itu tanda bayi orangutan sudah direnggut paksa dari induknya yang sudah mati.
“Menangis itu adalah trauma bagi bayi orangutan,” kata Friedman.
“Karenanya kami berharap kejadian terbakarnya hutan tahun lalu tidak terulang lagi, sehingga orangutan dapat hidup aman di habitat aslinya,” kata Friedman.
Editor : tagor
Sumber : kompas
Tidak ada komentar