Babiat Sitelpang, Raja Uti dan Si Boru Pareme
LINTAS PUBLIK, Dalam kebudayaan orang Batak (Toba) dan juga masyarakat tradisi lainnya di Indonesia biasanya punya penghormatan khusus terhadap seekor harimau. Binatang ini sering dimetaforkan sebagai penjelmaan dewa yang dalam berbagai cerita rakyat, kemunculannya sering untuk membantu manusia yang tengah berada dalam kesulitan.
Di Batak Toba harimau 'dewa' ini disebut babiat sitelpang atau harimau pincang. Disebut pincang karena konon harimau ini berkaki 3, sehingga ketika jalan kelihatan terpincang-pincang.
Tentang cerita itu, ada juga yang berpendapat, kaki babiat sitelpang itu sebenarnya ada 4 namun yang satu terlihat lebih kecil dari ketiga kaki lainnya. Karena ukurannya yang kecil, kaki itu menggantung dan tidak sampai memijak tanah.
Kegarangannya itu juga menginspirasi sampai ke lapangan hijau. Kita pun mengenal club bola Harimau Tapanuli yang dimasanya sangat disegani dalam dunia persepakbolaan tanah air.
Penghormatan orang Batak Toba terhadap harimau yang dipanggil Oppung ini, punya dasar kebudayaan yang bersumber dari cerita tentang Si Boru Pareme yang tak lain adalah istri incest Saribu Raja. Karena perbuatannya itu, ia diasingkan ke hutan oleh saudara-saudaranya yang lain. Sedangkan Saribu Raja, suaminya, diusir dari kampung halaman.
Di hutan Si Boru Pareme tinggal sendiri. Setiap hari ia meratapi hidupnya, sehingga membuat ia jatuh sakit. Melihat penderitaannya itu, Raja Uti (saudara tertuanya yang juga diasingkan ke hutan karena bentuk fisiknya sejak lahir tak lazim) menjadi iba.
Raja Uti mengutus seekor harimau untuk membantu Si Boru Pareme. Menyediakan makanan dan menjaga keselamatan Si Boru Pareme dari binatang buas yang ada di hutan.
Namun ada juga versi menyebut, Raja Uti dengan segala kesaktiannya itulah yang menjelma menjadi seekor harimau. Mengingat fisik Raja Uti tidak seperti orang normal, sehingga ketika mewujud menjadi harimau, bentuk kakinya juga tidak sempurna. Disebutlah babiat sitelpang. Singkatnya, harimau inilah yang melindungi Si Boru Pareme selama tinggal di hutan.
Cerita ini hidup dalam kebudayaan orang Batak Toba selama beratus-ratus tahun. Bertransformasi dan mewujud menjadi nilai-nilai sosial dan kebudayaan. Misalnya ketika tersesat di hutan, orang Batak Toba akan berdoa agar dilindungi babiat sitelpang dari serangan binatang buas.
Begitu juga bila hendak memasuki hutan atau membuka perladangan baru, orang Batak Toba terlebih dulu meminta izin kepada babiat sitelpang yang dianggap penguasa wilayah yang bukan wilayah hunian manusia.
"Sattabi oppung naeng mamolus ma hami di hutam on" (permisi Oppung kami mau melintas di kampungmu ini) demikianlah kata-kata yang biasa diucapkan.
Begitulah cara masyarakat tradisi Batak Toba menghormati zona-zona yang ada pada alam. Mereka memahami bahwa setiap makhluk hidup mempunyai daerah kekuasaannya sendiri. Bahwa setiap zona yang bukan hunian manusia (alam bebas) juga ada penghuninya. Yakni sesosok harimau yang dalam bahasa modern kita kenal sebagai Si Raja Hutan.
Istilah babiat sitelpang dengan bentuk fisik dan perawakannya yang khas itu, adalah benang merah atas kepercayaan spiritual mereka terhadap sosok Raja Uti .
Raja Uti sendiri dalam kebudayaan orang Batak Toba digambarkan sebagai sosok suci yang ketika terlahir tidak memiliki alat-alat tubuh yang lengkap. Hanya berupa daging tanpa kaki dan tangan.
Raja Uti adalah asosiasi simbol penolong, pembawa kabar sekaligus perantara antara manusia dengan Tuhan. Ia juga peletak nilai-nilai dasar dan spiritualitas budaya Batak Toba.
Ia bisa berubah wujud dalam berbagai bentuk termasuk menjadi seekor harimau. Hal itu dapat kita lihat dari prasasti Raja Uti di Parsaktian Guru Tatea Bulan yang ada di kaki Gunung Pusuk Buhit dan juga yang ada di Barus. Mengapa harimau, jawaban paling sederhana, karena binatang ini berada di posisi teratas rantai makanan setelah manusia.
Tapi nilai-nilai itu kini sudah dilupakan, seiring dengan hilangnya pengetahuan kebudayaan atasnya. Harimau justru menjadi musuh utama manusia. Terbukti akhir-akhir ini kasus pembantaian harimau santer diberitakan media. Antara lain terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Jambi. Mereka dibunuh karena masuk ke pemukiman warga. Padahal, bukankah harimau-harimau itu terpaksa "turun gunung" karena manusia lebih dulu menyerobot wilayah mereka?
Sumber : medanbisnis
Di Batak Toba harimau 'dewa' ini disebut babiat sitelpang atau harimau pincang. Disebut pincang karena konon harimau ini berkaki 3, sehingga ketika jalan kelihatan terpincang-pincang.
Tentang cerita itu, ada juga yang berpendapat, kaki babiat sitelpang itu sebenarnya ada 4 namun yang satu terlihat lebih kecil dari ketiga kaki lainnya. Karena ukurannya yang kecil, kaki itu menggantung dan tidak sampai memijak tanah.
Ilustrasi Harimau Sumatera |
Harimau bagi orang Batak Toba punya nilai-nilai tersendiri. Dia simbol penolong, pelindung serta melambangkan kekuatan. Tidak heran bila sifat dan perilakunya, terutama cara bertarung, mengintai dan berburu mangsa menjadi insipirasi dalam seni bela diri Batak Toba yang disebut mossak.
Kegarangannya itu juga menginspirasi sampai ke lapangan hijau. Kita pun mengenal club bola Harimau Tapanuli yang dimasanya sangat disegani dalam dunia persepakbolaan tanah air.
Penghormatan orang Batak Toba terhadap harimau yang dipanggil Oppung ini, punya dasar kebudayaan yang bersumber dari cerita tentang Si Boru Pareme yang tak lain adalah istri incest Saribu Raja. Karena perbuatannya itu, ia diasingkan ke hutan oleh saudara-saudaranya yang lain. Sedangkan Saribu Raja, suaminya, diusir dari kampung halaman.
Di hutan Si Boru Pareme tinggal sendiri. Setiap hari ia meratapi hidupnya, sehingga membuat ia jatuh sakit. Melihat penderitaannya itu, Raja Uti (saudara tertuanya yang juga diasingkan ke hutan karena bentuk fisiknya sejak lahir tak lazim) menjadi iba.
Raja Uti mengutus seekor harimau untuk membantu Si Boru Pareme. Menyediakan makanan dan menjaga keselamatan Si Boru Pareme dari binatang buas yang ada di hutan.
Dikirim oleh Lintas Publik pada 15 Maret 2018
Namun ada juga versi menyebut, Raja Uti dengan segala kesaktiannya itulah yang menjelma menjadi seekor harimau. Mengingat fisik Raja Uti tidak seperti orang normal, sehingga ketika mewujud menjadi harimau, bentuk kakinya juga tidak sempurna. Disebutlah babiat sitelpang. Singkatnya, harimau inilah yang melindungi Si Boru Pareme selama tinggal di hutan.
Cerita ini hidup dalam kebudayaan orang Batak Toba selama beratus-ratus tahun. Bertransformasi dan mewujud menjadi nilai-nilai sosial dan kebudayaan. Misalnya ketika tersesat di hutan, orang Batak Toba akan berdoa agar dilindungi babiat sitelpang dari serangan binatang buas.
Begitu juga bila hendak memasuki hutan atau membuka perladangan baru, orang Batak Toba terlebih dulu meminta izin kepada babiat sitelpang yang dianggap penguasa wilayah yang bukan wilayah hunian manusia.
"Sattabi oppung naeng mamolus ma hami di hutam on" (permisi Oppung kami mau melintas di kampungmu ini) demikianlah kata-kata yang biasa diucapkan.
Begitulah cara masyarakat tradisi Batak Toba menghormati zona-zona yang ada pada alam. Mereka memahami bahwa setiap makhluk hidup mempunyai daerah kekuasaannya sendiri. Bahwa setiap zona yang bukan hunian manusia (alam bebas) juga ada penghuninya. Yakni sesosok harimau yang dalam bahasa modern kita kenal sebagai Si Raja Hutan.
Istilah babiat sitelpang dengan bentuk fisik dan perawakannya yang khas itu, adalah benang merah atas kepercayaan spiritual mereka terhadap sosok Raja Uti .
Raja Uti sendiri dalam kebudayaan orang Batak Toba digambarkan sebagai sosok suci yang ketika terlahir tidak memiliki alat-alat tubuh yang lengkap. Hanya berupa daging tanpa kaki dan tangan.
Raja Uti adalah asosiasi simbol penolong, pembawa kabar sekaligus perantara antara manusia dengan Tuhan. Ia juga peletak nilai-nilai dasar dan spiritualitas budaya Batak Toba.
Ia bisa berubah wujud dalam berbagai bentuk termasuk menjadi seekor harimau. Hal itu dapat kita lihat dari prasasti Raja Uti di Parsaktian Guru Tatea Bulan yang ada di kaki Gunung Pusuk Buhit dan juga yang ada di Barus. Mengapa harimau, jawaban paling sederhana, karena binatang ini berada di posisi teratas rantai makanan setelah manusia.
Tapi nilai-nilai itu kini sudah dilupakan, seiring dengan hilangnya pengetahuan kebudayaan atasnya. Harimau justru menjadi musuh utama manusia. Terbukti akhir-akhir ini kasus pembantaian harimau santer diberitakan media. Antara lain terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Jambi. Mereka dibunuh karena masuk ke pemukiman warga. Padahal, bukankah harimau-harimau itu terpaksa "turun gunung" karena manusia lebih dulu menyerobot wilayah mereka?
Sumber : medanbisnis
Tidak ada komentar