Iwan Fals yang Ternistakan
LINTAS PUBLIK, POLITIK menye-menye di Indonesia makin ke sini makin gawat dan mengerikan. Betul-betul sudah sampai pada tahap mencemaskan. Hanya karena tidak sepaham, tidak sepandangan, seseorang bisa dengan sangat mudahnya dituding sekuler, liberal, komunis, fasis, bahkan Yahudi, kafir dan pengkhianat nurani.
Iwan Fals disebut sudah menggadaikan nurani. Dia dinistakan dengan tudingan telah menjual jiwa dan kepalanya dan jiwa serta kepala istri dan anak-anaknya, tak terkecuali Galang Rambu Anarki yang sudah lama meninggal dunia. Dan meme-meme yang memampangkan wajahnya berikut kalimat yang dicaplok dari lagunya Pesawat Tempurku, "penguasa berilah hambamu uang", menjadi olok-olok yang riuh di media sosial.
Para pencecar nista datang dari berbagai kalangan. Politisi, artis, pengusaha, guru, dosen, pegawai negeri, wartawan, penceramah, motivator, penulis, seniman, aktivis, baik yang asli maupun yang gadungan, sampai para pemuda menye-menye yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk keluyuran dan duduk-duduk di kafe dan sama sekali belum mendapat gambaran kelak akan jadi apa.
Pemuda-pemuda yang ketika Iwan Fals lantang meneriakkan protes dan berulangkali masuk penjara di saat orang-orang bahkan tidak berani untuk sekadar mengeluarkan suara bantahan dan menyatakan ketidaksetujuan, barangkali masih kencing di celana.
Coba sebutkan sembarang persoalan di Indonesia. Persoalan apa saja. Iwan Fals pasti punya lagunya. Tentang pendidikan, misalnya, ada Guru Oemar Bakri, Sore Tugu Pancoran, Sarjana Muda. Tentang tenaga kerja sebutlah Tarmijah dan Problemnya, Kuli Jalanan, Robot Bernyawa, atau PHK. Tentang pelayanan publik bisa dikedepankan antara lain Ambulance Zigzag, Kisah Sepeda Motorku, Kereta Tiba Pukul Berapa.
Tentang kaum urbanis, kota, dan penggusuran terdapat Condet, Bunga Trotoar, Kontrasmu Bisu, Ujung Aspal Pondok Gede, Siang Seberang Istana, Mimpi yang Terbeli. Tentang perusakan alam ada Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi, Balada Orang Pedalaman, Panggilan dari Gunung, Tak Lagi Biru Lautku. Tentang pelacuran, hmm..., ada Gali Gongli, Azan Subuh Masih di Telinga, Doa Pengobral Dosa, dan -- sudah barang tentu yang paling fenomenal sekaligus paling kontroversial-- Lonteku.
Tahun 1981 Iwan Fals menulis Guru Oemar Bakri dan lagu itu masih terus dinyanyikan sampai sekarang, meskipun nasib guru-guru sudah tidak lagi sama. Jangan boleh ia nanti jadi profesor atau guru/itu celaka, uangnya tak ada, tulis WS Rendra dalam puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Kecenderungan yang juga tidak lagi relevan. Sebagian besar penyandang gelar profesor sekarang justru kaya raya. Sejumlah guru pun tak kalah kayanya.
Lagu-lagu lain juga demikian. Relevan atau tak lagi relevan, lagu-lagu Iwan Fals tak pernah mati lantaran tiap kali persoalan berulang lagu-lagu itu akan kembali diperdengarkan. Tak terkecuali lagu tentang politik. Surat untuk Wakil Rakyat diputar di televisi untuk mengiringi tayangan perihal kinerja anggota parlemen yang jeblok dan acak-kadut. Bento, Bongkar, Badut, adalah lagu-lagu ilustrasi yang sangat laris.
Tapi Iwan Fals juga menulis sejumlah lagu yang tidak terlalu populer namun justru sangat kuat dari sisi pesan seperti Demokrasi Nasi, Pola Hidup Sederhana, Paman Doblang, Coretan Dinding, Asyik Gak Asyik, dan Manusia 1/2 Dewa. Lagu-lagu yang memiliki gema dan kekuatan dahsyat untuk merasuk. Seperti lagu-lagu Bob Dylan.
Karier Iwan Fals terbentang panjang dari tahun 1975 sampai sekarang. Karier yang jika politik diambil sebagai batasan dapat dicacah-cacah menjadi setidaknya tiga periode: 1980-1990, 1990-1997, dan 2000-sekarang.
Periode pertama adalah periode yang ganas. Iwan Fals yang masih sangat muda dan tak kenal takut menghantam siapa saja yang menurutnya brengsek. Menghantam tanpa tedeng aling-aling. Bahkan nyaris tanpa perhitungan. Demokrasi Nasi dan Pola Hidup Sederhana (yang memiliki judul lain 'Anak Cendana'), contohnya. Atau lagu Mbak Tini dan Oh Indonesia.
Gara-gara empat lagu yang batal diedarkan ini, Iwan Fals harus terus-menerus berurusan dengan polisi. Kenapa? Karena meski sudah dilarang dia tetap saja menyanyikan lagu-lagu ini di setiap kesempatan naik panggung. Lagu Oh Indonesia (yang juga memiliki judul lain Suksesi) yang ditulis tahun 1987 paling diwanti-wanti karena liriknya yang waktu itu dinilai sangat kurang ajar.
Sebelum pemilu orang-orang sudah pada ribut/politisi, polisi dan tentara kalang kabut/penguasa, pengusaha dan semua pasang kuda-kuda/sementara gosip yang beredar/Soeharto adalah bos mafia.
Lantas aku berpikir kalau Soeharto mati/Apa jadinya republik atau kerajaan ini?/Pasti orang berkelahi untuk menjadi pengganti/Lebih baik Soeharto dijadikan mumi dan didudukkan di kursi.
Ini jelas-jelas lagu "bunuh diri". Kala itu, Soeharto adalah kebenaran. Tiap kata dan perbuatannya adalah kebenaran, yang sahih dan hakiki. Jangan coba-coba membangkang jika tak ingin kena gebuk. Tapi Iwan Fals malah menyebutnya sebagai mafia dan mumi.
Periode kedua, 1990-1997, adalah periode politik dewasa. Iwan Fals tidak lagi hantam kromo. Tidak lagi sarkastis. Dia mulai bermain diksi. Mulai memasukkan simbol-simbol. Mulai berpuisi. Paman Doblang dan Coretan Dinding, juga Nyanyian Jiwa, Kesaksian, Kebaya Merah, atau Menunggu Ditimbang Malah Muntah.
Periode ini terhenti karena kematian Galang Rambu Anarki. Iwan Fals yang tenggelam dalam kesedihan menghilang dari panggung. Tidak ada lagi lagu maupun album sampai tahun 2000 dia muncul lagi dengan kompilasi berisi lagu-lagu cinta.
Tentu saja lagu-lagu cinta Iwan Fals bukan lagu cinta menye-menye. Lagu cinta yang manja mendayu-dayu. Lagu-lagu cinta Iwan Fals adalah lagu cinta yang gagah, nyeleneh, kadang-kadang malah sangat nakal. Pendeknya, jantan.
Meski begitu, pascakemunculan kembali ini Iwan Fals dipandang bukan lagi Iwan Fals yang sama. Dia berubah jadi Iwan Fals yang masih sedih dan tak lagi bersemangat menjadi pemrotes, menjadi penyambung dan pelantang protes.
Iwan Fals tetap menulis lagu-lagu politik. Tapi lagu-lagu itu tidak lagi sarkastis dan tidak lagi berat dengan kata-kata bersayap dan puitik di sana-sini. Lagu-lagu politik Iwan Fals pada periode ketiga adalah lagu-lagu satire. Sebagian besar kembali ke bentuk periode pertama, namun dengan pilihan kata yang lebih berhati-hati.
September lalu Iwan Fals berusia 55. Usia seorang tua. Dia panggung, dia tak lagi garang. Tak bisa lagi bernyanyi bertelanjang dada sembari berlarian dan jejingkrakan. Rambutnya yang dulu gondrong sekarang dipotong pendek lantaran sudah banyak rontok.
Tapi apakah orang tua ini memang sudah menjadi seorang pengkhianat nurani? Apakah dia sudah menjual jiwa dan kepalanya kepada penguasa, demi uang? Saya ragu. Benar-benar ragu.
Barangkali benar Iwan Fals sekarang lebih banyak muncul di ruang-ruang konsumtif. Dia membintangi iklan berbagai produk. Namun memilih menjadi populer di jalan populer bukan berarti telah menggadaikan jiwa dan nurani, bukan?
Sepanjang 41 tahun berkarier, tidak sekalipun Iwan Fals pernah tergoda untuk terlibat dalam politik praktis. Dia mengambil jarak dari politik. Dari partai-partai politik. Tidak pernah menyambut tawaran untuk dicalonkan menjadi bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, dirjen, atau pejabat BUMN. Tatkala foto profilnya dimunculkan para pecintanya di media sosial dan digadang sebagai calon presiden, Iwan Fals tertawa ngakak, lalu bilang bahwa keisengan ini benar-benar menghiburnya.
Lalu kenapa sekarang Iwan Fals cenderung berpihak pada Jokowi? Kenapa Iwan Fals tidak mengecam Ahok dan bahkan mengambil sikap berseberangan?
JOKO Widodo menyambangi kediaman musisi Iwan Fals, di Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, jelang pelaksanaan Pemilu Presiden 2014
Politik dalam kesenian sering kali lebih cair untuk tidak bisa dibilang absurd. Jelas namun sesungguhnya tak pernah sebenar-benarnya jelas. Berpihak dan berseberangan adalah bukan sikap-sikap yang tabu. Bukan sikap yang diharamkan.
Bob Dylan melakukannya. John Lennon melakukannya. Jim Morrison, Bono, Johnny Rotten, bahkan Frank Sinatra juga melakukannya. Pun Iwan Fals. Mereka melakukannya dengan cara masing-masing dan didasari berbagai pertimbangan, entah pertimbangan yang berat-berat macam ideologi atau yang remeh seperti kesamaan kesukaan.
Dan oleh sebab itu, berpihak atau berseberangan, tentu saja, tidak dapat disimpulkan sebagai bentuk pengkhianatan.
Terlebih-lebih apabila kesimpulan tersebut lahir dari sekadar nafsu untuk memuaskan renjana kebencian, serta syak wasangka, bahwa yang tidak sepihak, siapapun dia, adalah musuh yang wajib ditumpas.
Editor : tagor
Sumber : tribun
Iwan Fals disebut sudah menggadaikan nurani. Dia dinistakan dengan tudingan telah menjual jiwa dan kepalanya dan jiwa serta kepala istri dan anak-anaknya, tak terkecuali Galang Rambu Anarki yang sudah lama meninggal dunia. Dan meme-meme yang memampangkan wajahnya berikut kalimat yang dicaplok dari lagunya Pesawat Tempurku, "penguasa berilah hambamu uang", menjadi olok-olok yang riuh di media sosial.
Para pencecar nista datang dari berbagai kalangan. Politisi, artis, pengusaha, guru, dosen, pegawai negeri, wartawan, penceramah, motivator, penulis, seniman, aktivis, baik yang asli maupun yang gadungan, sampai para pemuda menye-menye yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk keluyuran dan duduk-duduk di kafe dan sama sekali belum mendapat gambaran kelak akan jadi apa.
Pemuda-pemuda yang ketika Iwan Fals lantang meneriakkan protes dan berulangkali masuk penjara di saat orang-orang bahkan tidak berani untuk sekadar mengeluarkan suara bantahan dan menyatakan ketidaksetujuan, barangkali masih kencing di celana.
Iwan Fals Waktu Muda |
Coba sebutkan sembarang persoalan di Indonesia. Persoalan apa saja. Iwan Fals pasti punya lagunya. Tentang pendidikan, misalnya, ada Guru Oemar Bakri, Sore Tugu Pancoran, Sarjana Muda. Tentang tenaga kerja sebutlah Tarmijah dan Problemnya, Kuli Jalanan, Robot Bernyawa, atau PHK. Tentang pelayanan publik bisa dikedepankan antara lain Ambulance Zigzag, Kisah Sepeda Motorku, Kereta Tiba Pukul Berapa.
Tentang kaum urbanis, kota, dan penggusuran terdapat Condet, Bunga Trotoar, Kontrasmu Bisu, Ujung Aspal Pondok Gede, Siang Seberang Istana, Mimpi yang Terbeli. Tentang perusakan alam ada Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi, Balada Orang Pedalaman, Panggilan dari Gunung, Tak Lagi Biru Lautku. Tentang pelacuran, hmm..., ada Gali Gongli, Azan Subuh Masih di Telinga, Doa Pengobral Dosa, dan -- sudah barang tentu yang paling fenomenal sekaligus paling kontroversial-- Lonteku.
Tahun 1981 Iwan Fals menulis Guru Oemar Bakri dan lagu itu masih terus dinyanyikan sampai sekarang, meskipun nasib guru-guru sudah tidak lagi sama. Jangan boleh ia nanti jadi profesor atau guru/itu celaka, uangnya tak ada, tulis WS Rendra dalam puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Kecenderungan yang juga tidak lagi relevan. Sebagian besar penyandang gelar profesor sekarang justru kaya raya. Sejumlah guru pun tak kalah kayanya.
Lagu-lagu lain juga demikian. Relevan atau tak lagi relevan, lagu-lagu Iwan Fals tak pernah mati lantaran tiap kali persoalan berulang lagu-lagu itu akan kembali diperdengarkan. Tak terkecuali lagu tentang politik. Surat untuk Wakil Rakyat diputar di televisi untuk mengiringi tayangan perihal kinerja anggota parlemen yang jeblok dan acak-kadut. Bento, Bongkar, Badut, adalah lagu-lagu ilustrasi yang sangat laris.
Aksi Panggung Iwan Fals |
Tapi Iwan Fals juga menulis sejumlah lagu yang tidak terlalu populer namun justru sangat kuat dari sisi pesan seperti Demokrasi Nasi, Pola Hidup Sederhana, Paman Doblang, Coretan Dinding, Asyik Gak Asyik, dan Manusia 1/2 Dewa. Lagu-lagu yang memiliki gema dan kekuatan dahsyat untuk merasuk. Seperti lagu-lagu Bob Dylan.
Karier Iwan Fals terbentang panjang dari tahun 1975 sampai sekarang. Karier yang jika politik diambil sebagai batasan dapat dicacah-cacah menjadi setidaknya tiga periode: 1980-1990, 1990-1997, dan 2000-sekarang.
Periode pertama adalah periode yang ganas. Iwan Fals yang masih sangat muda dan tak kenal takut menghantam siapa saja yang menurutnya brengsek. Menghantam tanpa tedeng aling-aling. Bahkan nyaris tanpa perhitungan. Demokrasi Nasi dan Pola Hidup Sederhana (yang memiliki judul lain 'Anak Cendana'), contohnya. Atau lagu Mbak Tini dan Oh Indonesia.
Gara-gara empat lagu yang batal diedarkan ini, Iwan Fals harus terus-menerus berurusan dengan polisi. Kenapa? Karena meski sudah dilarang dia tetap saja menyanyikan lagu-lagu ini di setiap kesempatan naik panggung. Lagu Oh Indonesia (yang juga memiliki judul lain Suksesi) yang ditulis tahun 1987 paling diwanti-wanti karena liriknya yang waktu itu dinilai sangat kurang ajar.
Sebelum pemilu orang-orang sudah pada ribut/politisi, polisi dan tentara kalang kabut/penguasa, pengusaha dan semua pasang kuda-kuda/sementara gosip yang beredar/Soeharto adalah bos mafia.
Lantas aku berpikir kalau Soeharto mati/Apa jadinya republik atau kerajaan ini?/Pasti orang berkelahi untuk menjadi pengganti/Lebih baik Soeharto dijadikan mumi dan didudukkan di kursi.
Ini jelas-jelas lagu "bunuh diri". Kala itu, Soeharto adalah kebenaran. Tiap kata dan perbuatannya adalah kebenaran, yang sahih dan hakiki. Jangan coba-coba membangkang jika tak ingin kena gebuk. Tapi Iwan Fals malah menyebutnya sebagai mafia dan mumi.
Periode kedua, 1990-1997, adalah periode politik dewasa. Iwan Fals tidak lagi hantam kromo. Tidak lagi sarkastis. Dia mulai bermain diksi. Mulai memasukkan simbol-simbol. Mulai berpuisi. Paman Doblang dan Coretan Dinding, juga Nyanyian Jiwa, Kesaksian, Kebaya Merah, atau Menunggu Ditimbang Malah Muntah.
Periode ini terhenti karena kematian Galang Rambu Anarki. Iwan Fals yang tenggelam dalam kesedihan menghilang dari panggung. Tidak ada lagi lagu maupun album sampai tahun 2000 dia muncul lagi dengan kompilasi berisi lagu-lagu cinta.
Tentu saja lagu-lagu cinta Iwan Fals bukan lagu cinta menye-menye. Lagu cinta yang manja mendayu-dayu. Lagu-lagu cinta Iwan Fals adalah lagu cinta yang gagah, nyeleneh, kadang-kadang malah sangat nakal. Pendeknya, jantan.
Meski begitu, pascakemunculan kembali ini Iwan Fals dipandang bukan lagi Iwan Fals yang sama. Dia berubah jadi Iwan Fals yang masih sedih dan tak lagi bersemangat menjadi pemrotes, menjadi penyambung dan pelantang protes.
Iwan Fals tetap menulis lagu-lagu politik. Tapi lagu-lagu itu tidak lagi sarkastis dan tidak lagi berat dengan kata-kata bersayap dan puitik di sana-sini. Lagu-lagu politik Iwan Fals pada periode ketiga adalah lagu-lagu satire. Sebagian besar kembali ke bentuk periode pertama, namun dengan pilihan kata yang lebih berhati-hati.
September lalu Iwan Fals berusia 55. Usia seorang tua. Dia panggung, dia tak lagi garang. Tak bisa lagi bernyanyi bertelanjang dada sembari berlarian dan jejingkrakan. Rambutnya yang dulu gondrong sekarang dipotong pendek lantaran sudah banyak rontok.
Tapi apakah orang tua ini memang sudah menjadi seorang pengkhianat nurani? Apakah dia sudah menjual jiwa dan kepalanya kepada penguasa, demi uang? Saya ragu. Benar-benar ragu.
Barangkali benar Iwan Fals sekarang lebih banyak muncul di ruang-ruang konsumtif. Dia membintangi iklan berbagai produk. Namun memilih menjadi populer di jalan populer bukan berarti telah menggadaikan jiwa dan nurani, bukan?
Sepanjang 41 tahun berkarier, tidak sekalipun Iwan Fals pernah tergoda untuk terlibat dalam politik praktis. Dia mengambil jarak dari politik. Dari partai-partai politik. Tidak pernah menyambut tawaran untuk dicalonkan menjadi bupati, wali kota, gubernur, anggota DPR, dirjen, atau pejabat BUMN. Tatkala foto profilnya dimunculkan para pecintanya di media sosial dan digadang sebagai calon presiden, Iwan Fals tertawa ngakak, lalu bilang bahwa keisengan ini benar-benar menghiburnya.
Iwan Fals Saat Berjumpa dengan Presiden Jokowi |
JOKO Widodo menyambangi kediaman musisi Iwan Fals, di Leuwinanggung, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, jelang pelaksanaan Pemilu Presiden 2014
Politik dalam kesenian sering kali lebih cair untuk tidak bisa dibilang absurd. Jelas namun sesungguhnya tak pernah sebenar-benarnya jelas. Berpihak dan berseberangan adalah bukan sikap-sikap yang tabu. Bukan sikap yang diharamkan.
Bob Dylan melakukannya. John Lennon melakukannya. Jim Morrison, Bono, Johnny Rotten, bahkan Frank Sinatra juga melakukannya. Pun Iwan Fals. Mereka melakukannya dengan cara masing-masing dan didasari berbagai pertimbangan, entah pertimbangan yang berat-berat macam ideologi atau yang remeh seperti kesamaan kesukaan.
Dan oleh sebab itu, berpihak atau berseberangan, tentu saja, tidak dapat disimpulkan sebagai bentuk pengkhianatan.
Terlebih-lebih apabila kesimpulan tersebut lahir dari sekadar nafsu untuk memuaskan renjana kebencian, serta syak wasangka, bahwa yang tidak sepihak, siapapun dia, adalah musuh yang wajib ditumpas.
Editor : tagor
Sumber : tribun
Tidak ada komentar