Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (25/11/2016). Ia terjaring operasi tangkap tangan.
Patrialis disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging.
Suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tengah ditangani MK.
Menurut KPK, Patrialis menjanjikan BHR, importir daging, akan membantu agar uji materi tersebut dikabulkan MK.
BHR yang memiliki 20 perusahaan ingin uji materi dikabulkan agar bisnis impor dagingnya dapat lebih lancar.
Terulang
Patrialis adalah hakim konstitusi kedua yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya, Akil Mochtar terjerat kasus korupsi ketika menjabat Ketua MK. Akil tengah menjalani hukuman seumur hidup.
Patrialis adalah hakim MK dari unsur pemerintah. Ia ditunjuk oleh Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono.
SBY meneken Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pemberhentian Maria Farida Indrati dan Achmad Sodiki sebagai hakim konstitusi sekaligus mengangkat Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi untuk masa jabatan lima tahun hingga 2018.
Saat itu, Patrialis tercatat sebagai Komisaris Utama PT Bukit Asam Tbk.
SBY memilih Patrialis sekitar dua tahun pasca-mencopotnya sebagai Menteri Hukum dan HAM.
Pada Oktober 2011, SBY memutuskan mencopot Patrialis serta menunjuk Amir Syamsuddin sebagai penggantinya.
SBY juga menunjuk staf khususnya, Denny Indrayana, sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Patrialis pernah mengikuti seleksi calon hakim MK di DPR tahun 2008 bersama-sama dengan Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Akil Mochtar.
Saat itu, ia anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Namun, ia tidak terpilih.
Patrialis kembali melamar menjadi calon hakim MK ketika DPR membuka pendaftaran pada 2013 untuk menggantikan Mahfud. Namun, ia mengundurkan diri.
Bermasalah
Penunjukan Patrialis sebagai penjaga konstitusi sempat menjadi polemik. Keputusan SBY itu dinilai menyalahi tata cara pemilihan hakim konstitusi.
Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.
Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.
Penjelasan Pasal 19 mengatur, calon hakim konstitusi harus diumumkan melalui media cetak ataupun elektronik sehingga masyarakat dapat memberi masukan terhadap calon hakim konstitusi itu.
Proses seleksi dalam penunjukan Patrialis, tidak seperti yang dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden pada 2008 yang menggunakan seleksi terbuka.
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (ICW dan YLBHI) kemudian menggugat Kepres 87/P Tahun 2013 ke pengadilan tata usaha negara.
Sebaliknya, pemerintah ketika itu meyakini tidak ada aturan yang dilanggar. Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih calon hakim konstitusi.
Proses seleksi oleh Wantimpres itu dianggap pemerintah bukanlah kebiasaan tata kenegaraan yang baku.
Di tengah kritik dan penolakan dari sejumlah kalangan, Patrialis Akbar tetap mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi untuk periode 2013-2018 di Istana Negara, pada Selasa (13/8/2013).
Kamis (26/11/2013), PTUN Jakarta kemudian membatalkan Kepres tersebut.
PTUN meminta pemerintah mencabut keppres tersebut dan menerbitkan keppres baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PTUN menilai pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.
Pemerintah kemudian banding. Dalam proses banding itu, Patrialis tetap menjadi hakim konstitusi.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta kemudian membatalkan keputusan PTUN Jakarta.
PTTUN mengakui legal standing penggugat (ICW dan YLBHI), tetapi kedua lembaga tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan pribadi atas pengangkatan dua hakim konstitusi tersebut.
Patrialis lalu tetap menjadi hakim konstitusi hingga akhirnya ditangkap KPK.
Editor : tagor
Sumber : kompas
Patrialis disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp 2,15 miliar dari importir daging.
Suap tersebut terkait uji materi UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang tengah ditangani MK.
Menurut KPK, Patrialis menjanjikan BHR, importir daging, akan membantu agar uji materi tersebut dikabulkan MK.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar memberikan suaranya dalam voting pemilihan Wakil Ketua MK periode 2015-2017 pada Rapat Permusyawaratan Hakim Konstitusi di Gedung MK, Jakarta, Senin (12/1/2015). |
Terulang
Patrialis adalah hakim konstitusi kedua yang terjerat kasus korupsi. Sebelumnya, Akil Mochtar terjerat kasus korupsi ketika menjabat Ketua MK. Akil tengah menjalani hukuman seumur hidup.
Patrialis adalah hakim MK dari unsur pemerintah. Ia ditunjuk oleh Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono.
SBY meneken Keputusan Presiden No 87/P Tahun 2013 tentang pemberhentian Maria Farida Indrati dan Achmad Sodiki sebagai hakim konstitusi sekaligus mengangkat Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi untuk masa jabatan lima tahun hingga 2018.
Saat itu, Patrialis tercatat sebagai Komisaris Utama PT Bukit Asam Tbk.
SBY memilih Patrialis sekitar dua tahun pasca-mencopotnya sebagai Menteri Hukum dan HAM.
Pada Oktober 2011, SBY memutuskan mencopot Patrialis serta menunjuk Amir Syamsuddin sebagai penggantinya.
SBY juga menunjuk staf khususnya, Denny Indrayana, sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Patrialis pernah mengikuti seleksi calon hakim MK di DPR tahun 2008 bersama-sama dengan Jimly Asshiddiqie, Mahfud MD, dan Akil Mochtar.
Saat itu, ia anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Namun, ia tidak terpilih.
Patrialis kembali melamar menjadi calon hakim MK ketika DPR membuka pendaftaran pada 2013 untuk menggantikan Mahfud. Namun, ia mengundurkan diri.
Bermasalah
Penunjukan Patrialis sebagai penjaga konstitusi sempat menjadi polemik. Keputusan SBY itu dinilai menyalahi tata cara pemilihan hakim konstitusi.
Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.
Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.
Penjelasan Pasal 19 mengatur, calon hakim konstitusi harus diumumkan melalui media cetak ataupun elektronik sehingga masyarakat dapat memberi masukan terhadap calon hakim konstitusi itu.
Proses seleksi dalam penunjukan Patrialis, tidak seperti yang dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden pada 2008 yang menggunakan seleksi terbuka.
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (ICW dan YLBHI) kemudian menggugat Kepres 87/P Tahun 2013 ke pengadilan tata usaha negara.
Sebaliknya, pemerintah ketika itu meyakini tidak ada aturan yang dilanggar. Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih calon hakim konstitusi.
Proses seleksi oleh Wantimpres itu dianggap pemerintah bukanlah kebiasaan tata kenegaraan yang baku.
Di tengah kritik dan penolakan dari sejumlah kalangan, Patrialis Akbar tetap mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi untuk periode 2013-2018 di Istana Negara, pada Selasa (13/8/2013).
Kamis (26/11/2013), PTUN Jakarta kemudian membatalkan Kepres tersebut.
PTUN meminta pemerintah mencabut keppres tersebut dan menerbitkan keppres baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PTUN menilai pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.
Pemerintah kemudian banding. Dalam proses banding itu, Patrialis tetap menjadi hakim konstitusi.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta kemudian membatalkan keputusan PTUN Jakarta.
PTTUN mengakui legal standing penggugat (ICW dan YLBHI), tetapi kedua lembaga tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan pribadi atas pengangkatan dua hakim konstitusi tersebut.
Patrialis lalu tetap menjadi hakim konstitusi hingga akhirnya ditangkap KPK.
Editor : tagor
Sumber : kompas
Tidak ada komentar