Lafran Pane Jadi Pahlawan Nasional, tapi Rumah Pun Tak Punya...
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Sosok Lafran Pane, pahlawan nasional yang baru saja ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo, ternyata dikenal sangat sederhana.
Hal itu diungkapkan oleh penulis buku Lafran Pane; Jejak Hayat dan Pemikirannya, Hariqo Wibawa Satria, Jumat (10/11/2017) dilansir dari kompas.com.
"Waktu itu saya pernah ke rumahnya di kompleks dosen Jalan Affandi di Yogyakarta itu. Saya tanya kepada istrinya ini rumah Pak Lafran? Bukan kata dia, ini dari kampus," ujarnya.
Bahkan, tutur Hariqo, pihak keluarga Lafran juga sempat menyampaikan harus segara pindah lantaran pihak kampus memberikan peringatan bahwa rumah itu akan ada yang menempati.
Sepanjang hidupnya, Lafran yang dikenal sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) itu mengabdikan diri dengan mengajar sebagai dosen di beberapa kampus di Yogyakarta.
BACA JUGA Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan kepada 4 Tokoh
Dari situ pula Hariqo tahu bahwa Lafran tidak memiliki rumah sama sekali.
Hariqo juga sudah mendatangi rumah teman dan murid-murid Lafran, ruang kerjanya di UNY, rumah anaknya di Bintaro, dan kampungnya di Sipirok, semua kesan yang ia temui sama, Lafran adalah orang yang begitu sederhana.
"Seperti Prof Dr Dochak Latief mengatakan, Lafran Pane itu sederhana sekali hidupnya. Soal kesederhanaan Lafran Pane ini sudah melegenda," ucapnya.
Meski begitu, pria kelahiran Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 5 Februari 1922 silam itu tidak miskin ilmu dan gagasan.
Lafran justru dianggap berhasil menanamkan semangat bela negara, rasa cinta tanah air, dan semangat persatuan, kepada salah satu kelompok strategis di masyarakat, yaitu mahasiswa.
Ia adalah pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 15 Februari 1947. Tujuannya, yakni untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia pascakemerdekaan sekaligus mengembangkan ajaran Islam.
Saat itu, Lafran ingin HMI mengambil posisi tidak terlibat dalam berbagai polarisasi ideologi yang berkembang pasca-kemerdekaan atau independen dari berbagai kepentingan.
Kelompok yang dimaksud adalah kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, negara sosialis, serta kelompok menginginkan Indonesia menjadi negara komunis.
"Lafran Pane hingga akhir hayatnya adalah dosen, tidak pernah jadi anggota partai politik mana pun," kata Hariqo.
Lafran menambah daftar tokoh nasional yang hidup dengan kesederhanaan. Salah satu contohnya adalah Menteri Penerangan dan sempat Menjadi Perdana Menteri Muhammad Natsir.
Guru Besar University Cornell sekaligus seorang Indonesianis asal Amerika, George McTurnan Kahin, menggambarkan kesederhanaan itu dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Kahin bertutur, saat pertama kali bertemu di Yogyakarta, dia heran dengan penampilan Natsir yang sama sekali tak tampak sebagai seorang menteri.
"Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun," tulis Kahin. Kemeja Natsir juga hanya ada dua, kata dia, itu pun kusam.
Tentu saja, kesederhanaan itu menjadi hal yang sekarang sulit ditemukan pada sosok elite baik di pemerintahan, di parlemen, maupun kabinet.
Jauh lebih gampang mencari jam bermerek dengan harga termahal atau mobil dalam gambaran kemewahan yang sama, alih-alih sebentuk kesederhanaan. (komp/t)
Hal itu diungkapkan oleh penulis buku Lafran Pane; Jejak Hayat dan Pemikirannya, Hariqo Wibawa Satria, Jumat (10/11/2017) dilansir dari kompas.com.
"Waktu itu saya pernah ke rumahnya di kompleks dosen Jalan Affandi di Yogyakarta itu. Saya tanya kepada istrinya ini rumah Pak Lafran? Bukan kata dia, ini dari kampus," ujarnya.
Bahkan, tutur Hariqo, pihak keluarga Lafran juga sempat menyampaikan harus segara pindah lantaran pihak kampus memberikan peringatan bahwa rumah itu akan ada yang menempati.
Sepanjang hidupnya, Lafran yang dikenal sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) itu mengabdikan diri dengan mengajar sebagai dosen di beberapa kampus di Yogyakarta.
BACA JUGA Jokowi Anugerahkan Gelar Pahlawan kepada 4 Tokoh
Hariqo juga sudah mendatangi rumah teman dan murid-murid Lafran, ruang kerjanya di UNY, rumah anaknya di Bintaro, dan kampungnya di Sipirok, semua kesan yang ia temui sama, Lafran adalah orang yang begitu sederhana.
"Seperti Prof Dr Dochak Latief mengatakan, Lafran Pane itu sederhana sekali hidupnya. Soal kesederhanaan Lafran Pane ini sudah melegenda," ucapnya.
Meski begitu, pria kelahiran Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 5 Februari 1922 silam itu tidak miskin ilmu dan gagasan.
Lafran justru dianggap berhasil menanamkan semangat bela negara, rasa cinta tanah air, dan semangat persatuan, kepada salah satu kelompok strategis di masyarakat, yaitu mahasiswa.
Ia adalah pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 15 Februari 1947. Tujuannya, yakni untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia pascakemerdekaan sekaligus mengembangkan ajaran Islam.
Saat itu, Lafran ingin HMI mengambil posisi tidak terlibat dalam berbagai polarisasi ideologi yang berkembang pasca-kemerdekaan atau independen dari berbagai kepentingan.
Kelompok yang dimaksud adalah kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, negara sosialis, serta kelompok menginginkan Indonesia menjadi negara komunis.
"Lafran Pane hingga akhir hayatnya adalah dosen, tidak pernah jadi anggota partai politik mana pun," kata Hariqo.
Lafran menambah daftar tokoh nasional yang hidup dengan kesederhanaan. Salah satu contohnya adalah Menteri Penerangan dan sempat Menjadi Perdana Menteri Muhammad Natsir.
Guru Besar University Cornell sekaligus seorang Indonesianis asal Amerika, George McTurnan Kahin, menggambarkan kesederhanaan itu dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Kahin bertutur, saat pertama kali bertemu di Yogyakarta, dia heran dengan penampilan Natsir yang sama sekali tak tampak sebagai seorang menteri.
"Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun," tulis Kahin. Kemeja Natsir juga hanya ada dua, kata dia, itu pun kusam.
Tentu saja, kesederhanaan itu menjadi hal yang sekarang sulit ditemukan pada sosok elite baik di pemerintahan, di parlemen, maupun kabinet.
Jauh lebih gampang mencari jam bermerek dengan harga termahal atau mobil dalam gambaran kemewahan yang sama, alih-alih sebentuk kesederhanaan. (komp/t)
Tidak ada komentar