Header Ads

Mendidik Anak Bukan Sekadar Menyekolahkan

LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Seorang teman saya yang tinggal di Kalimantan mengeluhkan kualitas sekolah di kotanya, yang menurut dia buruk. "Perlukah saya mengirim anak sekolah ke Jawa?" tanyanya pada saya. Saya balik bertanya, "Siapa yang akan mendidik anakmu selama dia tinggal di Jawa?"

Bagi banyak orang, mendidik anak itu adalah memasukkan mereka ke sekolah. Pendidikan yang baik artinya memasukkan anak-anak ke sekolah yang baik, atau dikenal dengan sekolah favorit. Maka, orangtua rela menitipkan anaknya ke tempat lain, agar mereka mendapat pendidikan yang baik, alias mendapat sekolah yang baik.

Apakah itu sebuah pilihan yang buruk? Tidak. Hanya saja menimbulkan pertanyaan soal tanggung jawab pendidikan anak. Ketika anak kita titipkan pada orang lain, lantas apa peran kita sebagai orangtua dalam pendidikannya?

Hasanudin Abdurakhman
Pendidikan anak itu tanggung jawab orangtua. Saya kira tidak ada yang menyangkal pandangan ini. Lalu, apa peran sekolah? Sekolah, bagi saya, hanyalah institusi yang membantu setiap orangtua dalam mendidik anak. Peran orangtua tetap yang utama. Jangan sampai terbalik, seolah sekolah memegang peran utama, sehingga orangtua bisa lepas tangan kalau sudah memasukkan anak ke sekolah.

Artinya, bila tidak ada sekolah yang baik, atau sekolah yang ada tidak memuaskan, orangtua sebenarnya harus mengisi kekurangan itu dengan peran mereka. Dengan prinsip itu maka ada sejumlah oran tua yang memilih untuk tidak menyekolahkan anak ke sekolah formal, cukup menempuh pendidikan dengan cara homeschooling.

Saya tidak menempuh cara homeschooling, tapi menempatkan diri sebagai pemeran utama pendidikan anak. Dalam hal pelajaran akademik, saya terlibat langsung mengajari anak-anak saya berbagai pelajaran yang mereka terima di sekolah. Saya bantu anak-anak untuk memahami dengan lebih baik, ketika mereka masih kesulitan memahami materi yang diajarkan di sekolah. Ada bagian yang saya luruskan, ketika konsep yang diajarkan guru-guru menurut saya keliru. Ada pula bagian yang saya tambahkan, untuk pengayaan terhadap materi yang sudah diajarkan.

Itulah yang harus dilakukan oleh orangtua. Bila sekolah sudah cukup memenuhi kebutuhan anak kita, maka kita tinggal memperkayanya. Tapi ketika sekolah kita anggap tidak memadai, maka kita harus melengkapinya. Bila diperlukan, kita harus mengambil peran utama dalam pengajaran materi-materi akademik itu.

Pendidikan tentu bukan hanya soal materi akademik. Materi pelajaran itu sesungguhnya hanya bagian yang sangat kecil dari seluruh komponen pendidikan anak-anak kita. Yang lebih penting dari itu adalah pembentukan karakter, seperti gigih dan tangguh, tertib, bersih, hormat dan menghargai orang lain, dan sebagainya. Sebagian dari kebutuhan itu tentu saja bisa kita harapkan dipenuhi oleh sekolah. Tapi sekali lagi, peran terbesar dalam pembentukannya harus ada pada orangtua.

Porsi terbesar dalam pendidikan anak sebenarnya tidak melalui proses pengajaran, tapi melalui interaksi. Kita berinteraksi dengan anak setiap hari, dari situ kita menanamkan nilai-nilai. Interaksi itu dimulai dari sapaan, sentuhan, dan berbagai aktivitas yang kita lakukan bersama. Pembangunan karakter tadi tidak bisa hanya melalui nasihat verbal saja. Karena itu, interaksi adalah pusat dalam pendidikan anak kita. Nah, ketika anak-anak justru kita jauhkan dari kita, bukankah itu menghilangkan komponen terbesar tadi?

Banyak orangtua berdalih bahwa mereka tidak mampu melakukan itu semua. Kalau tidak mampu, artinya Anda merasa tidak mampu mendidik anak bukan? Lalu, kenapa punya anak? Dalam banyak kasus, para orangtua itu bukan tidak mampu, tapi tidak tahu atau tidak sadar. Mereka mengira pendidikan identik dengan sekolah. Yang sudah tahu, tidak punya cukup keinginan untuk melaksanakannya. Yang tidak mampu, tidak punya keinginan belajar, agar menjadi mampu.

Ya, setiap orang perlu belajar untuk menjadi orangtua. Menjadi orangtua bukan sekadar memenuhi hasrat seksual, yang akibat biologisnya adalah punya anak. Juga bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan psikologis, menikmati interaksi dengan anak hanya pada bagian yang kita sukai saja. Juga bukan untuk memenuhi kebutuhan sosial, punya anak karena orang lain punya anak.

Saat anak sudah hadir di kandungan, pasangan orang tua harus tahu bagaimana ia harus diperlakukan. Salah perlakuan bisa membuat bayi tadi terancam jiwanya, atau lahir cacat. Saat bayi sudah lahir, maka orangtua harus tahu bagaimana cara merawatnya. Perawatan diperlukan tidak hanya untuk fisik saja, tapi juga untuk kebutuhan psikisnya. Demikian pula seterusnya. Orangtua tidak boleh berhenti belajar, guna memenuhi kebutuhan untuk mendidik anak-anaknya.

Nah, banyak orangtua enggan melakukan itu. Makin besar anak tumbuh, makin kompleks kebutuhan pendidikannya. Artinya, makin kompleks hal-hal yang harus dipelajari. Guna mendorong anak saya agar tertarik belajar program komputer, saya harus belajar ulang tentang dasar-dasar pemrograman, misalnya. Kita harus terus belajar, karena kebutuhan anak kita yang sangat dinamis.

Jadi, sebenarnya tidak ada istilah tidak bisa dalam mendidik anak kita sendiri. Yang ada hanyalah tidak mau.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia


Sumber   : detik 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.