Header Ads

Percakapan Menteri BUMN dan Dirut PLN: Konglomerasi Energi dan Dampaknya bagi Citra Presiden Jokowi

LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir membenarkan suara mereka dalam rekaman percakapan tentang proyek energi yang viral di media sosial akhir pekan lalu.

Namun keduanya menyebut perbincangan telepon tersebut dipotong sebelum diunggah ke internet. Mereka kini berancang-ancang membawa persoalan rekaman itu ke ranah hukum.

"Emang ada percakapan yang dipotong sedemikian rupa sepertinya ada proyek minta fee," kata Rini kepada pers di Karanganyar, Jawa Tengah,  Mnggu (29/04/2018).

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan
Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir
Bagaimanapun, pengamat menilai perbincangan Rini dan Sofyan itu menggambarkan pengelolaan perusahaan pelat merah. Di sisi lain, rekaman itu diprediksi dapat berpengaruh pada citra Presiden Joko Widodo.

Percakapan Rini dan Sofyan pada akhir 2016 itu tidak secara eksplisit menyebut suatu proyek. Meski begitu, beragam pemberitaan media nasional mengaitkannya dengan proyek pembangunan terminal penerimaan gas alam cair (LNG) di Bojonegara, Serang, Banten.

Pertengahan November 2016, PT Bumi Sarana Migas (BSM) mengklaim proyek itu sebagai gagasan mereka. Merujuk berbagai sumber, Direktur BMS adalah Solihin Kalla, anak kedua JK.

BMS merupakan bagian dari Kalla Group, kelompok usaha yang berpusat di Sulawesi Selatan, milik keluarga besar Wakil Presiden Jusuf Kalla alias JK.

Juru bicara BMS, Nanda Sinaga, saat itu menyebut telah menawarkan kerja sama proyek bernilai sekitar Rp10 triliun tersebut ke sejumlah calon mitra, di antaranya PT Pertamina (Persero) serta dua korporasi asal Jepang: Tokyo Gas dan Mitsui.

Namun saat itu Vice President LNG Pertamina Didik Sasongko Widi, memprediksi proyek Bojonegara itu molor. Ia berkata, perusahaan yang menjadi anggota konsorsium tak kunjung menuntaskan perdebatan soal perihal yang enggan dipublikasinya.

Dalam perbicangannya dengan Sofyan yang viral, Rini berkata, "Sebaiknya yang harus ambil ini dua: Pertamina dan PLN. Jadi dua-duanya punya saham."

Ada pula sejumlah penggalan kalimat Rini lainnya, seperti, "Jadi masalah off-take, kalau tidak dapat off-take, dari sana juga tidak dapat pendanaan."

Ada pula, pernyataan Rini, "Biar bagaimana, BUMN ini kan tetap kita jaga. Akhirnya komitmen dari BUMN untuk mereka supaya IRR (internal rates of return) masuk, tidak terlepas dari kita karena yang utama, yang beli adalah PLN."

Sementara itu, perkataan Sofyan lebih merujuk pada besaran saham. "Dikasih kecil kemarin, saya bertahan, bu."

"Cuma 15% berdua, saya bilang, ya enggak net lah pak. Saya bilang jangan segitulah, pak. Malu saya sebagai dirut PLN masa dapat 7,5%."

Untung-rugi

Fabby Tumiwa, pengamat energi dari ‎Institute for Essential Services Reform, menilai keterlibatan Pertamina dan PLN vital pada keberlanjutan proyek Bojonegara.

Merujuk pernyataan Rini, Fabby menyebut dua BUMN itu merupakan jaminan atas investasi pembangunan terminal LNG itu.

"Dalam proyek energi besar, biasanya harus jelas siapa yang beli produknya. Dalam konteks ini pembeli besar itu adalah PLN dan Pertamina."

"Industri kan hanya membeli dalam skala kecil dan sulit membuat kontrak jangka panjang, kecuali harganya murah sekali," ujar Fabby melalui sambungan telepon.

Namun, kata Fabby, keputusan BUMN memegang saham dalam konsorsium sepatutnya didasarkan pada analisis rencana jangka menengah dan panjang.

Menurutnya, investasi uang dalam jumlah besar yang setara dengan kepemilikan saham besar belum tentu menjamin keuntungan bagi perusahaan pelat merah.

"Kalau jadi shareholder (pemegang saham), PLN harus setor modal. Ada risiko yang harus mereka tanggung, misalnya ada sesuatu yang menimpa proyek itu, dibatalkan atau mangkrak, PLN ikut menanggung kerugiannya," kata Fabby.

Lebih dari itu, Fabby menilai keinginan Sofyan Basir memiliki saham besar dalam proyek Bojonegara agar PLN memiliki posisi tawar dalam keputusan konsorsium, termasuk mengenai pasokan dan harga jual.

Padahal, kata Fabby, tanpa saham besar pun, perusahaan BUMN tetap memiliki posisi tawar besar di terminal LNG Bojonegara karena menurutnya, "proyek itulah yang membutuhkan PLN dan Pertamina."

Kepada pers di Karanganyar, Sabtu (28/04), Sofyan mengatakan, pembangunan terminal LNG itu sekarang mandek karena perdebatan besaran saham.

"Proyek itu tidak jadi jalan karena kami tidak sepakat mengenai saham. Saya ingin saham yang lebih besar, 30%," ucapnya.

Elektabilitas Jokowi

Meski tak sama sekali menyangkut nama Presiden Joko Widodo, rekaman pembicaraan Rini dan Sofyan dinilai dapat berpengaruh pada citra kader PDIP yang telah menyatakan akan maju pada pilpres 2019.

Anggota Komisi VII dari PDIP, Daryatmo Mardiyanto, menilai rekaman itu berpotensi memunculkan prasangka. Sementara Sekjen PDIP Hasto Krisyanto tanpa menyebut nama, menuding terdapat menteri yang tak loyal pada Jokowi.

Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI, menilai pertengahan 2018 merupakan momen krusial bagi para figur yang akan berpartisipasi pada Pilpres 2019.

"Fenomena, pernyataan dan kejadian apapun dapat menjadi hal yang diolah untuk menjatuhkan seseorang. Dalam perspektif politik, ini adalah masa-masa yang harus dijaga," kata Firman.

Adapun, Arya Fernandes, pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies, menganggap para kontestan ajang politik rawan dikaitkan dengan beragam isu negatif jelang pemilihan.

"Saat kontestasi semakin dekat dan kompetisi antarkandidat kuat, isu seputar rekam jejak kandidat dan orang di lingkaran terdekat kandidat akan terus muncul," tuturnya.


Sumber   : bbc 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.