Mahalnya Ongkos Politik...
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Politik butuh biaya tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa peserta pemilu harus menyiapkan dana tak sedikit untuk maju menjadi kepala daerah, anggota legislatif, ataupun presiden.
Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada.
Contohnya, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 62,6 miliar. Sementara, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar.
Angka itu naik siginifikan pada Pilkada DKI 2017. Pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp 85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp 82,6 miliar.
Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjrafina mengatakan, tahapan kampanye yang paling menguras dana peserta pemilu.
"Walau sudah diberi subsidi APBD, tapi laporan kampanye kandidat ke KPU ternyata tidak memberi dampak. Dana kampanye tetap mahal," kata Almas.
Setidaknya, ada lima tahapan pemilu yang dianggap membutuhkan modal besar.
Pertama, untuk menarik perhatian publik, partai atau bakal calon yang akan berlaga dalam pemilu membuat baliho hingga melakukan survei.
Kedua, calon tersebut juga harus menarik perhatian partai politik dengan menyerahkan "mahar".
Partai politik mematok harga masing-masing.
Almas mencontohkan, pengalaman Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Nyalla mengaku diminta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyerahkan uang sebesar Rp 40 miliar.
Nyalla menolak dan itu membuat Prabowo marah. Gerindra pun membatalkan pencalonan Nyalla sebagai calon Gubernur Jawa Timur.
"Ini menandakan bahwa parpol tidak menjadikan Pilkada sebagai ajang memajukan kadernya dalam menjalankan visi misi politik, tapi justru cari pendanaan," kata Almas.
Ketiga, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, saat kampanye merupakan tahapan termahal. Dalam Pasal 74 ayat 5 Undang-undang Pilkada, disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye perseorangan paling banyak Rp 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp 750 juta.
Meski politik uang dilarang, masing-masing calon boleh membagi-bagikan barang ke masyarakat dengan nilai tidak lebih dari Rp 25.000.
Tahapan yang juga menguras kantong adalah pendanaan saksi saat pemungutan suara.
Di Jawa Barat, kata Almas, ada calon yang butuh dana Rp 20 miliar hanya untuk dana saksi.
Terakhir, persiapan dan pengawalan sengketa. Kasus yang menyeret mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi contoh sempurna bagaimana pada tahapan ini para kandidat rela mengeluarkan banyak uang.
Ada potensi upaya para peserta pemilu memengaruhi keputusan hakim atas sengketa pemilu dengan melakukan suap.
Dengan banyaknya perkiraan dana yang harus dikeluarkan, para kepala daerah tentunya mengembalikan modal politik. Sementara, gaji dan tunjangan kepala dawrah misalnya, diyakini tidak akan menutupi jumlah tersebut.
Hal ini yang menjadi celah penyimpangan dan korupsi.
"Nantinya akan berdampak pada saat terpilih, bagaimana dia kembalikan modal atau utang politik kalau bukan dengan korupsi, jual beli jabatan, main proyek," jata Almas.
Mahar politik
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, mahar politik bukan menjadi sesuatu yang tabu, tetapi sulit dibuktikan.
Ia mengatakan, beberapa calon kepala daerah mengaku ada sejumlah dana yang cukup besar yang diminta partai politik agar bisa meminang calon tersebut.
"Saat itu bargaining position partai sangat tinggi. Konsekuensiny,a siapa yang bisa dapatkan tiket dari saya adalah yang bisa sepakat jumlah uang yang sama dan punya kepentingan yang sama," ujar Yunarto.
Biasanya, kata Yunarto, mahar diberikan dalam bentuk tunai agar tidak terlacak.
Supaya bentuk fisiknya tidak mencolok, kerap diberikan juga dalam bentuk mata uang asing. Bahkan, ia menganggap jumlah mahar bisa lebih besar dari dana kampanye.
Untuk Pilkada 2018, dengan 171 daerah yang akan melakukan pemilihan serentak, Yunarto menyebutkan, mahar politik naik berkali-kali lipat. Apalagi, bagi partai yang mengusung calon kepala daerah di menit-menit terakhir pendaftaran.
"Saya merasakan dan apa yang saya dengar jumlah mahar 2018 bukan hnnya paling besar, tapi saya lihat ada kenaikan berkali-kali lipat. Itu yang saya dengar, ya," kata Yunarto.
Selain mahar, politik uang juga menjadi hal yang selalu membayangi di setiap kontestasi politik.
Bahkan, politik uang sudah dianggap sebagai hal yang lumrah di dunia politik. Masyarakat menganggap bahwa setiap pemilihan merupakan ajang bagi-bagi uang, sembako, ataupun sekadar atribut partai.
"Sama kayak tidak sadar pelaku korupsi. Nyogok polisi saat ditilang, itu sudah korupsi. Bikin SIM nembak, itu dianggap sudah tradisi," kata Yunarto.
Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita
Sumber : kompas
Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangi Pilkada.
Contohnya, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 62,6 miliar. Sementara, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp 16,1 miliar.
ilustrasi |
Anggota Divisi Korupsi Politik ICW Almas Sjrafina mengatakan, tahapan kampanye yang paling menguras dana peserta pemilu.
"Walau sudah diberi subsidi APBD, tapi laporan kampanye kandidat ke KPU ternyata tidak memberi dampak. Dana kampanye tetap mahal," kata Almas.
Setidaknya, ada lima tahapan pemilu yang dianggap membutuhkan modal besar.
Pertama, untuk menarik perhatian publik, partai atau bakal calon yang akan berlaga dalam pemilu membuat baliho hingga melakukan survei.
Kedua, calon tersebut juga harus menarik perhatian partai politik dengan menyerahkan "mahar".
Partai politik mematok harga masing-masing.
Almas mencontohkan, pengalaman Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Nyalla mengaku diminta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyerahkan uang sebesar Rp 40 miliar.
Nyalla menolak dan itu membuat Prabowo marah. Gerindra pun membatalkan pencalonan Nyalla sebagai calon Gubernur Jawa Timur.
"Ini menandakan bahwa parpol tidak menjadikan Pilkada sebagai ajang memajukan kadernya dalam menjalankan visi misi politik, tapi justru cari pendanaan," kata Almas.
Ketiga, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, saat kampanye merupakan tahapan termahal. Dalam Pasal 74 ayat 5 Undang-undang Pilkada, disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye perseorangan paling banyak Rp 75 juta dan dari badan hukum swasta paling banyak Rp 750 juta.
Meski politik uang dilarang, masing-masing calon boleh membagi-bagikan barang ke masyarakat dengan nilai tidak lebih dari Rp 25.000.
Tahapan yang juga menguras kantong adalah pendanaan saksi saat pemungutan suara.
Di Jawa Barat, kata Almas, ada calon yang butuh dana Rp 20 miliar hanya untuk dana saksi.
Terakhir, persiapan dan pengawalan sengketa. Kasus yang menyeret mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi contoh sempurna bagaimana pada tahapan ini para kandidat rela mengeluarkan banyak uang.
Ada potensi upaya para peserta pemilu memengaruhi keputusan hakim atas sengketa pemilu dengan melakukan suap.
Dengan banyaknya perkiraan dana yang harus dikeluarkan, para kepala daerah tentunya mengembalikan modal politik. Sementara, gaji dan tunjangan kepala dawrah misalnya, diyakini tidak akan menutupi jumlah tersebut.
Hal ini yang menjadi celah penyimpangan dan korupsi.
"Nantinya akan berdampak pada saat terpilih, bagaimana dia kembalikan modal atau utang politik kalau bukan dengan korupsi, jual beli jabatan, main proyek," jata Almas.
Mahar politik
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, mahar politik bukan menjadi sesuatu yang tabu, tetapi sulit dibuktikan.
Ia mengatakan, beberapa calon kepala daerah mengaku ada sejumlah dana yang cukup besar yang diminta partai politik agar bisa meminang calon tersebut.
"Saat itu bargaining position partai sangat tinggi. Konsekuensiny,a siapa yang bisa dapatkan tiket dari saya adalah yang bisa sepakat jumlah uang yang sama dan punya kepentingan yang sama," ujar Yunarto.
Biasanya, kata Yunarto, mahar diberikan dalam bentuk tunai agar tidak terlacak.
Supaya bentuk fisiknya tidak mencolok, kerap diberikan juga dalam bentuk mata uang asing. Bahkan, ia menganggap jumlah mahar bisa lebih besar dari dana kampanye.
Untuk Pilkada 2018, dengan 171 daerah yang akan melakukan pemilihan serentak, Yunarto menyebutkan, mahar politik naik berkali-kali lipat. Apalagi, bagi partai yang mengusung calon kepala daerah di menit-menit terakhir pendaftaran.
"Saya merasakan dan apa yang saya dengar jumlah mahar 2018 bukan hnnya paling besar, tapi saya lihat ada kenaikan berkali-kali lipat. Itu yang saya dengar, ya," kata Yunarto.
Selain mahar, politik uang juga menjadi hal yang selalu membayangi di setiap kontestasi politik.
Bahkan, politik uang sudah dianggap sebagai hal yang lumrah di dunia politik. Masyarakat menganggap bahwa setiap pemilihan merupakan ajang bagi-bagi uang, sembako, ataupun sekadar atribut partai.
"Sama kayak tidak sadar pelaku korupsi. Nyogok polisi saat ditilang, itu sudah korupsi. Bikin SIM nembak, itu dianggap sudah tradisi," kata Yunarto.
Penulis : Ambaranie Nadia Kemala Movanita
Sumber : kompas
Tidak ada komentar