Bubarkan Parpol Terlibat Korupsi
LINTAS PUBLIK, Belakangan mencuat usulan agar partai politik (parpol) penerima uang korupsi, dibubarkan. Ini menyusul pengakuan terdakwa Setya Novanto dalam persidangan, terkait dugaan adanya aliran uang e-KTP ke Rapimnas Golkar sebesar Rp 5 miliar.
Pertanyannya kemudian, apakah mungkin parpol yang demikian dibubarkan? Sejumlah pakar hukum tata negara seperti Yusril Ihza Mahendra dan Margarito berpendapat parpol penerima uang korupsi bisa dibubarkan.
Bahkan, Jaksa Agung, M. Prasetyo mengatakan parpol yang menerima aliran duit dari hasil korupsi dapat dipidanakan dan dibubarkan. Hanya saja, perbuatan itu harus dibuktikan secara hukum, artinya aliran dana hasil korupsi benar – benar masuk kepada parpol dan digunakan untuk kepentingan parpol.
Lantas bagaimana jika yang menertima uag korupsi itu petinggi atau oknum pejabat parpol? Jawabnya bisa beragam asumsi.
Di satu sisi berpendapat oknum pejabat /petinggi parpol, bersifat personal, bukan parpol sebagai korporasi berbadan hukum. Yang bersangkutan menerima aliran dana korupsi atas nama pribadi, bukan parpol. Meski dia menerima upeti karena jabatannya sebagai petinggi parpol.
Sudah banyak petinggi parpol yang terjerat korupsi tetapi mereka menghadapi tuntutan hukum sebagai pribadi. Yang terjadi kemudian dalam persidangan para tersangka/terdakwa dan terpidana tersebut menyebut koleganya, bukan parpolnya.
Di sisi lain menilai Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membubarkan parpol korupsi, jika didukung dengan bukti – bukti. Dengan bukti yang dimiliki, maka dapat dikatakan parpol dimaksud telah merusak sendi – sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bertentangan dengan UUD 1945 serta peraturan perundang -undangan.
Masalahnya kemudian apakah bisa serta merta dibubarkan, mengingat sanksi terhadap parpol sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol jo UU 2 Tahun 2011, dilakukan secara berjenjang, dimulai dari pembekuan sementara. Jika melanggar lagi, baru dilakukan pembubaran.
Tak heran jika dikatakan pembubaran parpol tidak bisa dilakukan serta merta, prosesnya cukup berliku, rumit dan sulit. Yang pertama tentu harus membuktikan parpol sebagai korporasi terlibat korupsi. Belum lagi multitafsir tentang perbuatan yang masuk kategori bertentangan dengan UUD 1945 serta peraturan perundang – undangan. Apakah perbuatan korupsi termasuk dalam kategori dimaksud?
Lepas dari kontroversi, saatnya aturan main tentang parpol direvisi, sementara bagi para petinggi parpol mengembangkan tanggung jawab moral atas prilaku anggotanya yang terlibat korupsi, sebelum melangkah kepada tanggung jawab hukum.
Sumber : poskota
Pertanyannya kemudian, apakah mungkin parpol yang demikian dibubarkan? Sejumlah pakar hukum tata negara seperti Yusril Ihza Mahendra dan Margarito berpendapat parpol penerima uang korupsi bisa dibubarkan.
Bahkan, Jaksa Agung, M. Prasetyo mengatakan parpol yang menerima aliran duit dari hasil korupsi dapat dipidanakan dan dibubarkan. Hanya saja, perbuatan itu harus dibuktikan secara hukum, artinya aliran dana hasil korupsi benar – benar masuk kepada parpol dan digunakan untuk kepentingan parpol.
Lantas bagaimana jika yang menertima uag korupsi itu petinggi atau oknum pejabat parpol? Jawabnya bisa beragam asumsi.
Di satu sisi berpendapat oknum pejabat /petinggi parpol, bersifat personal, bukan parpol sebagai korporasi berbadan hukum. Yang bersangkutan menerima aliran dana korupsi atas nama pribadi, bukan parpol. Meski dia menerima upeti karena jabatannya sebagai petinggi parpol.
Sudah banyak petinggi parpol yang terjerat korupsi tetapi mereka menghadapi tuntutan hukum sebagai pribadi. Yang terjadi kemudian dalam persidangan para tersangka/terdakwa dan terpidana tersebut menyebut koleganya, bukan parpolnya.
Di sisi lain menilai Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membubarkan parpol korupsi, jika didukung dengan bukti – bukti. Dengan bukti yang dimiliki, maka dapat dikatakan parpol dimaksud telah merusak sendi – sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, bertentangan dengan UUD 1945 serta peraturan perundang -undangan.
Masalahnya kemudian apakah bisa serta merta dibubarkan, mengingat sanksi terhadap parpol sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol jo UU 2 Tahun 2011, dilakukan secara berjenjang, dimulai dari pembekuan sementara. Jika melanggar lagi, baru dilakukan pembubaran.
Tak heran jika dikatakan pembubaran parpol tidak bisa dilakukan serta merta, prosesnya cukup berliku, rumit dan sulit. Yang pertama tentu harus membuktikan parpol sebagai korporasi terlibat korupsi. Belum lagi multitafsir tentang perbuatan yang masuk kategori bertentangan dengan UUD 1945 serta peraturan perundang – undangan. Apakah perbuatan korupsi termasuk dalam kategori dimaksud?
Lepas dari kontroversi, saatnya aturan main tentang parpol direvisi, sementara bagi para petinggi parpol mengembangkan tanggung jawab moral atas prilaku anggotanya yang terlibat korupsi, sebelum melangkah kepada tanggung jawab hukum.
Sumber : poskota
Tidak ada komentar