VIDEO 40 tahun Terpisah, Anak Indonesia Diadopsi warga Belanda Bertemu Ibu Kandung
LINTAS PUBLIK, Andre Kuik tak dapat menahan tangis ketika pertama kali bertemu dengan ibunya setelah 40 tahun, dia diadopsi warga Belanda sejak berusia lima bulan dan tinggal di Negeri Kincir Angin. Rasa lelahnya menempuh perjalanan dari Belanda ke Pringsewu, Lampung, langsung hilang begitu bertemu dengan ibu kandung, kakak laki-laki dan adik perempuannya untuk pertama kali. BBC Indonesia mengikuti perjalanan Andre dari Belanda ke Lampung.
Bagi Andre Kuik dan pasangannya, Marjolein Wissink, perjalanan ke Lampung pada pertengahan April lalu, merupakan yang ketiga kalinya. Namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia pasti bertemu dengan ibu kandungnya, Kartini (65 tahun) serta saudara kandungnya.
Perasaannya tak menentu. Setelah tiba di Jakarta setelah terbang sekitar 15 jam dari Belanda, Andre tak dapat tidur di malam hari. Esok harinya, dia dan Marjolein bergegas ke Lampung dengan penerbangan di pagi hari.
"Sangat bahagia, gugup dan saya sangat merasakan mereka sangat dekat," ungkap Andre ketika sampai di Pringsewu, beberapa kilometer dari rumah ibunya.
Kegelisahan tampak di wajah Andre dan matanya melihat ke setiap sudut kampung dari jendela mobil ketika kami semakin mendekati kediaman ibu kandungnya. Dari balik jendela mobil, puluhan warga desa tampak berkerumun dan tampak penasaran menanti kedatangan 'si anak hilang'.
Andre mempercepat langkahnya begitu melihat sosok perempuan kecil berkerudung hitam yang berdiri di depan rumah menyambut kedatangannya.
Keduanya berpelukan erat dan menangis, seluruh keluarga dan juga tetangga ibunya mengelilingi mereka dan ikut menangis.
"Saya merasa ini tidak nyata, " kata Andre.
"Seneng banget, anak hilang iso ketemu meneh (bisa bertemu kembali), iso balik meneh (bisa kembali lagi), anak lanang bisa balik (anak laki-lakiku bisa kembali), " kata Kartini dalam bahasa Indonesia dan Jawa.
Berpisah sejak usia empat hari
Kartini hanya sempat menggendong dan menyusui Andre ketika baru lahir sampai berusia empat hari pada Februari 1978. Ayah Andre, Theo Kohler, yang diperkirakan memiliki darah campuran Jawa dan Eropa, mendesak Kartini untuk meninggalkan anak laki-laki ketiganya di rumah sakit Panti Secanti, Gisting Lampung.
Kartini sempat kembali lagi ke rumah sakit bersama dua anaknya Wely dan Untung, namun tidak dapat menemui anaknya.
"Katanya udah nggak bisa ketemu, sampai di rumah saya ngomong sama suami, marahlah kok ibu ga boleh ketemu anaknya, suami diam saja," ungkap Kartini.
Setelah itu dia tak pernah mendengar kabar bayinya yang tak sempat diberi nama. " Sempat ingin mencari tapi ke mana, saya sempat sakit mikirin anak hilang," ujar Kartini.
Dia terus bertanya kepada suaminya mengenai keberadaan Andre, namun tak pernah mendapatkan jawaban. Ketika hamil anak keempat, Theo meninggalkan Kartini dan tak terdengar kabarnya sampai sekarang.
Pada usia lebih dari empat bulan, Andre diadopsi warga Belanda Jan Kuik dan Mieke Kuik. Dalam dokumen adopsi dan akta notaris, orang tua angkat Andre mendapatkan anak angkatnya dari Yayasan Pangkuan si Cilik di Jakarta yang dipimpin oleh Lies Darmadji pada 23 Juni 1976.
Tak jelas bagaimana Andre bisa berada di Yayasan tersebut ketika masih bayi.
Dari Jakarta, Andre dibawa pasangan Kuik ke Den Ham Belanda. Di sana Andre dibesarkan bersama kakak angkat laki-laki dan perempuan asal Thailand dan adik angkat dari Indonesia.
"Di rumah dibicarakan secara terbuka mengenai masalah adopsi, orang tua saya selalu mengatakan kalau kamu mau kembali ke tanah air kamu, kami akan mendukung," jelas Andre.
Namun semasa kecil, Andre mengaku tak pernah terlalu mempermasalahkan tentang statusnya sebagai anak adopsi.
"Saya selalu (hidup) bahagia dan tidak mempermasalahkan tentang adopsi, tapi saya penasaran mengenai asal saya, wajah saya mirip siapa apakah ayah atau ibu saya, apakah saya punya saudara laki-laki dan perempuan" ungkap Andre.
Saat ini Andre telah mengetahui bahwa dia memiliki dua kakak laki-laki Wely dan Untung serta seorang adik perempuan Dewi Agustina. Salah satu kakaknya, Untung telah meninggal saat masih kecil karena sakit.
"Kalau wajahnya mirip sama ayahnya," kata Kartini sambil menatap wajah anaknya yang ketiga itu. Senyum mengembang di wajahnya.
Andre mengaku lega ketika mengetahui Kartini tidak berniat menyerahkan dirinya dan pernah menyusuinya selama empat hari.
"Saya tahu ia tidak berniat menyerahkan saya," kata Andre.
Dalam kunjungan yang berlangsung selama satu pekan, Andre ingin lebih jauh mengenal keluarganya, melalui makanan, kebiasaan dan pekerjaan mereka, antara lain ikut ke sawah dan melihat pembuatan batu bata, yang menjadi pekerjaan sehari-hari kakak dan adiknya,
"Saya akan belajar bahasa Indonesia, sehingga bisa berkomunikasi secara langsung ketika saya kembali lagi (ke sini) tahun depan," kata Andre.
Sempat mencari tak berhasil
Pada 2013 lalu, Andre dan Marjolein berkunjung ke Indonesia dan dia menyempatkan diri ke Lampung. Kunjungan pertama ke negara asalnya itu meninggalkan kesan mendalam.
"Saya merasa saya berada di komunitas saya sendiri, warna kulit saya sama, keramahan, dan itu terasa mendalam pada diri saya," ungkap Andre.
Setahun berikutnya, Andre dan Marjolein sempat mencari orang tuanya lewat para suster di Rumah Sakit Panti Secanti tempat dia lahir. Meski sempat bertemu dengan seseorang yang mengenal ayahnya, dia tak berhasil menemukan keluargannya.
"Suster di klinik tempat saya lahir, menawarkan diri untuk ikut mencari, kebetulan ada kenalan dari orangtua saya di Gisting, Lampung, dia bisa sedikit cerita tentang orang tua saya," jelas Andre.
Namun pertemuan dengan kenalan ayahnya di masa muda tak memberinya petunjuk berarti untuk dapat menemukan orang tuanya.
"Selain itu, kami sempat juga berhubungan dengan beberapa orang lain untuk mencarinya, karena tak mendapat petunjuk yang jelas, lalu kami berhenti mencari," kata Marjolein.
Meski begitu, Andre tetap menyimpan keinginan bertemu dengan orang tua kandungnya, terutama setelah kelahiran putranya yang kini berusia 1,5 tahun.
Pencarian anak-anak yang diadopsi Belanda
Pada akhir 2017, Andre mendengar kabar dari rekannya di Belanda yang berhasil bertemu dengan orang tua kandungnya di Indonesia. Peristiwa itu membuat Andre kembali melakukan pencarian dengan bantuan Yayasan Mijn Roots.
"Saya berusia 40 tahun dan saya menganggap orang-orang di sini tidak berumur panjang, saya pikir kalau saya tidak menemukan mereka sekarang, kapan lagi," jelas Andre.
Berbekal dokumen adopsi dari orang tua angkatnya, pencarian keluarga kandungnya pun dimulai.
"Kalau dokumen tidak begitu jelas, namun kita dapat informasi dari orang-orang yang waktu itu pernah tinggal dengan orang tuanya, kami merasa yakin dapat menemukan itu," jelas Eko Murwantoro, tim pencari orang tua kandung dari Yayasan Mijn Roots.
Untuk memastikan Kartini merupakan orang tua Andre, Yayasan Mijn Roots melakukan tes DNA dan hasilnya positif.
Andre merupakan salah satu dari 24 anak adopsi warga Belanda yang berhasil kembali bertemu dengan keluarga mereka melalui bantuan Yayasan Mijn Roots.
"Ada yang sudah terlambat tidak menemukan orang tua mereka, namun berhasil bertemu dengan kakak atau adiknya, tapi masih banyak yang belum berhasil juga," kata Eko.
Yayasan Mijn Roots didirikan oleh Christine Verhaagen dan Ana van Keulen tiga tahun lalu untuk membantu anak-anak adopsi menemukan orang tua kandung mereka. Beberapa tahun lalu Lucy Hommels bergabung dengan yayasan ini.
Kisah Ana menemukan orang tua kandung
Christine Verhaagen dan Ana van Keulen juga merupakan anak yang diadopsi warga Belanda. Ana bertemu kembali dengan orang tua kandungnya Sati dan Andung pada 24 tahun yang lalu, ketika berusia 18 tahun.
Sejak usia 2,5 tahun, Ana diadopsi oleh pasangan Jan dan Gerda van Valen yang tinggal di Sliedrecht di dekat Rotterdam Belanda.
Sejak kecil Ana sering bertanya tentang orang tua kandungnya, terutama setelah berusia 12 tahun.
"Saya sering menangis ketika itu, tapi orang tua angkat saya mendukung dan berjanji akan membawa saja ke Indonesia, dan itu terjadi pada usia saya 18 tahun," kata Ana.
Saat itu, Ana menginap di Bogor dan bertanya pada orang sekitar penginapan tempat asal ibunya di kampung Pasir Ipis Ciampea.
"Ternyata kampungnya tak jauh dari tempat saya menginap, akhirnya saya pergi ke sana dan bertemu ibu saya, lalu ayah saya yang tinggal di kampung lain ke sana juga," kata Ana.
Sejak saat itu, Ana masih berhubungan dengan ibu dan ayah kandungnya sampai keduanya meninggal.
Ana yang tiga tahun lalu tinggal di Indonesia karena mengikuti suaminya yang bekerja di Surabaya, Jawa Timur, banyak dimintai bantuan oleh rekan-rekannya sesama anak adopsi di Belanda yang mencari orang tua kandung mereka.
"Awalnya mencari sendiri, ya susah juga karena masalah bahasa, akhirnya kami mendirikan yayasan," kata Ana.
Ketika mencari orang tua rekannya, Ana juga beberapa kali mengalami kesulitan karena perubahan akibat pembangunan dan ketidakjelasan identitas orang tua.
"Banyak gedung yang berubah, para saksi meninggal, dan banyak orang tua yang tidak tinggal di Jakarta," kata dia.
Namun terkadang, orang tua angkat menyimpan dokumen secara lengkap seperti KTP orang tua kandung yang membantu pencarian.
"Di dalamnya kami menemukan KTP ibunya, desanya, kami ke sana, bertanya ke kelurahan RT dan RW," jelas Ana.
Pencarian orang tua kandung ini juga dilakukan melalui media lokal, siaran radio, akun Facebook 'Mencari Orang tua Kandung' dan jaringan Yayasan Mijn Roots di berbagai daerah, namun dokumen adopsi 'yang palsu' sering menyulitkan pencarian.
"Terkadang dokumennya tidak benar, nama yang dipalsukan, itu sulit dicari, namun jika dokumennya benar, kami seringkali menemukannya hanya dalam waktu beberapa hari saja," jelas dia
Rekannya pendiri Yayasan Mijn Roots, Christine, juga merupakan anak yang diadopsi warga Belanda, namun belum menemukan orang tua kandungnya.
Melalui berbagai sumber Yayasan Mijn Roots menemukan sekitar 3.000 anak Indonesia diadopsi pada kurun waktu 1974-1983, kebanyakan oleh warga Belanda, beberapa oleh WN Swedia, Prancis, Islandia, Jerman dan negara Eropa lainnya.
Menurut Ana, masih banyak anak-anak tersebut yang berupaya mencari orang tua atau keluarga biologisnya.
LIHAT JUGA MENGHARUKAN, 40 Tahun Diadopsi Warga Belanda, Ibu dan Anak Akhirnya Bertemu
Sumber : bbc
Bagi Andre Kuik dan pasangannya, Marjolein Wissink, perjalanan ke Lampung pada pertengahan April lalu, merupakan yang ketiga kalinya. Namun berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia pasti bertemu dengan ibu kandungnya, Kartini (65 tahun) serta saudara kandungnya.
Perasaannya tak menentu. Setelah tiba di Jakarta setelah terbang sekitar 15 jam dari Belanda, Andre tak dapat tidur di malam hari. Esok harinya, dia dan Marjolein bergegas ke Lampung dengan penerbangan di pagi hari.
Pertemuan pertama setelah 40 tahun terpisah |
Kegelisahan tampak di wajah Andre dan matanya melihat ke setiap sudut kampung dari jendela mobil ketika kami semakin mendekati kediaman ibu kandungnya. Dari balik jendela mobil, puluhan warga desa tampak berkerumun dan tampak penasaran menanti kedatangan 'si anak hilang'.
Andre mempercepat langkahnya begitu melihat sosok perempuan kecil berkerudung hitam yang berdiri di depan rumah menyambut kedatangannya.
Keduanya berpelukan erat dan menangis, seluruh keluarga dan juga tetangga ibunya mengelilingi mereka dan ikut menangis.
"Saya merasa ini tidak nyata, " kata Andre.
"Seneng banget, anak hilang iso ketemu meneh (bisa bertemu kembali), iso balik meneh (bisa kembali lagi), anak lanang bisa balik (anak laki-lakiku bisa kembali), " kata Kartini dalam bahasa Indonesia dan Jawa.
Berpisah sejak usia empat hari
Kartini hanya sempat menggendong dan menyusui Andre ketika baru lahir sampai berusia empat hari pada Februari 1978. Ayah Andre, Theo Kohler, yang diperkirakan memiliki darah campuran Jawa dan Eropa, mendesak Kartini untuk meninggalkan anak laki-laki ketiganya di rumah sakit Panti Secanti, Gisting Lampung.
Kartini sempat kembali lagi ke rumah sakit bersama dua anaknya Wely dan Untung, namun tidak dapat menemui anaknya.
"Katanya udah nggak bisa ketemu, sampai di rumah saya ngomong sama suami, marahlah kok ibu ga boleh ketemu anaknya, suami diam saja," ungkap Kartini.
Setelah itu dia tak pernah mendengar kabar bayinya yang tak sempat diberi nama. " Sempat ingin mencari tapi ke mana, saya sempat sakit mikirin anak hilang," ujar Kartini.
Dia terus bertanya kepada suaminya mengenai keberadaan Andre, namun tak pernah mendapatkan jawaban. Ketika hamil anak keempat, Theo meninggalkan Kartini dan tak terdengar kabarnya sampai sekarang.
Pada usia lebih dari empat bulan, Andre diadopsi warga Belanda Jan Kuik dan Mieke Kuik. Dalam dokumen adopsi dan akta notaris, orang tua angkat Andre mendapatkan anak angkatnya dari Yayasan Pangkuan si Cilik di Jakarta yang dipimpin oleh Lies Darmadji pada 23 Juni 1976.
Tak jelas bagaimana Andre bisa berada di Yayasan tersebut ketika masih bayi.
Dari Jakarta, Andre dibawa pasangan Kuik ke Den Ham Belanda. Di sana Andre dibesarkan bersama kakak angkat laki-laki dan perempuan asal Thailand dan adik angkat dari Indonesia.
"Di rumah dibicarakan secara terbuka mengenai masalah adopsi, orang tua saya selalu mengatakan kalau kamu mau kembali ke tanah air kamu, kami akan mendukung," jelas Andre.
Namun semasa kecil, Andre mengaku tak pernah terlalu mempermasalahkan tentang statusnya sebagai anak adopsi.
"Saya selalu (hidup) bahagia dan tidak mempermasalahkan tentang adopsi, tapi saya penasaran mengenai asal saya, wajah saya mirip siapa apakah ayah atau ibu saya, apakah saya punya saudara laki-laki dan perempuan" ungkap Andre.
Saat ini Andre telah mengetahui bahwa dia memiliki dua kakak laki-laki Wely dan Untung serta seorang adik perempuan Dewi Agustina. Salah satu kakaknya, Untung telah meninggal saat masih kecil karena sakit.
"Kalau wajahnya mirip sama ayahnya," kata Kartini sambil menatap wajah anaknya yang ketiga itu. Senyum mengembang di wajahnya.
Andre mengaku lega ketika mengetahui Kartini tidak berniat menyerahkan dirinya dan pernah menyusuinya selama empat hari.
"Saya tahu ia tidak berniat menyerahkan saya," kata Andre.
Dalam kunjungan yang berlangsung selama satu pekan, Andre ingin lebih jauh mengenal keluarganya, melalui makanan, kebiasaan dan pekerjaan mereka, antara lain ikut ke sawah dan melihat pembuatan batu bata, yang menjadi pekerjaan sehari-hari kakak dan adiknya,
"Saya akan belajar bahasa Indonesia, sehingga bisa berkomunikasi secara langsung ketika saya kembali lagi (ke sini) tahun depan," kata Andre.
Sempat mencari tak berhasil
Pada 2013 lalu, Andre dan Marjolein berkunjung ke Indonesia dan dia menyempatkan diri ke Lampung. Kunjungan pertama ke negara asalnya itu meninggalkan kesan mendalam.
"Saya merasa saya berada di komunitas saya sendiri, warna kulit saya sama, keramahan, dan itu terasa mendalam pada diri saya," ungkap Andre.
Setahun berikutnya, Andre dan Marjolein sempat mencari orang tuanya lewat para suster di Rumah Sakit Panti Secanti tempat dia lahir. Meski sempat bertemu dengan seseorang yang mengenal ayahnya, dia tak berhasil menemukan keluargannya.
"Suster di klinik tempat saya lahir, menawarkan diri untuk ikut mencari, kebetulan ada kenalan dari orangtua saya di Gisting, Lampung, dia bisa sedikit cerita tentang orang tua saya," jelas Andre.
Namun pertemuan dengan kenalan ayahnya di masa muda tak memberinya petunjuk berarti untuk dapat menemukan orang tuanya.
Andre Kuik bersama dengan kakak angkat laki-laki dan perempuan asal Thailand dan adik angkat laki-laki dari Indonesia |
Meski begitu, Andre tetap menyimpan keinginan bertemu dengan orang tua kandungnya, terutama setelah kelahiran putranya yang kini berusia 1,5 tahun.
Pencarian anak-anak yang diadopsi Belanda
Pada akhir 2017, Andre mendengar kabar dari rekannya di Belanda yang berhasil bertemu dengan orang tua kandungnya di Indonesia. Peristiwa itu membuat Andre kembali melakukan pencarian dengan bantuan Yayasan Mijn Roots.
"Saya berusia 40 tahun dan saya menganggap orang-orang di sini tidak berumur panjang, saya pikir kalau saya tidak menemukan mereka sekarang, kapan lagi," jelas Andre.
Berbekal dokumen adopsi dari orang tua angkatnya, pencarian keluarga kandungnya pun dimulai.
"Kalau dokumen tidak begitu jelas, namun kita dapat informasi dari orang-orang yang waktu itu pernah tinggal dengan orang tuanya, kami merasa yakin dapat menemukan itu," jelas Eko Murwantoro, tim pencari orang tua kandung dari Yayasan Mijn Roots.
Andre Kuik dan keluarga angkatnya di Belanda, ayah dan ibu angkat Jan dan Mieke Kuik. |
Andre merupakan salah satu dari 24 anak adopsi warga Belanda yang berhasil kembali bertemu dengan keluarga mereka melalui bantuan Yayasan Mijn Roots.
"Ada yang sudah terlambat tidak menemukan orang tua mereka, namun berhasil bertemu dengan kakak atau adiknya, tapi masih banyak yang belum berhasil juga," kata Eko.
Yayasan Mijn Roots didirikan oleh Christine Verhaagen dan Ana van Keulen tiga tahun lalu untuk membantu anak-anak adopsi menemukan orang tua kandung mereka. Beberapa tahun lalu Lucy Hommels bergabung dengan yayasan ini.
Kisah Ana menemukan orang tua kandung
Christine Verhaagen dan Ana van Keulen juga merupakan anak yang diadopsi warga Belanda. Ana bertemu kembali dengan orang tua kandungnya Sati dan Andung pada 24 tahun yang lalu, ketika berusia 18 tahun.
Sejak usia 2,5 tahun, Ana diadopsi oleh pasangan Jan dan Gerda van Valen yang tinggal di Sliedrecht di dekat Rotterdam Belanda.
Sejak kecil Ana sering bertanya tentang orang tua kandungnya, terutama setelah berusia 12 tahun.
"Saya sering menangis ketika itu, tapi orang tua angkat saya mendukung dan berjanji akan membawa saja ke Indonesia, dan itu terjadi pada usia saya 18 tahun," kata Ana.
Saat itu, Ana menginap di Bogor dan bertanya pada orang sekitar penginapan tempat asal ibunya di kampung Pasir Ipis Ciampea.
"Ternyata kampungnya tak jauh dari tempat saya menginap, akhirnya saya pergi ke sana dan bertemu ibu saya, lalu ayah saya yang tinggal di kampung lain ke sana juga," kata Ana.
Sejak saat itu, Ana masih berhubungan dengan ibu dan ayah kandungnya sampai keduanya meninggal.
Ana Maria bertemu dengan ibu kandungnya ketika berusia 18 tahun. |
"Awalnya mencari sendiri, ya susah juga karena masalah bahasa, akhirnya kami mendirikan yayasan," kata Ana.
Ketika mencari orang tua rekannya, Ana juga beberapa kali mengalami kesulitan karena perubahan akibat pembangunan dan ketidakjelasan identitas orang tua.
"Banyak gedung yang berubah, para saksi meninggal, dan banyak orang tua yang tidak tinggal di Jakarta," kata dia.
Namun terkadang, orang tua angkat menyimpan dokumen secara lengkap seperti KTP orang tua kandung yang membantu pencarian.
"Di dalamnya kami menemukan KTP ibunya, desanya, kami ke sana, bertanya ke kelurahan RT dan RW," jelas Ana.
Ana Maria van Keulen sudah tiga tahun tinggal di Indonesia dan membantu mencari orang tua kandung anak-anak yang diadopsi oleh warga negara Belanda. |
"Terkadang dokumennya tidak benar, nama yang dipalsukan, itu sulit dicari, namun jika dokumennya benar, kami seringkali menemukannya hanya dalam waktu beberapa hari saja," jelas dia
Rekannya pendiri Yayasan Mijn Roots, Christine, juga merupakan anak yang diadopsi warga Belanda, namun belum menemukan orang tua kandungnya.
Melalui berbagai sumber Yayasan Mijn Roots menemukan sekitar 3.000 anak Indonesia diadopsi pada kurun waktu 1974-1983, kebanyakan oleh warga Belanda, beberapa oleh WN Swedia, Prancis, Islandia, Jerman dan negara Eropa lainnya.
Menurut Ana, masih banyak anak-anak tersebut yang berupaya mencari orang tua atau keluarga biologisnya.
LIHAT JUGA MENGHARUKAN, 40 Tahun Diadopsi Warga Belanda, Ibu dan Anak Akhirnya Bertemu
Sumber : bbc
Tidak ada komentar