Header Ads

Dewan Pers: Media Jangan Jadi 'Spion' Teroris

LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Dewan pers mengimbau kalangan jurnalis tidak terlalu menggembar-gemborkan pemberitaan soal terorisme. Pemberitaan media sebaiknya tidak menjadi 'spion' bagi kelompok teroris.

"Kami menyaksikan, kebetulan, kok dari pagi sampai malam pemberitaan terus-menerus tentang teror. Ini justru, Dewan Pers ini membuat aturan jangan sampai mengglorifikasi, membuat teroris bangga diberitakan," kata Wakil Ketua Dewan Pers Ahmad Djauhar, Selasa (22/5/2018).

Hal itu diungkapkan Djauhar dalam diskusi publik bertajuk 'Terorisme, Moralitas Media dan Kebangsaan Kita' yang digelar di kantor PWI Pusat, Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Diskusi ini juga dihadiri oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Agum Gumelar, mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan, dan mantan Kepala BNPT Ansyaad Mbai.


Menurut Djauhar, kelompok teroris akan memantau pemberitaan terkait aksi mereka dan pergerakan aparat polisi melalui pemberitaan media massa. Ia mencontohkan pengeboman di Mumbai. Dalam kasus itu, teroris memanfaatkan pemberitaan di media massa.

"Media itu oksigen para teroris, teroris akan senang sekali kalau diberitakan. Konon kabarnya, ketika disorot di TV, para teroris yang ada di rumah tahu polisi ada di situ situ, media jadi spion teroris, sangat disayangkan. Peristiwa ini konon terjadi di Bom Mumbai kemarin, jadi mereka mengikuti persis gerakan polisi dan sebagainya. Teroris memperoleh manfaat indra kedelapannya (dari media massa), 'Oh, ada serbuan di sini di sini'," tuturnya.

Di beberapa negara, peliputan mengenai teroris dibatasi. Sedangkan di Indonesia, pemberitaan terkait teroris hampir setiap saat menghiasi layar kaca, koran, hingga media online.

"Di Thailand ada semacam kesepakatan, media tidak boleh menyingkap itu, karena itu fakta, (tetapi) tetap boleh diberitakan tapi sehari saja dan besok tidak boleh, dan pemberitaannya harus biasa saja. Hari berikutnya, berita yang normal. Bukan berhari-hari meliput teroris, itu benar-benar kayak kurang hiburan," ungkapnya.

Di sisi lain, jurnalis juga diharapkan menyajikan berita sesuai dengan kode etik. Jurnalis wajib mematuhi pedoman peliputan terorisme.

"Nah, kemudian yang diharapkan teman-teman mematuhi yang jadi arahan Dewan Pers, pedoman peliputan terorisme, wartawan ikut uji kompetensi wartawan. Kalau kurang jelas, ada di website Dewan Pers," ungkapnya.

Sementara itu, Bagir berpendapat pers adalah alat pengendali. Namun, kondisi saat ini, tuntutan persaingan media massa membuat pers seolah kehilangan kode etik dalam pemberitaan.

"Kadang pers itu menggeser juga prinsip aktif itu, misalnya tuntutan persaingan antarpers, antara lain makin cepat memberitakan itulah dianggap pers yang bagus, sehingga kita tidak sempat melakukan koreksi. Apa hal dalam terorisme prinsip seperti itu perlu kita jalankan juga? Apa soal terorisme harus diseleksi dulu? Sudah pasti kode etik pers melarang untuk menampilkan gambar-gambar yang kejam," kata Bagir.

Adapun Ansyaad Mbai mengatakan pencegahan radikalisme merupakan peran seluruh elemen masyarakat. Pers juga berperan dalam mengemas pemberitaan soal terorisme agar tidak menimbulkan ketakutan di masyarakat.

"Saya setuju sekali, tidak cukup hanya TNI dan polisi, seluruh pemerintah, seperti Kemenag, Menteri Pendidikan, Kemenkominfo, Kemendagri. Tidak mungkin polisi menangkap orang lagi khotbah, apalagi di masjid. Nah, oleh karena itu, kaitan tadi, saran saya, ada dari PBB yang waktu itu memberi pesan, media yang memberitakan terorisme yang tidak profesional, maka pemberitaan Anda-lah yang menakutkan," kata Ansyaad.

Sedangkan Agum menyoroti perkembangan media sosial. Menurutnya, media sosial juga sangat berperan dalam tumbuh kembangnya kelompok radikal.

"Di era global ini, seiring dengan perkembangan teknologi, spektrum perkembangan teror pun meningkat dan ini yang sulit kita atasi," kata Agum.

Agum mendukung ketegasan pemerintah dalam penanggulangan terorisme ini. Untuk itu, Agum menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu tentang Penanggulangan Terorisme.

"Karena RUU Antiterorisme ini lelet, kami menyarankan kepada Presiden untuk mengeluarkan perppu. Presiden jawab, beliau sudah koordinasi dengan DPR, jika sampai Juni belum disahkan, akan mengeluarkan perppu," kata Agum.

Sumber  : detik 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.