Header Ads

LBH Jakarta Bela Ahok soal Kasus Dugaan Penodaan Agama

LINTAS PUBLIK - JAKARTA,  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meluncurkan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) dalam kasus dugaan penodaan agama terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa menyatakan, Ahok dalam kasus ini telah menjadi korban dari penggunaan pasal anti-demokrasi, yakni Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.

LBH Jakarta membela Ahok karena menilai bahwa pada masa pilkada yang seharusnya demokrasi ini, tidak ada lagi orang yang dijerat dengan pasal penodaan agama.

Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berada di ruang sidang
PN Jakarta Utara, Selasa (13/12/2016).
"Hal ini adalah sebuah ironi namun nyata karena negara dalam hal ini DPR RI dan Pemerintah RI masih belum menaati rekomendasi dari putusan MK dalam uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (PNPS 65) yang menjadi dasar lahirnya Pasal 156a tentang penodaan agama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," kata Alghiffari dalam keterangan persnya, Sabtu (15/4/2017).

Majelis Hakim MK pada putusannya mengamini bahwa terdapat permasalahan dalam UU tersebut dan perlunya revisi terhadap UU Penodaan Agama.

Namun, Ahok tetap duduk di kursi pesakitan. Alghiffari berpendapat, pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu pada September 2016 lalu sama sekali tidak masuk ke dalam tafsir agama.

Menurut dia, Ahok justru mengkritik subyek hukum (orang) atau para pihak yang menggunakan ayat-ayat Al Quran untuk menipu publik dalam kegiatan politik.

Pernyataan Ahok tersebut dinilainya tidak memenuhi itikad buruk atau mens rea yang disyaratkan harus dibuktikan dalam pemenuhan unsur-unsur Pasal 156a KUHP.

Pernyataan Ahok, menurut dia, dalam hal ini dilindungi oleh kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E UUD 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Menurut Alghif, penyebarluasan tafsir negatif di media sosial atas pernyataan Ahok yang justru menimbulkan keresahan di masyarakat.

Ia menyebut ada pihak ketiga yang memaknai pernyataan Ahok, padahal pihak tersebut tidak mendengar, menyaksikan, mengetahui, serta mengalami langsung saat Ahok menyampaikan pernyataan tersebut.

"Sehingga memunculkan gerakkan massa 411, 212, dan 313 yang juga dilegitimasi oleh pendapat salah satu ormas Islam dengan dikeluarkannya Fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama," ujar dia.

Selanjutnya, kata dia, tekanan massa dan penggunaan Fatwa MUI yang dijadikan dasar proses peradilan pidana Ahok dengan pasal Penodaan Agama dinilai sebagai tindakan yang merusak negara demokrasi Indonesia yang menjunjung tinggi supremasi hukum.

Menurut dia, ini merupakan perilaku sesat berdemokrasi. Ia juga menyebut pelecehan hukum sepanjang sejarah selalu terjadi dengan menggunakan pasal Penodaan agama sejak hari dilahirkannya kebijakan tersebut.

"Dan hari ini kita masih berada di titik yang sama di mana lembaga peradilan seolah tunduk pada tekanan massa, mulai dari penguasa sampai masyarakat awam tak lepas dari jerat pasal ini," kata dia.

"Kriminalisasi menggunakan pasal penodaan agama jelas justru meruntuhkan tatanan penegakkan hukum, demokrasi dan kebhinekaan di Indonesia, serta wujud nyata dari peradilan sesat," ujar Alghif.

Berdasarkan Amicus Curiae yang diberikan, LBH menyampiakan 4 rekomendasi kepada Majelis Hakim pada perkara Ahok sebagai berikut:

1. Agar Majelis Hakim pada perkara 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr menjunjung tinggi penegakan hukum dan hak asasi manusia dalam memutus perkara dugaan penodaan agama tersebut, terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebagaimana dijamin di dalam konstitusi.

2. Agar Majelis Hakim dalam kasus Ahok tersebut menerapkan Pasal 156a KUHP sebagai delik materiil, dan oleh karenanya, mens rea untuk memenuhi unsur huruf b Pasal 156a KUHP yang tidak diuraikan oleh JPU dalam dakwaannya tidaklah terpenuhi.

3. Agar Majelis Hakim yang menangani perkara penodaan agama dapat menerapkan hukum yang kontekstual dan sejalan dengan produk-produk peradilan yang ada sebelumnya, seperti mengacu pada:

-Putusan MK No. 84/PUU-X/2012 terkait harus adanya peringatan berupa SKB 3 Menteri dan pengulangan perbuatan setelah terbitnya peringatan tersebut sebelum menerapkan pasal dengan sanksi pidana.

-Menerapkan asas lex posterior derogat legi priori, sehingga tidak serta merta menerapkan Pasal 156a KUHP yang jelas bertentangan dengan Konstitusi, UU No. 9/1998, UU 39/1999 dan UU 12/2005;

4. Agar majelis hakim menerapkan asas legalitas dalam wujud lex certa, sehingga penggunaan Pasal 156a KUHP, khususnya pada unsur “Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dapat dihindari karena terlampau multitafsir.

LBH Jakarta juga menyampaikan masukannya kepada Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan review terhadap kebijakan-kebijakan anti-demokrasi, dalam hal ini PNPS No. 1 Tahun 1965 dan Pasal 156a KUHP.

"Karena jelas niscaya pasal-pasal tersebut akan meruntuhkan kehidupan demokrasi dan iklim kebhinekaan di Negara Republik Indonesia," kata Alghif. (komps/t)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.