Header Ads

Perjuangan Suami Rawat Istri yang Sakit Keras hingga Berniat Ajukan Suntik Mati

LINTAS PUBLIK - BALIKPAPAN,  Abdul Mutolib bersama kelima anaknya menjalani kehidupan berat setelah Humaida, istrinya, sakit keras dan dirawat di Rumah Sakit Umum Panglima Sebaya, Tana Grogot, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Bahkan, Mutolib sampai berniat mengajukan suntik mati atau euthanasia untuk istrinya karena merasa kasihan dengan kondisi Humaida.

Abdul Mutolib, Dilla, dan Fauzi, saat menunggu Humaida di RS Panglima Sebaya.
Foto dokumentasi Januar As'ari, anak pertama Mutolib dan Humaida.
Akibat sakit yang sudah lama diderita Humaida, anak-anaknya sempat terpisah-pisah dari orangtua pada dua tahun pertama ibunya sakit. Pasalnya, Mutolib mencurahkan perhatian penuh bagi kesembuhan Humaida.

Tiga anaknya harus dititipkan ke teman dan tetangga. Begitu pula anak terakhir yang baru dilahirkan Humaida harus dititipkan ke kerabatnya di Amuntai, Kalimantan Selatan.

“Adik kedua hingga keempat selalu bersama, tapi tinggal di rumah satu karyawan ke karyawan bapak yang lain selama satu sampai dua tahun. Tahun yang berat,” kata Januar As’ari, putra pertama pasangan Humaida dan Mutolib, Jumat (28/10/2016).

"Yang kelima, sejak lahir langsung dirawat karyawan bapak yang lain di Kalsel," katanya.

Usia keempat adiknya terpaut jauh dari Januar. Mereka sangat belia saat ibunya koma. Banyak hal yang tak bisa dinikmati adik-adiknya sejak sang ibu tak berdaya.

Muhammad Ilham Nadir, adik kedua dari Januar, selama 14 tahun tak lagi merasakan asupan tambahan dari bahan kulit udang. Asupan tambahan ini dipercaya bisa membantu pertumbuhan dan pemulihan Ilham menjadi normal dari kondisi hiperaktif.

“Ibu yang biasanya mencarikan asupan tambahan itu,” kata Januar.

Belum lagi adiknya yang ketiga, Ahmad Faizal Muzaki, saat itu belum lama mengenyam sekolah dasar dan Dila Faiqotul Himah masih balita. Januar mengenang bagaimana keduanya sering bersikap manja pada Humaida.

“Suatu kali mengunjungi ibu di rumah sakit, sepanjang perjalanan Faizal menangis tak mau pulang dan ingin menunggui ibu. Kami sangat terpukul saat itu,” kata Januar.

Saban hari selama lima tahun, kata Januar, ayahnya begitu tabah menunggui Humaida di rumah sakit. Rumah dan rumah sakit terpisah lebih dari 30 kilometer.

Itulah mengapa keempat anaknya terpaksa harus hidup dengan orang lain. Selama lima tahun itu, Mutolib sabar menunggu kepastian pengobatan yang tidak juga Humaida terima.

Selama di rumah sakit hanya berlangsung perawatan saja tanpa pengobatan. Dalam penantian itu, harta Mutolib kian habis.

Bisnis dempul dan cat juga tutup. Karyawan tak lagi tersisa. Anak-anak terpaksa kembali ke rumah dan tak bisa lagi dirawat keluarga karyawan Mutolib.

Kini, mereka hidup mengandalkan surat keterangan tidak mampu (SKTM).

Humaida terbaring di bangsal RSUD Grogot. Ia koma sejak 2011
 tanpa pengobatan dan tanpa harapan sembuh.
Awal mula penderitaan

Semua berawal setelah persalinan anak kelima di Klinik Muhammadiyah, Paser, pada 2011. Usai melahirkan secara normal, Humaida menjalani operasi KB steril di klinik yang sama.

Tak lama setelah operasi, ia koma hingga kini. Keluarganya mengupayakan semua cara untuk kesembuhan Humaida.

Klinik Muhammadiyah, beberapa rumah sakit, dan banyak dokter spesialis sudah didatangi, tetapi mereka angkat tangan.

Humaida pun akhirnya kembali ke Grogot dan dirawat di RSUD.

Kesabaran Mutolib menjaga Humaida menyayat hati Januar. Ayahnya, kata Januar, tidak banyak menuntut. Ia setia menunggu dan berharap rumah sakit memberi jalan keluar untuk pengobatan istrinya.

“Tapi yang terjadi hanya perawatan dan perawatan saja. Tidak ada pengobatan. Jenuh, hanya menunggu dan menunggu. Hanya dirawat saja tanpa pengobatan," kata Januar.

Lulus kuliah dari Fisipol Universitas Mulawarman, Januar memilih mengambil langkah lebih tegas. Ia memperjuangkan pengobatan bagi ibunya.

Januar telihat gigih. Ia bahkan sampai mendatangi kantor Pengurus Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta dan pengurus wilayah Kalimantan Timur di Samarinda untuk meminta dukungan.

“Bapak memang tidak pernah mau ribut. Lulus kuliah (Fisipol Universitas Mulawarman), saya minta restu ke bapak, ini harus diketahui publik. Bapak setuju,” kata Januar.

Upaya Mutolib dan Januar membuahkan hasil. Pemerintah Kabupaten Grogot juga turut memberi perhatian bagi Humaida. Sempat dirawat di kelas 3, ia kemudian dipindahkan ke ruang VVIP.

“Banyak yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya adalah mengupayakan pasien pindah dari kelas 3 ke VVIP,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paser, I Dewa Made Sudharsana, dihubungi via telepon.


Editor   : tagor
Sumber : kompas








Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.