Header Ads

Tiada Maaf Bagimu, Ahok

Wajahnya sembab. Tubuhnya bergetar dan mimik penuh ketulusan saat berucap, "Saya minta maaf kepada umat Islam."

Ia memandang seluruh hadirin yang menyambut maafnya dengan riuh tepuk tangan yang cukup lama. Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, "Sekali lagi saya minta minta maaf kepada umat Islam," saat ia didaulat ke panggung #MataNajwa yang sedang #UlangTahun17.


Di layar televisi aku fokus pada wajah Ahok. Wajahnya bening dan lugu seperti bayi yang sedih saat ditinggal ibunya sebentar saja. Tatapannya syahdu diiringi ekspresinya ketulusan seorang yang sungguh merasa bersalah, hingga ia seakan menyalahkan dirinya, "Sekali lagi, saya minta maaf kepada umat Islam."

Tak hanya kala itu, di berbagai kesempatan, entah offline/off-air ataun online/on-air, setelah pengunggahan video sambutannya di Pulau Seribu oleh Buni Yani, Ahok telah puluhan hingga ratuasan permintaan maaf kepada saudara sebangsa dan setanah air yang merasa agamanya dinistakan oleh perkataanya.

Entah Anda, tetapi saat menonton acara #MataNajwa saya merasa ikut sedih dan merasakan kesedihan Ahok. "Semua yang terjadi hari-hari ini adalah gara-gara saya... gara-gara Ahok," katanya seraya melanjutkan kalimat permintaan maafnya.

Tubuhnya seakan berkata, 'Bila memang ucapanku telah menyulut amarah para pemeluk agama Islam, maka dengan penuh ketulusan saya minta maaf.'

*****

Ahok memang politisi aneh, ganjil, tapi ajaib. Ia terlalu polos, terlalu hitam-putih dan terlalu berani melawan arus untuk ukuran seorang politisi. Strategi kerjanya jelas, mudah dipahami karena bahasanya verbal. Bila di perusahaan, model kepemimpinan seperti ini biasanya disukai.

Entah kalau di negeri ini. Pokoknya, sistem kerjanya sangat sederhana tetapi jelas: salah ya salah, benar ya benar. Salah dan fatal, ya dipecat. Benar dan bertanggung jawab, ya dipuja dan dipromosikan hingga karirnya melejit. Sederhana bukan?

Bahwa banyak bawahan yang "seolah-olah tak paham dan dikuasai kemalasannya" hanya persoalan sistem yang sudah lama mereka anut: "sing penting ngumpul" di kantor. Lihatlah, sepanjang ia menjadi gubernur, emperan kantor Balaikota DKI Jakarta tak pernah sepi oleh rakyat yang ingin meminta bantuannya secara langsung.

Anda pasti pernah menonton di televisi, atau di youtube betapa Ahok begitu sabar menghadapi satu per satu warga yang ingin menemuinya, hingga ia selalu datang lebih awal ke kantor dan pulang lebih akhir dari kantornya.

Aneh bukan? Kebanyakan pemimpin dengan jabatan tinggi di negeri yang selalau merasa cukup mempertontonkan telunjuknya untuk mengatur bawahannya. Tapi Ahok? Ia malah bertanya secara detail apa yang dihadapai warganya.

Awas saja, bila asisten atau bawahannya tak terbukti telah ingkar pada apa yang telah dijanjikannya kepada warga yang minta bantua, maka Ahok akan marah dengan gaya khasnya,

"Lu gimana sih? Bisa enggak sih melayani rakyat? Kalau enggak bisa kasitau gue dong. Udah, gue enggak mau tahu, pokoknya persoalan ibu/bapak X ini harus selesai besok!"

Ia dipuja rakyat Jakarta, hingga ke seantero pelosok negeri pun turut mengaguminya dengan harapan kelak mereka punya gubernur seperti Ahok. Hanya saja, kehadiran sosok pemimpin seperti Ahok, apalagi menjabat sebagai gubernur di ibukota pasti akan dimusuhi banyak politisi lain.

Ya, minimal mereka tak lagi bebas memainkan "tanda tangan" mereka hingga menjualnya ke perusahaan bonafit yang memberinya bonus. Tragisnya, lawan-lawan politik Ahok sangat banyak jumlahnya.

Mereka itu bak gerombolan yang selalu bersekongkol menentang siapa pun pemimpin yang jujur dan menyia-nyiakan kesempatan mendadak kaya karena korupsi. Belum lagi sebagian warga Jakarta yang sudah lama "dimanja" oleh pemimpin sebelumnya lewat Bantuan Tuna Langsung dalam bentuk uang cash agar mereka tetap abadi dalam kemiskinan dan kelusuhan tempat tinggalnya.

Kedua kelompok ini sama susahnya dihadapi. Si politisi yang terbiasa koruptor tadi akan mengatur strategi pemakzulan ala preman tanah abang, dan si miskin tadi akan menangis pilu di depan kamera televisi yang menyorotnya.

Penghentian Ahok secara membabi-buta terhadap jejaring para pejabat lain yang telah terbiasa "berbagi jatah" setelah mengambil uang negara, biar bagaimana pun akan linglung menutup biaya kampanye, dan segala tetek bengek janji mereka kepada istrinya.

Mereka inilah yang rela tidur, rapat tersembunyi, berbagi kesedihan lewat telepon dan media sosial, dan membangun opini bahwa Ahok telah merusak Jakarta dan telah menjual Jakarta kepada negara Tiongkok.

Mereka rela menyambangi balaikota dan menyuruh mata-mata ke setiap tempat yang dikunjungi Ahok. Tujuannya tak lain untuk menemukan kelemahan Ahok, hingga bisa dijatuhkan dari tampuk kepemimpinan di ibukota.

Sejauh ini mereka berhasil. Mereka sadar, selain kecerebohannya saat berbicara Ahok tak akan bisa ditandingi. Mereka sangat tahu, Jakarta telah banyak berubah dibawah kepemimpinan Ahok. Tentu saja mereka berhasil, setelah sekian lama membuntuti Ahok. Ahok pun salah ucap saat memberi sambutan di Pulau Seribu beberapa waktu silam.

Saat itu Ahok berpikir bahwa masyarakat Jakarta sama kualitasnya dengan warga Singapura, bahkan London dan New York, yang tak mudah tersulut oleh amarah, apalagi hanya karena rayuan duit yang menggiurkan. Hasilnya, Ahok pun dilaporkan, di demo, hingga menuntut agar segera dituntut agar dijebloskan pemerintah. Kasusnya pun masih diproses dan segera disidangkan di pengadilan negeri.

Begitulah Ahok, hari -hari ini menjadi berita dunia, karena ia sudah dijadikan tersangka dan dikenakan pasal penistaan Agama. Kini ia sedang disingkirkan secara sistematis oleh lawan-lawan politiknya, hingga ia terlihat bak kurban sembelihan yang tak mengembik saat disembelih.

Hanya saja, kasus Ahok sangat berbeda, karena konon katanya warga Jakarta itu jauh lebih rasional dan normal dibanding warga di 33 propinsi lain. Itu berarti, mayoritas warga Jakarta justru mencintai Ahok dan berharap Ahok tetap menjadi gubernur mereka 5 tahun mendatang.

Sementara para lawan politiknya berharap agar kasus Ahok ini berujung pada "tersingkirnya Ahok dari pencalonannya sebagai gubernur DKI" hingga keran uang negara kembali bisa mereka tampung di kantongnya.

Bagi mereka, menghukum Ahok harus dengan cara membunuhnya secara psikologis, agar ia sibuk dengan kasusnya hingga tak jadi mencalonkan diri jadi gubernur DKI untuk periode keduanya.

Mereka pun konsisten dengan menyanyikan tembang lawas yang didendangkan ulang oleh Yuni Sara, "Tiada maaf bagimu!" bak seorang istri politisi yang bertekad menceraikan suaminya karena tak mau korupsi. Tiada ampun. Ngeri.


Penulis : Lusius Sinurat
 ( tulisan ini dapat dilihat di www.lusius-sinurat.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.