KPK Sebut Mantan KSAU Tolak Paparkan soal Pengadaan Heli AW101
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriatna menolak untuk menguraikan seputar peristiwa saat pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101 terjadi.
Hal tersebut terjadi saat Agus diperiksa oleh penyidik KPK.
Agus hari ini memang memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan korupsi pada pengadaan heli tersebut.
"Dari informasi yang kami dapatkan dari penyidik, saksi tidak bersedia menjelaskan atau menguraikan peristiwa yang terjadi pada saat itu," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (3/1/2018).
Febri melanjutkan, Agus enggan menguraikan soal pengadaan itu karena alasan hal tersebut menyangkut soal kerahasiaan.
"Karena menurut saksi, saat peristiwa terjadi Ia masih menjabat sebagai KSAU atau prajurit TNI aktif, sehingga ada hal-hal yang bersifat rahasia yang tidak bisa disampaikan," ujar Febri.
KPK kemudian mencatat keputusan Agus tersebut dalam berita acara pemeriksaan. Langkah selanjutnya lembaga antirasuah akan berkoordinasi dengan Polisi Militer TNI.
Adapun yang akan dikoordinasikan KPK dengan Polisi Militer TNI yakni soal sejauh mana aspek kerahasiaan tersebut berlaku.
"Apakah juga dalam konteks proses penegakan hukum atau tidak. Atau seperti apa. Nah ini yang memang menjadi salah satu poin yang dapat kita koordinasikan lebih lanjut dengan POM TNI," ujar Febri.
Dalam penangan perkara ini, lanjut Febri, memang ada dua wilayah hukum yang perlu dicermati. Wilayah pertama mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sementara wilayah berikutnya yakni ada aturan-aturan dalam hukum militer.
Karena itu, KPK melakukan koordinasi yang baik dengan POM TNI dalam menangani perkara ini. KPK percaya mengenai komitmen Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk penuntasan kasus ini ataupun dalam hal pencegahan kasus korupsi di lingkungan militer.
"Karena komitmen Panglima TNI tentu saja masih sangat dibutuhkan kalau kita bicara tentang kerja sama dan koordinasi dalam penanganan kasus korupsi," ujar Febri.
Agus sebelumnya diperiksa sebagai saksi untuk Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh.
Irfan merupakan pihak swasta yang dijerat oleh KPK terkait dugaan korupsi pada pengadaan heli tersebut. Lembaga antirasuah, diketahui turut menangani perkara ini bersama POM TNI.
Dalam kasus ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya.
Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas atau pekas Letkol admisitrasi WW.
Selain itu, staf yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda (Pembantu letnan dua) SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembelian helikopter tersebut.
Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden. Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar.
Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan. Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan.
Selain itu, heli yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara. Misalnya, heli tidak menggunakan sistem rampdoor.
Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar tersebut.
Sumber : kompas
Hal tersebut terjadi saat Agus diperiksa oleh penyidik KPK.
Agus hari ini memang memenuhi panggilan penyidik KPK untuk diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan korupsi pada pengadaan heli tersebut.
"Dari informasi yang kami dapatkan dari penyidik, saksi tidak bersedia menjelaskan atau menguraikan peristiwa yang terjadi pada saat itu," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (3/1/2018).
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna selesai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus pengadaan helikopter AgustaWestland (AW) 101. |
"Karena menurut saksi, saat peristiwa terjadi Ia masih menjabat sebagai KSAU atau prajurit TNI aktif, sehingga ada hal-hal yang bersifat rahasia yang tidak bisa disampaikan," ujar Febri.
KPK kemudian mencatat keputusan Agus tersebut dalam berita acara pemeriksaan. Langkah selanjutnya lembaga antirasuah akan berkoordinasi dengan Polisi Militer TNI.
Adapun yang akan dikoordinasikan KPK dengan Polisi Militer TNI yakni soal sejauh mana aspek kerahasiaan tersebut berlaku.
"Apakah juga dalam konteks proses penegakan hukum atau tidak. Atau seperti apa. Nah ini yang memang menjadi salah satu poin yang dapat kita koordinasikan lebih lanjut dengan POM TNI," ujar Febri.
Dalam penangan perkara ini, lanjut Febri, memang ada dua wilayah hukum yang perlu dicermati. Wilayah pertama mengacu pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Sementara wilayah berikutnya yakni ada aturan-aturan dalam hukum militer.
Karena itu, KPK melakukan koordinasi yang baik dengan POM TNI dalam menangani perkara ini. KPK percaya mengenai komitmen Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk penuntasan kasus ini ataupun dalam hal pencegahan kasus korupsi di lingkungan militer.
"Karena komitmen Panglima TNI tentu saja masih sangat dibutuhkan kalau kita bicara tentang kerja sama dan koordinasi dalam penanganan kasus korupsi," ujar Febri.
Agus sebelumnya diperiksa sebagai saksi untuk Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh.
Irfan merupakan pihak swasta yang dijerat oleh KPK terkait dugaan korupsi pada pengadaan heli tersebut. Lembaga antirasuah, diketahui turut menangani perkara ini bersama POM TNI.
Dalam kasus ini, TNI menetapkan lima orang tersangka dari jajarannya.
Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas atau pekas Letkol admisitrasi WW.
Selain itu, staf yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu yakni Pelda (Pembantu letnan dua) SS, dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Pembelian helikopter ini bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembelian helikopter tersebut.
Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden. Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar.
Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan. Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan.
Selain itu, heli yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara. Misalnya, heli tidak menggunakan sistem rampdoor.
Hasil perhitungan sementara ditemukan kerugian negara sekitar Rp 224 miliar dari nilai proyek Rp 738 miliar tersebut.
Sumber : kompas
Tidak ada komentar