Header Ads

Mencegah Kekerasan Seksual Lewat Pendidikan

LINTAS PUBLIK, Kasus kekerasan seksual yang muncul belakangan ini, oleh pemerintah, ditanggapi dengan pemberlakuan hukuman kebiri kimiawi, namun menurut sejumlah kalangan, pemerintah justru mengabaikan pencegahan akar masalah kekerasan seksual tersebut, yaitu karena minimnya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi yang diberikan di sekolah.

Sehari-harinya, Ragil Prasedewo adalah seorang mahasiswa di Yogyakarta. Namun namanya, bersama dua pelajar perempuan, tercatat sebagai salah satu penggugat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional karena kurikulum pendidikan tak memuat soal pendidikan seksual dan reproduksi untuk diajarkan pada siswa.

Aksi mendukung dicantumkannya materi pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum
Menurut Ragil, ketiadaan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi membuatnya sebagai pihak yang dirugikan.

"Pada waktu itu saya menjadi korban, intinya karena ketidaktahuan akan informasi kespro yang berdampak pada kesehatan saya, karena saya juga bingung waktu itu ketika berhubungan seks memakai kondom atau tidak, seperti itu," kata Ragil.

Pemahaman hak-hak

Pengalaman hidup Ragil itu, yang ia ceritakan juga sebagai kesaksian dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, membuatnya menjadi relawan yang mengajarkan soal kesehatan reproduksi di kalangan pelajar.

Ragil tak ingin ketidaktahuan yang dia alami di masa sekolahnya kemudian mengambil korban lain.
"Yang saya khawatirkan adalah mereka akan menjadi korban sekaligus pelaku tindak kekerasan seksual yang semakin naik belakangan ini," kata Ragil.

Dengan mengetahui informasi kesehatan reproduksi yang komprehensif, menurut Ragil, "setidaknya mereka bisa memahami dan menghargai hak-hak kesehatan reproduksi remaja yang lain."

"Jadi mereka memahami batasan-batasan, bisa menjaga hak-hak kesehatan reproduksi mereka sendiri," ujarnya lagi.

Gugatan yang diajukan Ragil bersama dua pelajar lain, orangtua murid, dan organisasi PKBI untuk memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi memang ditolak Mahkamah Konstitusi pada November 2015 lalu.

Namun meninggalnya YY, remaja di Bengkulu setelah diperkosa beramai-ramai, membuat beberapa kalangan menyoroti lagi perlunya pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi untuk masuk dalam kurikulum sekolah.



Masuk kurikulum

Menurut Fadlia Hana dari Pamflet, organisasi yang mengajarkan kesehatan reproduksi ke sekolah-sekolah, salah satu upaya pencegahan kekerasan seksual bisa lewat pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah.

"Di pelajaran kesehatan seksual dan reproduksi itu kita diajari menghargai, pertama itu dulu, (menghargai) kepemilikan kita, kepemilikan orang lain, dan consent (persetujuan) sebenarnya, karena semua pemerkosaan nggakby consent dong, ada yang memaksa. Dan di pendidikan kespro itu pasti diajarkan sebab akibat, di saat kamu melakukan ini, akibatnya ini, bukan untuk menakut-nakuti. Itu membuat anak berpikir," kata Hana.

Namun, Fadlia mengakui, dalam mengajarkan soal pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi, ada keengganan yang menghambat pengajaran topik itu di sekolah.

"Kita masih malu untuk ngomong 'penis', kita masih pakai 'burung', pakai 'gajah', cuma karena yang mengajarkan itu masih malu. Ayolah, kita pakai kalimat-kalimat yang bikin 'penis' itu sama biasanya sama kita bilang 'hidung'. Itu bagian tubuh kita, itu bukan sesuatu yang nggak sopan," kata Fadlia.

Terlepas dari hambatan itu, Fadlia tetap menganggap penting bahwa pendidikan soal seksualitas dan kesehatan reproduksi bisa masuk dalam kurikulum agar menjadi standar untuk diajarkan di sekolah-sekolah.

Perlu terobosan

Hal ini ditolak oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.

"Kasihan anak-anak kita, lihat nanti pelajaran olahraga masukin kurikulum, ini, itu, masukin kurikulum, semuanya dimasukkan kurikulum. Jangan sedikit-sedikit dimasukkan kurikulum," kata Anies.

Dia mencontohkan, upacara bendera setiap hari Senin yang bukan bagian dari kurikulum tapi itu "membuat anak-anak belajar Pancasila, sebagian belajar kedisiplinan".

"Pendidikan itu tidak sama dengan kurikulum. Pendidikan kesehatan reproduksi itu memang harus menjadi pengetahuan, bisa dimasukkan ke kurikulum, tapi saya beri catatan tadi itu biar kita jangan buru-buru semua dimasukkan ke kurikulum," kata Anies.

Dan pendidikan tersebut, menurut Anies, "sudah ada, dari anak TK, SD, SMP, SMA, itu ada".
Meski upaya hukum memasukkan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum sudah kandas di MK, namun komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin menilai pemerintah seharusnya melihat kondisi darurat kekerasan seksual yang terjadi sekarang sebagai alasan untuk melakukan terobosan, dan memberikan pendidikan yang dianggapnya mendasar ini ke sekolah-sekolah.

"Sebenarnya Kementerian Pendidikan bisa membuat keputusan sendiri, keputusan menteri misalnya, kenapa harus MK? Kan dia nggak perlu produk undang-undang, bisa keputusan. Dan itu bisa diterapkan ke dalam kurikulum, kenapa susah?" kata Mariana.

"Produk pendidikan ini bisa diketahui akan efektif untuk bekal mereka (anak sekolah) ke depan untuk menghadapi kekerasan seksual," ujarnya.


Editor   : tagor
Sumber : bbc

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.