Hakim Napitupulu Tak Terima Diberi Sanksi Pemberhentian oleh MKH
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru, Riau, Pangeran Napitupulu tidak terima atas keputusan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang memberikan sanksi berupa pemberhentian dengan hormat.
Ia menilai, selama diproses di MKH, tidak ada penjelasan mengenai alasan dari pihak terlapor melaporkan dirinya ke Komisi Yudisial pada 2014.
"Saya ini bukan hakim bodoh, Pak. Dari tadi saya ikuti dipertimbangan hukum tidak ada apa alasan dari si pelapor melaporkan saya ke KY," kata Napitupulu, seusai mendengar putusan MKH dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Agung, Selasa (28/2/2017).
Napitupulu mengatakan, akan melakukan upaya hukum lainnya.
Ia meminta tim pembela dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) untuk melakukan upaya tersebut.
"Saya tidak terima. Saya akan mengajukan upaya hukum. Saya akan mengajukan banding," kata dia.
Sementara itu, Ketua MKH Maradaman Harahap mempersilakan Napitupulu mengikuti mekanisme yang ada dalam mengajukan upaya hukum.
"Silakan saja dengan mekanisme yang ada. Kami juga enggak paham seperti apa, silakan," kata Maradaman.
Ia juga menegaskan, keputusan MKH tidak dibuat secara personal, tetapi kolektif oleh tujuh orang anggota majelis.
Tak ada upaya banding
Dikonfirmasi secara terpisah, Juru Bicara KY yang juga menjadi anggota MKH, Farid Wajdi mengatakan, bagi hakim yang dijatuhi hukuman oleh MKH, maka tidak ada upaya banding atau sejenisnya.
"Enggak ada upaya hukum. Putusan MKH final dan mengikat," kata Farid.
Sebelumnya, MKH menyatakan bahwa Napitupulu terbukti menjadi perantara dalam pengurusan perkara pidana di Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat, Medan pada 2009.
Atas tindakannya itu, Napitupulu dinilai telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim dan diberi sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat.
Sembari menunggu surat pemberhentian Napitupulu diterbitkan oleh Presiden, MKH meminta Ketua MA Hatta Ali segera menerbitkan surat pemberhentian sementara.
Napitupulu diduga menerima uang sebesar Rp 1 miliar dari pihak yang berperkara di Pengadilan Negeri Rantau Prapat, Sumatera Utara, pada 2009.
Saat itu, ia masih bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Buntok, Kalimantan Tengah. Uang tersebut diberikan secara berangsur dalam satu hari.
Rinciannya, pembayaran pertama Rp 50 juta, pembayaran kedua sebesar Rp 300 juta, pembayaran ketiga sebesar Rp 500 juta dan pembayaran keempat sebesar Rp 150 juta.
Kemudian, pada 2014, Napitupulu dilaporkan ke KY oleh pihak pemberi uang tersebut.
Saat itu, ia sudah bertugas sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Jambi.
Kasus pengurusan perkara oleh Napitipulu baru disidangkan di MKH sekitar akhir 2016. Sementara Pangeran sudah bertugas di Pengadilan Tinggi, Pekanbaru, Riau.
Sumber : kompas/t
Ia menilai, selama diproses di MKH, tidak ada penjelasan mengenai alasan dari pihak terlapor melaporkan dirinya ke Komisi Yudisial pada 2014.
ilustrasi |
Napitupulu mengatakan, akan melakukan upaya hukum lainnya.
Ia meminta tim pembela dari Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) untuk melakukan upaya tersebut.
"Saya tidak terima. Saya akan mengajukan upaya hukum. Saya akan mengajukan banding," kata dia.
Sementara itu, Ketua MKH Maradaman Harahap mempersilakan Napitupulu mengikuti mekanisme yang ada dalam mengajukan upaya hukum.
"Silakan saja dengan mekanisme yang ada. Kami juga enggak paham seperti apa, silakan," kata Maradaman.
Ia juga menegaskan, keputusan MKH tidak dibuat secara personal, tetapi kolektif oleh tujuh orang anggota majelis.
Tak ada upaya banding
Dikonfirmasi secara terpisah, Juru Bicara KY yang juga menjadi anggota MKH, Farid Wajdi mengatakan, bagi hakim yang dijatuhi hukuman oleh MKH, maka tidak ada upaya banding atau sejenisnya.
"Enggak ada upaya hukum. Putusan MKH final dan mengikat," kata Farid.
Sebelumnya, MKH menyatakan bahwa Napitupulu terbukti menjadi perantara dalam pengurusan perkara pidana di Pengadilan Negeri (PN) Rantau Prapat, Medan pada 2009.
Atas tindakannya itu, Napitupulu dinilai telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim dan diberi sanksi berat berupa pemberhentian dengan hormat.
Sembari menunggu surat pemberhentian Napitupulu diterbitkan oleh Presiden, MKH meminta Ketua MA Hatta Ali segera menerbitkan surat pemberhentian sementara.
Napitupulu diduga menerima uang sebesar Rp 1 miliar dari pihak yang berperkara di Pengadilan Negeri Rantau Prapat, Sumatera Utara, pada 2009.
Saat itu, ia masih bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Buntok, Kalimantan Tengah. Uang tersebut diberikan secara berangsur dalam satu hari.
Rinciannya, pembayaran pertama Rp 50 juta, pembayaran kedua sebesar Rp 300 juta, pembayaran ketiga sebesar Rp 500 juta dan pembayaran keempat sebesar Rp 150 juta.
Kemudian, pada 2014, Napitupulu dilaporkan ke KY oleh pihak pemberi uang tersebut.
Saat itu, ia sudah bertugas sebagai Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Jambi.
Kasus pengurusan perkara oleh Napitipulu baru disidangkan di MKH sekitar akhir 2016. Sementara Pangeran sudah bertugas di Pengadilan Tinggi, Pekanbaru, Riau.
Sumber : kompas/t
Tidak ada komentar