Mengangkat Ulos, Sandra Niessen : Budaya Batak Hampir Punah, Miris Ulos Berbahan Plastik
LINTAS PUBLIK – SIANTAR, Sandra Niessen, Antropolog Belanda-Kanada yang selama hidupnya terus mengali seni dan budaya batak, khususnya ulos di Sumatera Utara. Sandra tertarik dengan budaya batak sejak tahun 1997 dari buku yang menulis tentang budaya batak, yang ditulis seorang misioner batak bermarga Tobing, dan hingga sampai saat ini Sandra terus mengali dan melestarikan ulos.
“Yang biasa dipakai kepesta itu bukan ulos, tapi kain ulos, karena filosofi ulos adalah buatan alam, prosesnya juga semuanya tradisional, nyatanya sekarang ulos yang kita pakai, benangnya sudah modern , ada juga benangnya terbuat dari pelastik, saya miris melihatnya,”ujar Sandra dihadapan anak-anak muda yang masih mencintai budaya batak, sabtu malam.
Dalam kesempatan itu melalui Film dokumenter "Rangsa Ni Tonun", Sandra menjelaskan bagaimana sebenarnya sulitnya menenun ulos batak yang asli bahannya terbuat asli alam, tekniknya mulai memintal benang dari kapas, mewarnai dari tumbuh-tumbuhan, dan alat yang digunakan sangat tradisional sekali, satu ulos bisa memakai waktu sampai tahunan.
“Nilai ulos itu sebenarnya sangat mahal sekali, tapi banyak penenun dihargai hanya sebatas pekerja saja, bukan dihargai sebagai utusan “dewi” makna dari ulos itu sendiri, mewakili alam. Ulos adalah alam itu sendiri, alam adalah ciptaan Tuhan, Ciptaan Tuhan sekarang sangat murahan,”ujar Sandra bahwa penenun ulos batak dulunya adalah “utusan” dewi untuk terus melestarikan alam dalam kebudayaan batak, dan mewakili kehidupan alam itu sendiri.
“Lebih miris lagi, tumbuhan-tumbuhan ditepian danau toba sudah terkontaminasi dengan racun (insektisida), sehingga kita (penenun) sulit mencari bahan untuk membuat ulos. Parahnya lagi, yang dikenal banyak itu adalah kolektor dan pengusaha ulos, padahal seharusnya yang harus dikenal itu siapa yang menenun ulosnya,”terang Sandra berbagi pengalamannya agar pemuda batak mempertahankan kearifan lokal yang sudah hampir punah ini.
“Yang dikoleksi kolektor itu banyak yang asli ulos buatan tangan, dan bahannya dari alam, tapi coba kita tanya siapa pembuatnya, banyak yang tidak bisa jawab, dan banyak pula yang tidak tahu,”tutur Sandra, yang seharusnya setiap ulos yang ditenun itu ada hak ciptanya, seperti falsafah ulos itu sendiri mewakili alam (Tuhan), jadi harus jelas siapa penenunya.
Melihat pentingnya mempertahankan jati diri orang batak, Trisna Pardede pemilik Batikta yang juga mengali adat istiadat batak melalui usahanya, dalam penjualan pakaian batik gorga batak ini mengatakan. Seharusnya kita malu sebagai orang batak sendiri, Sandra seorang eropa sampai-sampai puluhan tahun terus mengali “kehebatan” dan berharganya ulos sebagai budaya batak.
“Kita harus bangga menjadi orang batak, dan sebagai pemuda harus mencintai budayanya, serta memiliki hasanah budaya di setiap kehidupannya sehari-hari, gerakan tenun ulos ini harus kita dukung,” ucap Trisna Pardede terharu melihat perjuangan Sandra terus melestarikan ulos, agar jangan punah, dan menjunjung tinggi nilai tradisional pembuatan ulos batak itu sendiri.
LIHAT VIDEONYA:
Acara "Cultural Night With Sandra Niessan" ini dimotori oleh Toba Odissey: Roynaldo Purba, Yanes David Sidabutar, Charis Martin Purba, Simon Hilman Siregar. Batikta: Trisna Pardede, pemilik Patarias Coffeeshop Hotmatua Silalahi, BK Ethnic Siantar, komunitas dan sanggar budaya di kota Siantar - Simalungun, serta Group Anak Siantar (GAS).
Penulis : tagor sitohang
“Yang biasa dipakai kepesta itu bukan ulos, tapi kain ulos, karena filosofi ulos adalah buatan alam, prosesnya juga semuanya tradisional, nyatanya sekarang ulos yang kita pakai, benangnya sudah modern , ada juga benangnya terbuat dari pelastik, saya miris melihatnya,”ujar Sandra dihadapan anak-anak muda yang masih mencintai budaya batak, sabtu malam.
Dalam kesempatan itu melalui Film dokumenter "Rangsa Ni Tonun", Sandra menjelaskan bagaimana sebenarnya sulitnya menenun ulos batak yang asli bahannya terbuat asli alam, tekniknya mulai memintal benang dari kapas, mewarnai dari tumbuh-tumbuhan, dan alat yang digunakan sangat tradisional sekali, satu ulos bisa memakai waktu sampai tahunan.
Sandra Niessen, Antropolog Belanda-Kanada yang selama hidupnya terus mengali seni dan budaya batak, khususnya ulos di Sumatera Utara, menjelaskan proses ulos dari awal pemintalan sampai penenun ulos |
“Lebih miris lagi, tumbuhan-tumbuhan ditepian danau toba sudah terkontaminasi dengan racun (insektisida), sehingga kita (penenun) sulit mencari bahan untuk membuat ulos. Parahnya lagi, yang dikenal banyak itu adalah kolektor dan pengusaha ulos, padahal seharusnya yang harus dikenal itu siapa yang menenun ulosnya,”terang Sandra berbagi pengalamannya agar pemuda batak mempertahankan kearifan lokal yang sudah hampir punah ini.
Dari kiri : Rina Iriana, Sandra Niessan, Nana Wijaya, Vina Siregar, dan Tagor Leo Sitohang. dari Group Anak Siantar (GAS) menghadiri acara"Cultural Night With Sandra Niessan" |
Melihat pentingnya mempertahankan jati diri orang batak, Trisna Pardede pemilik Batikta yang juga mengali adat istiadat batak melalui usahanya, dalam penjualan pakaian batik gorga batak ini mengatakan. Seharusnya kita malu sebagai orang batak sendiri, Sandra seorang eropa sampai-sampai puluhan tahun terus mengali “kehebatan” dan berharganya ulos sebagai budaya batak.
Pemuda dan masyarakat menghadiri acara"Cultural Night With Sandra Niessan" |
LIHAT VIDEONYA:
Acara "Cultural Night With Sandra Niessan" ini dimotori oleh Toba Odissey: Roynaldo Purba, Yanes David Sidabutar, Charis Martin Purba, Simon Hilman Siregar. Batikta: Trisna Pardede, pemilik Patarias Coffeeshop Hotmatua Silalahi, BK Ethnic Siantar, komunitas dan sanggar budaya di kota Siantar - Simalungun, serta Group Anak Siantar (GAS).
Penulis : tagor sitohang
Tidak ada komentar