“Ngopi” Adalah Kode Suap untuk Hakim PN Jaksel
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Dua hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beserta tiga orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, dua hakim tersebut yakni Iswahyu Widodo (IW) dan Irwan (I). IW dan I diduga menerima suap terkait putusan perkara perdata di PN Jakarta Selatan pada tahun 2018 ini.
“Diduga pemberian uang tersebut ditujukan kepada majelis hakim yang menangani perkara perdata nomor 262/Pdt.G/2018/PN Jaksel yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2018,” ujar Alex di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (28/11/1018).
BACA JUGA OTT Hakim PN Jaksel, KPK Tetapkan 5 Tersangka
Lanjutnya, diduga selama proses persidangan berlangsung, pihak penggugat melakukan komunikasi dengan panitera pengganti PN Jakarta Timur Muhammad Ramadhan (MR). Diduga MR ini menjadi perantara bagi penggugat dan majelis hakim.
MR turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut dengan dugaan sebagai penerima suap. Begitu pula dengan dua orang lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni seorang advokat bernama Arif Fitrawan (AF) dan seorang dari pihak swasta Martin P. Silitonga (MPS).
Ia menjelaskan dalam komunikasi yang ada, para tersangka tersebut menggunakan istilah ‘ngopi’ sebagai kode untuk membicarakan hal tersebut.
“Dalam komunikasi teridentifikasi kode yang digunakan adalah ‘ngopi’ yang dalam percakapan disampaikan ‘bagaimana, jadi ngopi ga?'” Tambah Alex.
Ia menambahkan, diduga komitmen fee dari awal perjanjian hingga terealisasi nominalnya terus berubah dan berkurang nominalnu.
“Komitmen fee antara advokat AF dengan swasta adalah Rp. 2 Milyar, komitmen fee antara advokat AF dengan MR turun menjadi Rp. 950 juta, dan realisasi dari MR ke Hakim menjadi Rp. 150 juta dan 47 ribu dollar Singapura,” terangnya.
Diduga, hakim telah menerima uang sebesar Rp. 150 juta untuk memengaruhi putusan sela agar tidak diputuskan N.O. Di mana putusan sela tidak N.O berarti lanjut ke pokok perkara dan dimenangkan serta akusisi tersebut dibatalkan.
“Diduga majelis hakim telah menerima uang sebesar Rp150 juta dari AF melalui MR untuk mempengaruhi putusan sela agar tidak diputus N.O, yang dibacakan pada bulan Agustus 2018. Dan disepakati akan menerima lagi sebesar Rp500 juta untuk putusan akhir,” jelas Alex.
Barang bukti yang berhasil diamankan KPK yakni berupa uang dollar singapura (SGD) sebesar 47 ribu. Yang terdiri dari 47 lembar SGD dengan pecahan nominal 1.000 dollar Singapura.
IW, I dan MR sebagai tersangka yang diduga menerima pemberian suap, disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan, sebagai pihak yang diduga pemberi, AF dan MPS disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHP.
sumber : posk
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, dua hakim tersebut yakni Iswahyu Widodo (IW) dan Irwan (I). IW dan I diduga menerima suap terkait putusan perkara perdata di PN Jakarta Selatan pada tahun 2018 ini.
“Diduga pemberian uang tersebut ditujukan kepada majelis hakim yang menangani perkara perdata nomor 262/Pdt.G/2018/PN Jaksel yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2018,” ujar Alex di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (28/11/1018).
BACA JUGA OTT Hakim PN Jaksel, KPK Tetapkan 5 Tersangka
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersma penyidik tunjukkan barang bukti |
MR turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut dengan dugaan sebagai penerima suap. Begitu pula dengan dua orang lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni seorang advokat bernama Arif Fitrawan (AF) dan seorang dari pihak swasta Martin P. Silitonga (MPS).
Ia menjelaskan dalam komunikasi yang ada, para tersangka tersebut menggunakan istilah ‘ngopi’ sebagai kode untuk membicarakan hal tersebut.
“Dalam komunikasi teridentifikasi kode yang digunakan adalah ‘ngopi’ yang dalam percakapan disampaikan ‘bagaimana, jadi ngopi ga?'” Tambah Alex.
Ia menambahkan, diduga komitmen fee dari awal perjanjian hingga terealisasi nominalnya terus berubah dan berkurang nominalnu.
“Komitmen fee antara advokat AF dengan swasta adalah Rp. 2 Milyar, komitmen fee antara advokat AF dengan MR turun menjadi Rp. 950 juta, dan realisasi dari MR ke Hakim menjadi Rp. 150 juta dan 47 ribu dollar Singapura,” terangnya.
Diduga, hakim telah menerima uang sebesar Rp. 150 juta untuk memengaruhi putusan sela agar tidak diputuskan N.O. Di mana putusan sela tidak N.O berarti lanjut ke pokok perkara dan dimenangkan serta akusisi tersebut dibatalkan.
“Diduga majelis hakim telah menerima uang sebesar Rp150 juta dari AF melalui MR untuk mempengaruhi putusan sela agar tidak diputus N.O, yang dibacakan pada bulan Agustus 2018. Dan disepakati akan menerima lagi sebesar Rp500 juta untuk putusan akhir,” jelas Alex.
Barang bukti yang berhasil diamankan KPK yakni berupa uang dollar singapura (SGD) sebesar 47 ribu. Yang terdiri dari 47 lembar SGD dengan pecahan nominal 1.000 dollar Singapura.
IW, I dan MR sebagai tersangka yang diduga menerima pemberian suap, disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c dan/atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan, sebagai pihak yang diduga pemberi, AF dan MPS disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto jo Pasal55 ayat (1) ke-1 KUHP.
sumber : posk
Tidak ada komentar