Menyembuhkan Luka Sosial Pasca-pilkada
LINTAS PUBLIK, Indonesia damai dan tentram kembali diraih pada perayaan demokrasi Pilkada Serentak 2018 di 170 daerah beberapa waktu lalu. Ini sebuah prestasi dunia.
Namun, di balik prestasi perhelatan pesta demokrasi sehari dengan jumlah pemilih terbesar di dunia ini, bekas "luka sosial" dari pilkada tersebut berpotensi dipolitisasi hingga Pemilu 2019.
Beragam "luka sosial" mewarnai rasa pilkada serentak hingga saat ini. Dari tertangkapnya pelaku teroris bom asal Depok yang akan beraksi di Pilkada Jabar hingga kasus pemecatan seorang guru karena memilih kandidat yang tidak sesuai dengan arahan pengurus yayasan sekolah di Bekasi.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh pelaku intoleransi dan teroris sudah menorehkan luka sosial. Selayaknya luka yang terbuka, perawatan dan penyembuhan juga membutuhkan waktu.
Sebelum ada pihak-pihak tertentu yang memainkan luka sosial ini bahkan menorehkan dan meneteskan air garam sehingga terasa lebih pedih, kita harus mengingat bahwa layaknya luka di tubuh, jika dirawat dengan rasa cinta kasih, dapat sembuh seperti sediakala.
Aspek rasa ini harus dibentengi dengan sebuah rasa persatuan dan kemanusiaan yang membalut satu per satu luka sosial tersebut. Bagaimana cara mencegah luka sosial ini melebar? Pasca-revisi UU Terorisme Setelah revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme, antisipasi aparat terhadap rasa keamanan memiliki dua sisi.
Di satu sisi, UU memberikan diskresi besar terhadap aparat untuk penindakan potensi teror. Kapolri telah berinisiatif untuk membentuk Satuan Gugus Tugas Nusantara yang telah beroperasi sejak pertengahan 2018 hingga Pemilu 2019 untuk mencegah politisasi isu di wilayah.
Tim gabungan ini dibentuk atas dasar struktur Polri yang masih perlu lebih responsif terhadap potensi gangguan di luar dari ranah pidana, khususnya intoleransi, ekstremisme, dan terorisme. Di sisi lain, UU belum secara menyeluruh menggerakkan aspek budaya, sosial, ekonomi, pertahanan dalam konteks kebangsaan.
Konteks pencegahan yang dirujuk dalam UU masih dalam koridor keamanan sehingga perlu peraturan turunan yang dapat mencakup keseluruhan aspek yang telah terinfilterasi dengan paham intoleran dan ekstrem. Studi literatur Kemitraan memetakan sedikitnya tujuh aspek yang telah terinfiltrasi, yakni pendidikan, sosial, budaya, informasi, kepemudaan, pariwisata, dan ekonomi.
Seluruhnya berbasis survei yang diinisiasi, baik oleh lembaga penelitian, universitas, lembaga non-pemerintah, dan swasta antara 2014 dan 2018. Bisa dikatakan bahwa ini hanya sinyalemen, tetapi jika sinyal diabaikan akan menjadi gangguan nyata.
Pencegahan isu radikal dan ekstrem harus disamaratakan dengan pengarusutamaan isu jender, baik dari sisi arus utama program dan anggaran yang melibatkan maupun aktor negara dan non-negara. Belajar dari dokumen strategi kontraterorisme negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Pakistan, dan Filipina, kesimpulannya hanya satu.
Pendekatan keamanan saja kurang efektif dalam menyelesaikan permasalahan. Penindakan harus disertai dengan strategi pencegahan yang cerdik, baik oleh negara maupun masyarakat. Rasa ketidakadilan yang dimainkan Semua bermuara dari rasa. Rasa yang selalu dipertentangkan agar salah satu pihak dapat dimanfaatkan.
Di antara semua rasa, rasa ketidakadilan adalah cara paling murah meriah untuk membentuk gerakan massa. Dalam konteks isu ekstremisme dan terorisme serta rasa persaudaraan beragamalah yang dipermainkan. Kelompok intoleran, ekstrem, dan teroris memainkan rasa aku dan kamu, kita dan mereka, suku A dan suku B, bangsa A dan bangsa B. Dikotomi ini paling mudah dipermainkan untuk mendapatkan keuntungan ketika perpecahan terjadi.
Legitimasi asosiatif Hasutan dan perspektif yang intens disebarluaskan baik di media utama ataupun sosial media bergantung pada siapa yang membagi pesan tersebut. Bahkan pesan hoaks sekalipun, yang disebarluaskan oleh sosok berpengaruh atau memiliki koneksi emosional, dapat dilihat sebagai kebenaran karena asosiasi antara pesan dan narasumber.
Karenanya, jangan mudah percaya pada apa yang dilihat, didengar, dan dirasa, terutama di sosial media. Netral memang bukan jawabannya, tetapi kombinasi nalar dan rasa indahnya kehidupan aman tentram serta keyakinan terhadap masa depan bangsa Indonesia cerahlah yang dapat menutup luka-luka sosial.
Luka ini hanya dapat disembuhkan dengan rasa kasih antar sesama, senyuman, dan keyakinan akan persatuan bangsa Indonesia. Pencegahan di luar sektor keamanan Banyak sekali yang dapat dilakukan di luar sektor keamanan untuk mencegah paham eksklusivitas, intoleransi, ekstrimisme dan terorisme berkembang. Studi literatur Kemitraan menunjukkan, sektor informasi dan pendidikan adalah prioritas utama perbaikan.
Salah satu studi Kemitraan tentang radikalisme di sektor pendidikan tahun 2017 menunjukkan perlunya revitalisasi kurikulum terutama peniadaan mata pelajaran kompetensi spiritual yang menjadi pintu masuknya paham-paham intoleran dan ekstrem.
Sektor informasi dan komunikasi juga menjadi sangat penting karena dipergunakan sebagai alat doktrinasi paham-paham intoleran dan ekstrem. Dapat dengan cara memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bersuara dan memberikan pandangan alternatif. Pemeliharaan budaya lokal juga menjadi kunci benteng di daerah dengan cara memberikan subsidi pemerintah terhadap kelompok dan pelaksanaan kegiatan budaya dan adat.
Pelibatan generasi muda guna menolak masuknya paham-paham intoleransi dan ekstremisme juga sangat relevan dengan membuat jejaring kelompok kebinekaan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Untuk beberapa sektor lain yang memiliki kaitan tidak langsung dengan isu ini, tetapi tetap berkontribusi secara signifikan,
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dapat berkiprah dalam hal penyeleksian aparatur sipil negara. Kementerian Dalam Negeri dapat bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil untuk judicial review perda-perda diskriminatif. Adapun Kementerian Keuangan dapat membantu dengan memberikan alokasi serta nomenklatur anggaran khusus pencegahan terorisme.
Luka disembuhkan dengan kasih sayang, rasa ketidakadilan disembuhkan dengan perhatian terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya yang sudah lama terbelengkalai. Dengan cara ini, niscaya luka yang tadinya terbuka menjadi tertutup dan bukan menjadi sebuah luka yang membusuk dan bernanah tetapi sembuh total dan menjadi pelajaran yang bermakna bagi bangsa Indonesia.
Penulis : Lenny Hidayat, Peneliti Kebijakan Publik dan Keberagaman Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Sumber ; kompas
Namun, di balik prestasi perhelatan pesta demokrasi sehari dengan jumlah pemilih terbesar di dunia ini, bekas "luka sosial" dari pilkada tersebut berpotensi dipolitisasi hingga Pemilu 2019.
Beragam "luka sosial" mewarnai rasa pilkada serentak hingga saat ini. Dari tertangkapnya pelaku teroris bom asal Depok yang akan beraksi di Pilkada Jabar hingga kasus pemecatan seorang guru karena memilih kandidat yang tidak sesuai dengan arahan pengurus yayasan sekolah di Bekasi.
Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh pelaku intoleransi dan teroris sudah menorehkan luka sosial. Selayaknya luka yang terbuka, perawatan dan penyembuhan juga membutuhkan waktu.
Sebelum ada pihak-pihak tertentu yang memainkan luka sosial ini bahkan menorehkan dan meneteskan air garam sehingga terasa lebih pedih, kita harus mengingat bahwa layaknya luka di tubuh, jika dirawat dengan rasa cinta kasih, dapat sembuh seperti sediakala.
Aspek rasa ini harus dibentengi dengan sebuah rasa persatuan dan kemanusiaan yang membalut satu per satu luka sosial tersebut. Bagaimana cara mencegah luka sosial ini melebar? Pasca-revisi UU Terorisme Setelah revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang terorisme, antisipasi aparat terhadap rasa keamanan memiliki dua sisi.
Di satu sisi, UU memberikan diskresi besar terhadap aparat untuk penindakan potensi teror. Kapolri telah berinisiatif untuk membentuk Satuan Gugus Tugas Nusantara yang telah beroperasi sejak pertengahan 2018 hingga Pemilu 2019 untuk mencegah politisasi isu di wilayah.
Tim gabungan ini dibentuk atas dasar struktur Polri yang masih perlu lebih responsif terhadap potensi gangguan di luar dari ranah pidana, khususnya intoleransi, ekstremisme, dan terorisme. Di sisi lain, UU belum secara menyeluruh menggerakkan aspek budaya, sosial, ekonomi, pertahanan dalam konteks kebangsaan.
Konteks pencegahan yang dirujuk dalam UU masih dalam koridor keamanan sehingga perlu peraturan turunan yang dapat mencakup keseluruhan aspek yang telah terinfilterasi dengan paham intoleran dan ekstrem. Studi literatur Kemitraan memetakan sedikitnya tujuh aspek yang telah terinfiltrasi, yakni pendidikan, sosial, budaya, informasi, kepemudaan, pariwisata, dan ekonomi.
Seluruhnya berbasis survei yang diinisiasi, baik oleh lembaga penelitian, universitas, lembaga non-pemerintah, dan swasta antara 2014 dan 2018. Bisa dikatakan bahwa ini hanya sinyalemen, tetapi jika sinyal diabaikan akan menjadi gangguan nyata.
Pencegahan isu radikal dan ekstrem harus disamaratakan dengan pengarusutamaan isu jender, baik dari sisi arus utama program dan anggaran yang melibatkan maupun aktor negara dan non-negara. Belajar dari dokumen strategi kontraterorisme negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Pakistan, dan Filipina, kesimpulannya hanya satu.
Pendekatan keamanan saja kurang efektif dalam menyelesaikan permasalahan. Penindakan harus disertai dengan strategi pencegahan yang cerdik, baik oleh negara maupun masyarakat. Rasa ketidakadilan yang dimainkan Semua bermuara dari rasa. Rasa yang selalu dipertentangkan agar salah satu pihak dapat dimanfaatkan.
Di antara semua rasa, rasa ketidakadilan adalah cara paling murah meriah untuk membentuk gerakan massa. Dalam konteks isu ekstremisme dan terorisme serta rasa persaudaraan beragamalah yang dipermainkan. Kelompok intoleran, ekstrem, dan teroris memainkan rasa aku dan kamu, kita dan mereka, suku A dan suku B, bangsa A dan bangsa B. Dikotomi ini paling mudah dipermainkan untuk mendapatkan keuntungan ketika perpecahan terjadi.
Legitimasi asosiatif Hasutan dan perspektif yang intens disebarluaskan baik di media utama ataupun sosial media bergantung pada siapa yang membagi pesan tersebut. Bahkan pesan hoaks sekalipun, yang disebarluaskan oleh sosok berpengaruh atau memiliki koneksi emosional, dapat dilihat sebagai kebenaran karena asosiasi antara pesan dan narasumber.
Karenanya, jangan mudah percaya pada apa yang dilihat, didengar, dan dirasa, terutama di sosial media. Netral memang bukan jawabannya, tetapi kombinasi nalar dan rasa indahnya kehidupan aman tentram serta keyakinan terhadap masa depan bangsa Indonesia cerahlah yang dapat menutup luka-luka sosial.
Luka ini hanya dapat disembuhkan dengan rasa kasih antar sesama, senyuman, dan keyakinan akan persatuan bangsa Indonesia. Pencegahan di luar sektor keamanan Banyak sekali yang dapat dilakukan di luar sektor keamanan untuk mencegah paham eksklusivitas, intoleransi, ekstrimisme dan terorisme berkembang. Studi literatur Kemitraan menunjukkan, sektor informasi dan pendidikan adalah prioritas utama perbaikan.
Salah satu studi Kemitraan tentang radikalisme di sektor pendidikan tahun 2017 menunjukkan perlunya revitalisasi kurikulum terutama peniadaan mata pelajaran kompetensi spiritual yang menjadi pintu masuknya paham-paham intoleran dan ekstrem.
Sektor informasi dan komunikasi juga menjadi sangat penting karena dipergunakan sebagai alat doktrinasi paham-paham intoleran dan ekstrem. Dapat dengan cara memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bersuara dan memberikan pandangan alternatif. Pemeliharaan budaya lokal juga menjadi kunci benteng di daerah dengan cara memberikan subsidi pemerintah terhadap kelompok dan pelaksanaan kegiatan budaya dan adat.
Pelibatan generasi muda guna menolak masuknya paham-paham intoleransi dan ekstremisme juga sangat relevan dengan membuat jejaring kelompok kebinekaan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Untuk beberapa sektor lain yang memiliki kaitan tidak langsung dengan isu ini, tetapi tetap berkontribusi secara signifikan,
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dapat berkiprah dalam hal penyeleksian aparatur sipil negara. Kementerian Dalam Negeri dapat bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil untuk judicial review perda-perda diskriminatif. Adapun Kementerian Keuangan dapat membantu dengan memberikan alokasi serta nomenklatur anggaran khusus pencegahan terorisme.
Luka disembuhkan dengan kasih sayang, rasa ketidakadilan disembuhkan dengan perhatian terhadap aspek-aspek kehidupan lainnya yang sudah lama terbelengkalai. Dengan cara ini, niscaya luka yang tadinya terbuka menjadi tertutup dan bukan menjadi sebuah luka yang membusuk dan bernanah tetapi sembuh total dan menjadi pelajaran yang bermakna bagi bangsa Indonesia.
Penulis : Lenny Hidayat, Peneliti Kebijakan Publik dan Keberagaman Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Sumber ; kompas
Tidak ada komentar