Suka Sebar Isu Hoax Disebut Gangguan Jiwa? Ini Komentar Dokter
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto menyebut para pelaku yang menyebar hoax, berita bohong, ujaran kebencian dan SARA sebagai orang dengan gangguan jiwa. Hal ini disampaikan menyusul ramainya pemberitaan soal isu penyerangan ke pemuka agama.
"Apa namanya kalau bukan sakit jiwa karena sukanya menggoreng isu hoax, lalu gorengan itu dimakan. Kemudian yang memakannya jadi ikut-ikutan menyebar hoax?" kata Ari dalam keterangan resminya, Jumat (23/2/2018).
"Saat penggoreng, penyebar hoax hingga pelaku ujaran kebencian justru menjadi pahlawan. Sementara pengidap penyakit kejiwaan yang sebenarnya menjadi tertuduh bahkan dihakimi oleh massa. Indonesia darurat KLB akal sehat dan hati yang bersih. Ada kejadian luar biasa saat ini, yaitu terbaliknya logika masyarakat," ujarnya lagi.
Menanggapi hal ini, pakar kejiwaan dr Agung Frijanto, SpKJ, Ketua Komite Medik Rumah Sakit Jiwa Soeharto Herdjan, mengatakan untuk mengetahui seseorang mengalami gangguan jiwa atau tidak, dibutuhkan pemeriksaan oleh dokter.
Terkait hal ini, dokter akan melihat apakah tindakan orang tersebut merupakan bentuk dari gangguan jiwanya, atau hanya karena adanya perbedaan pandangan.
"Bisa saja (gangguan jiwa). Antara isi pikir dengan perilakukanya itu sesuai atau nggak. Misalnya dia sebar hoax, dilihat dulu apa tujuannya sebelum kita bilang dia gangguan jiwa," tutur dr Agung .
Dikatakan dr Agung, ketika seseorang menyebarkan berita hoax karena isi pikirannya terganggu sehingga tidak bisa membedakan realita, bisa jadi orang tersebut mengalami gangguan jiwa. Namun jika hanya karena perbedaan pandangan politik, tidak bisa dikatakan sebagai gangguan jiwa.
"Sampai saat ini belum ada kriteria diagnosis gangguan jiwa karena perbedaan politik ya, belum ada," ungkapnya.
"Untuk mengetahui seseorang gangguan jiwa atau tidak, kita pastikan dulu, kita periksa, apakah ada gejalanya, lalu apakah tindakannya bagian dari gangguan jiwa atau tidak," tutupnya.
Sumber : detik
"Apa namanya kalau bukan sakit jiwa karena sukanya menggoreng isu hoax, lalu gorengan itu dimakan. Kemudian yang memakannya jadi ikut-ikutan menyebar hoax?" kata Ari dalam keterangan resminya, Jumat (23/2/2018).
ilustrasi |
Menanggapi hal ini, pakar kejiwaan dr Agung Frijanto, SpKJ, Ketua Komite Medik Rumah Sakit Jiwa Soeharto Herdjan, mengatakan untuk mengetahui seseorang mengalami gangguan jiwa atau tidak, dibutuhkan pemeriksaan oleh dokter.
Terkait hal ini, dokter akan melihat apakah tindakan orang tersebut merupakan bentuk dari gangguan jiwanya, atau hanya karena adanya perbedaan pandangan.
"Bisa saja (gangguan jiwa). Antara isi pikir dengan perilakukanya itu sesuai atau nggak. Misalnya dia sebar hoax, dilihat dulu apa tujuannya sebelum kita bilang dia gangguan jiwa," tutur dr Agung .
Dikatakan dr Agung, ketika seseorang menyebarkan berita hoax karena isi pikirannya terganggu sehingga tidak bisa membedakan realita, bisa jadi orang tersebut mengalami gangguan jiwa. Namun jika hanya karena perbedaan pandangan politik, tidak bisa dikatakan sebagai gangguan jiwa.
"Sampai saat ini belum ada kriteria diagnosis gangguan jiwa karena perbedaan politik ya, belum ada," ungkapnya.
"Untuk mengetahui seseorang gangguan jiwa atau tidak, kita pastikan dulu, kita periksa, apakah ada gejalanya, lalu apakah tindakannya bagian dari gangguan jiwa atau tidak," tutupnya.
Sumber : detik
Tidak ada komentar