Hakim Artidjo Alkostar, Santet dan Ayam Bekisar
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Sejak dua bulan menjadi hakim agung pada tahun 2000, cobaan untuk menyuap Artidjo Alkostar berdatangan. Untuk mencegahnya, dia sengaja menolak pihak-pihak yang berpekara menjadi tamu di kantornya. Ia memasang secarik pesan di pintu ruang kerjanya di Mahkamah Agung, "Tidak Menerima Tamu Yang Ingin Membicarakan Perkara."
Toh begitu, ada saja orang yang nekad dan mencoba datang ke kediaman Artidjo. Buku Semangat dan Totalitas Membangun Negeri yang disusun oleh tim Kick Andy mengisahkan, Artidjo tegas mengusir tamu yang diketahui berniat membicarakan perkara.
BACA JUGA Ternyata Jiwa Kejujuran Siantar Man Itu Masih Melekat
Polah penyuap-pun sangat kreatif. Ada seorang pihak berperkara mengaku sebagai kerabat istrinya dan memberikan uang kepada sopir pribadinya. Orang itu-pun dicari Artidjo dan ketika bertemu langsung dimarahinya.
Jangankan suap berupa materi, Artidjo juga tak mau menerima pujian dan penghargaan selama menjabat sebagai hakim agung. Almamaternya, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta pernah memberikan UII Award dan ditolak oleh Artidjo.
"Untuk bermimpi seorang hakim mendapatkan penghargaan dalam karya yudisialnya saja tidak boleh. Saya ini di dunia jadi hakim agung tapi di akhirat (bisa) menjadi terdakwa," tulis buku itu merekam pernyataan Artidjo.
Sikap keras Artidjo bukan tanpa risiko. Ia pernah mendapat informasi, fotonya sengaja dikirimkan oleh salah satu pihak berperkara kepada 'orang pintar' di Banten untuk disantet. Artidjo menyatakan dissenting opinion (pandangan berbeda) dalam putusan perkara itu. Dan ia hanya tertawa mendengar kabar soal dirinya pernah akan disantet.
Selama terjun di bidang hukum, hidup lelaki kelahiran Situbondo, 22 Mei 1948 itu boleh dibilang kerap menyerempet bahaya. Ancaman fisik dan teror kerap diterimanya. Saat menjadi pendamping korban konflik di Timor Timur (kini Timor-Leste), jeruji jendela kamar hotel tempatnya menginap digergaji oleh sekelompok orang berpakaian ninja. Toh dia tak ciut nyali.
"Kekayaan hanya sementara dan tidak berguna ketika sudah meninggal," ucapnya.
Keberanian dan sikap keras inilah yang mengantarkannya untuk membuat putusan tanpa beban. Namun tekanan sesekali tetap ia rasakan. Artidjo mengaku punya cara tersendiri untuk melemaskan ketegangan tersebut.
Ia biasa menikmati lantunan lagu-lagu yang dikoleksinya dari musik mandarin, country, Timur Tengah, hingga Madura. Selain itu ia suka bertanam dan memelihara ayam bekisar.
"Ketika kalah perkara, saya sering mendengarkan suara ayam bekisar," akunya.
Selama 18 tahun menjadi hakim agung, ia pernah ikut menangani 842 kasus korupsi. Ada yang menyebutnya penjagal koruptor karena kerap memperberat hukuman di tingkat kasasi, termasuk jenderal politisi, pengacara, dan politisi yang korup.
Sumber : detik
Toh begitu, ada saja orang yang nekad dan mencoba datang ke kediaman Artidjo. Buku Semangat dan Totalitas Membangun Negeri yang disusun oleh tim Kick Andy mengisahkan, Artidjo tegas mengusir tamu yang diketahui berniat membicarakan perkara.
BACA JUGA Ternyata Jiwa Kejujuran Siantar Man Itu Masih Melekat
Polah penyuap-pun sangat kreatif. Ada seorang pihak berperkara mengaku sebagai kerabat istrinya dan memberikan uang kepada sopir pribadinya. Orang itu-pun dicari Artidjo dan ketika bertemu langsung dimarahinya.
Jangankan suap berupa materi, Artidjo juga tak mau menerima pujian dan penghargaan selama menjabat sebagai hakim agung. Almamaternya, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta pernah memberikan UII Award dan ditolak oleh Artidjo.
"Untuk bermimpi seorang hakim mendapatkan penghargaan dalam karya yudisialnya saja tidak boleh. Saya ini di dunia jadi hakim agung tapi di akhirat (bisa) menjadi terdakwa," tulis buku itu merekam pernyataan Artidjo.
Sikap keras Artidjo bukan tanpa risiko. Ia pernah mendapat informasi, fotonya sengaja dikirimkan oleh salah satu pihak berperkara kepada 'orang pintar' di Banten untuk disantet. Artidjo menyatakan dissenting opinion (pandangan berbeda) dalam putusan perkara itu. Dan ia hanya tertawa mendengar kabar soal dirinya pernah akan disantet.
Selama terjun di bidang hukum, hidup lelaki kelahiran Situbondo, 22 Mei 1948 itu boleh dibilang kerap menyerempet bahaya. Ancaman fisik dan teror kerap diterimanya. Saat menjadi pendamping korban konflik di Timor Timur (kini Timor-Leste), jeruji jendela kamar hotel tempatnya menginap digergaji oleh sekelompok orang berpakaian ninja. Toh dia tak ciut nyali.
"Kekayaan hanya sementara dan tidak berguna ketika sudah meninggal," ucapnya.
Keberanian dan sikap keras inilah yang mengantarkannya untuk membuat putusan tanpa beban. Namun tekanan sesekali tetap ia rasakan. Artidjo mengaku punya cara tersendiri untuk melemaskan ketegangan tersebut.
Ia biasa menikmati lantunan lagu-lagu yang dikoleksinya dari musik mandarin, country, Timur Tengah, hingga Madura. Selain itu ia suka bertanam dan memelihara ayam bekisar.
"Ketika kalah perkara, saya sering mendengarkan suara ayam bekisar," akunya.
Selama 18 tahun menjadi hakim agung, ia pernah ikut menangani 842 kasus korupsi. Ada yang menyebutnya penjagal koruptor karena kerap memperberat hukuman di tingkat kasasi, termasuk jenderal politisi, pengacara, dan politisi yang korup.
Sumber : detik
Tidak ada komentar